Beban Otonomi Daerah
Tampaknya urusan politik bakal jadi prioritas nomor satu saat ini. Bukan hal mudah menggelar pilpres, pileg, dan pilkada serentak nasional. Ada tiga perkara yang perlu segera dibereskan guna mencegah instabilitas daerah.

Ilustrasi
Politik itu ibarat ban dalam sepeda. Ia bisa kembang dan kempis.
Pada musim pemilu ia kembang, karena orang memompanya sampai penuh, agar sepeda bisa melaju dengan kencang untuk memenangi lomba. Ia kembali menyusut perlahan setelah hajatan demokrasi ini usai. Kini di tahun politik 2023, suhu politik mulai merambat naik. Temperatur bakal mencapai puncaknya di tahun Pemilu 2024.
Puncak satu, ketika pemilu serentak presiden dan legislatif digelar 14 Februari untuk memilih presiden sekaligus 580 anggota DPR/152 anggota DPD/ 2.372 anggota DPRD provinsi/17.510 anggota DPRD kabupaten/kota.
Puncak dua, tanggal 27 November, waktu memilih 37 gubernur, 93 walikota, dan 415 bupati. Kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), warga hanya memilih bupati dan walikota, karena gubernur di sana ditetapkan oleh DPRD dari Sultan yang bertahta. Dan, sebaliknya di DKI Jakarta, warga hanya memilih gubernur karena walikota/bupatinya diangkat oleh gubernur.
Tak pelak lagi politik jadi prioritas nomor satu. Urusan di luar politik, seperti meningkatkan pelayanan publik, memperbaiki kesejahteraan rakyat, dan memacu perekonomian bakal terkesampingkan. Celakanya, demam politik berlangsung lama, sampai lebih dari dua tahun, gara-gara kita terlalu berambisi membereskan semua pemilu di tahun yang sama. Peristiwa seperti ini kalau tak ada perubahan kebijakan terkait jadwal pemilu, pastilah akan berulang lagi pada Pemilu 2029 mendatang. Terang ini bukan model jadwal pemilu ideal yang agaknya perlu dibahas sendiri.
Dalam konteks demokrasi lokal, beban otonomi daerah pada masa “ingar bingar” politik itu, khususnya untuk mewujudkan stabilitas pemerintahan, jadi berat. Sejak awal 2023 hingga hari pencoblosan 14 Februari 2024, anggota DPRD yang mencalonkan dirinya kembali, dan para kepala daerah yang partainya mengusung bakal calon presiden dan atau dirinya sendiri, akan “running”, mesti mengerahkan segenap kekuatan untuk mengupayakan kemenangan.
Baca juga : Otonomi Daerah Dinilai Belum Optimal
Keadaan ini berlanjut terus hingga 27 November 2024, hari di mana posisi seluruh kepala daerah yang berjumlah 545 akan ditentukan di bilik suara. Berbagai aktivitas politik menyita waktu mereka. Lobi dan rapat-rapat partai di pusat dan daerah akan sangat intensif.
Kunjungan ke daerah pemilihan untuk menyapa konstituen pun meningkat pesat. Artinya, tugas pokok mereka sehari-hari tak bisa lagi dijalankan dengan optimal, rapat dewan sulit mencapai kuorum, dan para kepala daerah sibuk menggalang suara atau berkampanye, sehingga tugas-tugasnya terpaksa dijalankan sekda atau Plt kepala daerah.
Belum lagi, gesekan antar elite, baik internal maupun eksternal partai, karena panasnya persaingan antar kandidat. Lebih-lebih jika kepala daerah dan wakilnya plus sekretaris daerah (sekda) sama-sama maju ke kursi nomor satu. Birokrasi pemda jadi terbelah tiga. Bahkan, konflik itu bisa menjalar ke tengah-tengah masyarakat di berbagai kelompok ormas hingga ke desa-desa. Suasana semakin tak kondusif bila politik identitas dikapitalisasi.

Pada waktu kampanye pilpres dan pemilihan legislatif (pileg) maupun kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada), termasuk hari pemungutan suara, beban stabilitas daerah akan bertambah berat jika aparat penyelenggara pemilu dan aparat keamanan tak bekerja secara profesional dan proporsional, gara-gara kurang pelatihan dan cekaknya pembiayaan yang disediakan oleh negara. Ditambah pula bila para kandidat melibatkan ASN dan kepala desa.
Selain itu, khusus terkait hari H pilkada yang jatuh pada 27 November 2024, atau 37 hari setelah presiden terpilih dilantik, kapasitas pemerintah dengan kabinetnya yang baru berumur “setahun jagung” dalam mengonsolidasikan kekuasaan untuk menjaga pilkada aman tentu masih sangat terbatas, yang lagi-lagi berpotensi mengancam stabilitas daerah dari Sabang-Merauke.
Semua mimpi buruk (nightmare) itu pasti tidak kita inginkan terjadi. Maka, guna mencegah gangguan instabilitas daerah, tiga perkara ini perlu segera dibereskan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah yang transparan, penyediaan pembiayaan pemilu dan pilkada yang memadai, dan penyiapan strategi pengamanan yang high profile.
Pengangkatan Pj
Sejak pengangkatan 101 Pj kepala daerah dari ASN oleh pemerintah pada 2022, sebenarnya jadwal pilkada serentak nasional telah dimulai. Penandanya adalah ditiadakannya pilkada bergelombang 2022 dan 2023, dan diisinya kekosongan jabatan kepala daerah oleh para Pj yang menjabat hingga dilantiknya kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak nasional 27 November 2024.
Tak banyak kabar yang kita peroleh dari para Pj itu selain dari gaduhnya pengangkatan mereka, jauh dari transparan dan akuntabel, serta tak kunjung dibuatnya oleh pemerintah payung regulasi yang kuat dan lengkap sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kini di sepanjang 2023-2024 akan diangkat pula 170 Pj kepala daerah untuk mengganti kepala daerah definitif, termasuk tiga gubernur berpenduduk padat di Jawa, yaitu Ridwan Kamil (Jabar), Ganjar Pranowo (Jateng), dan Khofifah Indar Parawansa (Jatim). Provinsi yang bakal dipimpin para Pj gubernur ini mencapai 24 daerah dengan total jumlah penduduk 240.324.240 (89 persen).
Kunci penting stabilitas daerah terletak di tangan kepala daerah yang akseptabel. Daerah akan aman tenteram bila sang Pj mumpuni dan berpengalaman dalam pemerintahan.
Kunci penting stabilitas daerah terletak di tangan kepala daerah yang akseptabel. Daerah akan aman tenteram bila sang Pj mumpuni dan berpengalaman dalam pemerintahan. Pengangkatan Pj yang penuh kontroversi seperti dari tentara/polisi aktif, tak melibatkan DPRD, dan tak mengakomodasi usulan gubernur, hendaknya diakhiri.
Caranya, pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) baru untuk mengganti PP lama, yaitu PP No 6/2005 dan PP No 49/2008 terkait pengangkatan Pj kepala daerah yang sudah out of date karena berdasarkan UU Pemda No 32/2004 yang tidak cocok lagi.
Padahal, sekarang pengaturan pilkada dengan segala pernak-perniknya sudah dipisahkan lewat UU sendiri, yaitu UU No 10/2016, tak lagi diintegrasikan di dalam UU Pemda. Toh, draf permendagri yang mengatur perkara Pj kepala daerah karena terjadi “vacuum of power”sudah dibuat Kemendagri (Kompas, 7/1/2023). Jadi, tinggal memodifikasinya ke dalam format PP. Institusi DPR, DPD dan Ombudsman RI perlu mendesak lebih kuat lagi pemerintah untuk tidak mengelak menerbitkan PP tersebut.
Pembiayaan pemilihan
Sukses pemilu dan pilkada salah satunya ditentukan oleh dukungan biaya yang cukup dan tepat waktu dari pemerintah. Jangan sampai biaya KPU, Bawaslu, dan DKPP kurang atau terlambat turun. Memang demokrasi itu mahal ongkosnya. Tapi, pemerintah berkewajiban memfasilitasi dan mendukung agar ia bisa berjalan dengan baik.
Agenda pemilihan pemimpin secara berkala lima tahunan tak boleh tertunda gara-gara negara “bokek”. Istilahnya “tak ada kayu, jenjang dikeping”. Begitu mestinya tekad pemerintah. Jangan sampai KPU berutang untuk membiayai pemilu, sehingga terjadi kegaduhan nasional.

Sejak awal, penyediaan biaya Pemilu 2024 mengkhawatirkan. Usulan KPU sekitar Rp 100 triliun dibahas berlarut- larut oleh pemerintah dan DPR. Akhirnya, setelah diefisienkan disetujui Rp 76,6 triliun. Namun, dana yang dialoka -sikan di APBN 2023 hanya Rp 13 triliun (20 persen). Artinya, sisanya akan dianggarkan di APBN 2024. Padahal pemilu digelar Februari 2024, bukan April atau Juli seperti praktik selama ini.
Dalil biaya yang besar dikeluarkan pada tahun pelaksanaan pemilu agaknya tak berlaku mengingat mepetnya waktu. Karena itu, baiknya di APBN-P 2023 dimasukkan tambahan dana pemilu paling tidak 40-50 persen lagi dari plafon yang telah ditetapkan.
Ke depan biaya pemilu memang perlu dirasionalkan karena peningkatannya terlalu mencolok. Pada Pemilu 2014 Rp 15,62 triliun, Pemilu 2019 naik jadi Rp 25,59 triliun, dan Pemilu 2024 meroket sampai Rp 76,6 triliun. Biaya pemilu kita per kapita tergolong tinggi di dunia. Selain itu, bukankah penyatuan pemilu akan menekan biaya?
Fenomena sama juga terjadi pada pilkada. Pilkada serentak di 269 daerah yang dilaksanakan 2015 menelan biaya APBD Rp 7,09 triliun. Namun, pada 2020, pilkada serentak di 270 daerah naik signifikan menjadi Rp 20,46 triliun. Akibatnya, rata-rata anggaran pelayanan publik di daerah tersebut turun jauh, karena tersedot biaya pilkada.
Pada pilkada serentak nasional di 545 daerah di 2024 yang APBD-nya harus diketok palu pada 2023, agaknya ongkos pilkada bisa lebih dari Rp 40 triliun. Tentu urusan pelayanan publik kembali jadi korban, seperti jalan rusak tak bisa diperbaiki, atau bangunan sekolah yang ambruk tak bisa direhabilitasi. Karena itu, baiknya dana pilkada dibebankan ke APBN. Mengingat rata-rata kemampuan fiskal daerah lemah, pilkada sudah masuk rezim pemilu, penyelenggara pilkada adalah KPU yang bersifat nasional.
Secara empirik, pembebanan biaya pilkada di APBN ini sudah pernah diatur di UU Pilkada No 1/2015, yang sayangnya diubah dengan UU Pilkada No 8/2015.
Negara ini seumur-umur belum pernah menggelar pilpres, pileg, dan pilkada serentak nasional gubernur/bupati/walikota di tahun yang sama.
Strategi pengamanan
Negara ini seumur-umur belum pernah menggelar pilpres, pileg, dan pilkada serentak nasional gubernur/bupati/walikota di tahun yang sama. Pilkada serentak semua kepala daerah itu dilaksanakan ketika presiden dengan kabinetnya baru berusia lima minggu yang tentu belum mampu mengonsolidasi kekuasaannya dari rongrongan pecundang.
Kualitas pengamanan pilkada oleh Polri dan didukung TNI selama ini, lebih tergantung pada kemampuan APBD. Bila APBD besar, paket pengamanannya lengkap. Sebaliknya, daerah-daerah yang ber-APBD kecil pengamanannya terbatas, atau dijuluki paket hemat. Ukuran ini tentu keliru. Pengamanan pilkada mestinya didasarkan pada risiko keamanan, bukan besar kecilnya APBD. Dampak dari model penganggaran seperti itu terlihat dari kasualitas pilkada kita. Total nasional jumlah korban meninggal dunia 75 jiwa, luka ringan 230 jiwa, dan 279 rumah tinggal rusak akibat eskalasi konflik pilkada (Djohan, 2018)
Strategi pengamanan pilkada kolosal 2024 hendaknya diubah menjadi high profile, yaitu berbasis risiko. Daerah yang sangat rawan konflik (risiko tinggi), tak peduli APBD-nya kecil, pengamanannya harus lengkap, termasuk skema mobilisasi aparat keamanan dari luar daerah. Konsekuensinya, biaya pengamanan pilkada inheren dengan biaya penyelenggaraannya disediakan dari ABPN. Hanya saja, sebaiknya pos anggarannya ditaruh langsung di kepolisian, sedangkan anggaran penyelenggaraan di KPU, bukan lagi dari hibah APBD.
Kita masih punya waktu untuk mencegah instabilitas daerah sepanjang dilakukan revisi kebijakan dari sekarang. Dengan dibereskannya oleh pemerintah ketiga pekerjaan rumah ini, stabilitas daerah bisa terpelihara.
Djohermansyah Djohan Dirjen OTDA Kemendagri 2010-2014, Guru Besar IPDN, dan Presiden Institut Otonomi Daerah (i-OTDA)

Djohermansyah Djohan