Para insan olahraga Indonesia sepakat agar politik dijauhkan dari olahraga. Ini untuk mengantisipasi kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tidak terjadi di ajang lainnya
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 diharapkan menjadi pengalaman pahit yang terakhir kalinya. Untuk itu, insan olahraga Indonesia mengampanyekan gerakan “Berdiri untuk Olahraga Indonesia” demi mencegah kejadian serupa terulang. Ke depannya, mereka berharap ajang atau kegiatan olahraga dijauhkan dari intervensi politik dan diskriminasi.
Kampanye “Berdiri untuk Olahraga Indonesia” atau Standing for Indonesia Sports diinisiasi Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Kampanye itu beranjak dari pengalaman pahit dicoretnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA.
Ketua KOI, Raja Sapta Oktohari, mengatakan, kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah ajang ketiga terbesar FIFA, setelah Piala Dunia pria dan wanita, itu telah menjadi preseden yang kemungkinan besar bisa terulang bila tidak ada mitigasi yang disiapkan. Maka dari itu, ia mengajak para pengurus cabang olahraga untuk mengampanyekan olahraga yang bebas dari politik dan diskriminasi.
“Kita semua merasa sedih dan kecewa, karena akhirnya tidak bisa menyaksikan anak-anak Indonesia U-20 bertanding untuk menciptakan suasana kebahagiaan dari olahraga sepak bola. Namun, ini tentunya sebuah tantangan yang harus kita hadapi dan sama-sama sadari, bahwa ini telah menjadi preseden dan jangan sampai terjadi lagi. Mudah-mudahan para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan bisa melihat bahwa Indonesia ini terlalu besar untuk dikucilkan dari olahraga. Olahraga harus tanpa politik, olahraga harus menjadi alat persatuan, bukan pecah belah,” tutur Okto, sapaan akrab Raja Sapta, dalam kegiatan buka puasa bersama perwakilan cabang-cabang olahraga di Jakarta, Jumat (31/3/2023) malam.
Ajakan untuk menjauhkan politik dari olahraga menjadi penting mengingat Presiden Joko Widodo menginginkan Okto agar membawa sebanyak-banyaknya ajang atau turnamen internasional ke Indonesia. Menurut Okto, Piagam Olimpiade mengamanatkan agar olahraga merangkul seluruh kalangan tanpa sekat suku, agama, ras, dan golongan.
Oleh sebab itu, bila kejadian seperti penolakan terhadap tim Israel sebagaimana terjadi pada Piala Dunia U-20 terulang, kecil kemungkinan Indonesia akan kembali terpilih untuk menyelenggarakan ajang-ajang olahraga internasional. Apalagi Indonesia berniat mengajukan diri menjadi tuan rumah Olimpiade 2036.
“Sebagai Ketua Umum KOI Indonesia, tugas utamanya adalah menjaga Piagam Olimpiade tentunya harus menegaskan olahraga harus dilakukan tanpa diskriminasi dan harus bebas dari politik, sehingga unsur-unsur yang kita hadapi ketika menemukan permasalahan-permasalahan harus bisa dicarikan solusinya. Itu (solusi) harus sesuai dan sejalan dengan napas Piagam Olimpiade,” kata Okto.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Persatuan Bolabasket Seluruh Indonesia (PP Perbasi) Nirmala Dewi juga menyampaikan hal serupa. Ia berharap kejadian dicoretnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia tidak terulang kembali. Nirmala mengatakan, Perbasi bersama dengan pengurus cabang olahraga lainnya telah sepakat untuk mengampanyekan agar politik dijauhkan dari olahraga.
Olahraga harus tanpa politik, olahraga harus menjadi alat persatuan, bukan pecah belah.
"Tadi kami sudah sepakat, untuk sepak bola, bola basket, dan cabang olahraga lainnya harus dipisahkan dari urusan-urusan politik," ucap Nirmala.
Serupa dengan Nirmala, atlet jetski Indonesia, Aero Sutan Aswar, mengutarakan, pembatalan sebagai tuan rumah Piala Dunia sangat merugikan pesepak bola Indonesia yang telah mempersiapkan diri selama dua tahun terakhir. Aero mengaku bisa mengerti perasaan mereka yang memendam kemarahan akibat gagal berlaga di Piala Dunia.
"Tidak bisa dibayangkan betapa kesalnya atlet sepak bola Indonesia yang tadinya sudah persiapan keras kemudian gagal bertanding. Saya juga pernah merasakan beberapa kali saat pandemi, latihan terus dan tiada tujuan (bertanding). Latihan tanpa tujuan itu paling tidak enak buat atlet. saya bisa merasakan tidak enaknya. Jadi apa boleh buat kondisi sekarang sudah seperti itu," katanya.