Ambil Peran untuk Indonesia Bebas TBC
Indonesia berada di peringkat nomor dua dengan beban TBC tertinggi di dunia. Selain pemerintah, pihak swasta perlu berperan meningkatkan akses layanan kesehatan untuk TBC yang berkualitas dan berpusat kepada pasien.
Saat pandemi Covid-19 mulai mereda, Indonesia harus menghadapi kenaikan kasus tuberkulosis yang saat ini diperkiraan mencapai 969.000 kasus baru setiap tahun. TBC merupakan penyakit infeksi menular penyebab kematian tertinggi setelah Covid-19. Pandemi Covid-19 menyebabkan upaya eliminasi TBC mundur sampai 12 tahun.
Tahun 2022, Indonesia resmi menjadi negara peringkat nomor dua, setelah India, dengan beban TBC tertinggi di dunia. Kerugian ekonomi akibat TBC di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 106 triliun setiap tahun. Sebagian besar beban ekonomi ini akibat hilangnya produktivitas dan kematian dini. Sekitar Rp 1,1 triliun membebani masyarakat melalui pengeluaran langsung dan Rp 2,4 triliun membebani sistem kesehatan Indonesia.
Pembiayaan untuk penanggulangan TBC di Indonesia saat ini masih di bawah kebutuhan, dengan sebagian didanai dari hibah internasional. Untuk menjalankan program sesuai Strategi Nasional (Stranas) Penanggulangan TBC tahun 2020-2024, biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 15,7 triliun per tahun. Namun, hanya 32 persen dana yang tersedia untuk menjalankan stranas tersebut.
Baca Juga: 7.450 Anak di Jakarta Idap TBC, Tengkes Diwaspadai sebagai Faktor Pemicu
Sumber pembiayaan untuk eliminasi TBC terbesar berasal dari APBN mencapai 65 persen, diikuti hibah luar negeri dana The Global Fund (GF) sebesar 23 persen, APBD sebesar 7 persen, dan dari mitra lainnya termasuk pihak swasta sebesar 6 persen. Pada periode 2021-2023, hibah luar negeri dari GF untuk program tuberkulosis sekitar 150-200 juta dollar AS untuk 3 tahun atau Rp 0,75 triliun hingga Rp 1 triliun per tahun. Di saat APBN Kementerian Kesehatan tahun 2023 mencapai Rp 85,5 triliun dari Rp 178,7 triliun total anggaran kesehatan, pembiayaan untuk TBC yang tersedia hanya sekitar Rp 3,3 triliun.
Besarnya celah pembiayaan dan masih signifikannya jumlah hibah internasional untuk eliminasi TBC menjadi hal yang paradoks dengan pertumbuhan ekonomi negara ini. Ekonomi Indonesia saat ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen, di atas kebanyakan negara lain termasuk negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa. Inflasi yang terjadi di Indonesia pun masih terkendali jauh di bawah negara-negara tersebut.
Baca Juga: Indonesia Peringkat Kedua Kasus Tuberkulosis Terbanyak di Dunia
Sesuai informasi Kementerian Keuangan pada Maret 2023, dengan surplus dari ekspor impor, Purchasing Managers’ Index (PMI) yang di atas 50 hampir 2,5 tahun terakhir menandai kegiatan rangkaian ekonomi Indonesia berjalan baik. Indeks keyakinan konsumen pun di atas 120 selama lebih dari setahun terakhir serta nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang relatif stabil dibandingkan negara lain.
Pergeseran arah penanggulangan TBC
Penanggulangan TBC di Indonesia mulai dari 1908 saat didirikannya Perkumpulan Centrale Vereniging Voor Tuberculose Bestrijding (CVT). Pada 1945 didirikan Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) yang kemudian ada di 53 lokasi. Di sekitar tahun 1970, tanggung jawab penanganan TBC dialihkan dari BP4 ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (P4M) Departemen Kesehatan.
Sejak saat itu pemerintah melakukan berbagai program untuk menangani TBC, dengan diagnosis dan pengobatan tersedia gratis di fasilitas kesehatan milik pemerintah. Satu abad setelah awal upaya penanggulangan TBC, pemerintah menyadari bahwa eliminasi TBC tidak akan terjadi apabila hanya dilakukan oleh kementerian atau lembaga kesehatan milik pemerintah.
Dari sisi pembiayaan, sejak 2006 pembiayaan program TBC sebagian besar bersumber dari dana hibah GF. Proporsi pembiayaan dari GF menurun seiring meningkatnya pembiayaan untuk program TBC secara bertahap dari APBN sejak 2016. Peningkatan ini tampak signifikan setelah TBC masuk menjadi salah satu indikator Rencana Nasional Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di 2015. Akibat pandemi Covid-19, pembiayaan domestik untuk TBC ini sempat menurun drastis dari lebih dari 100 juta dollar AS di 2019 menjadi di bawah 50 juta dollar AS di 2020 sebelum meningkat lagi di 2021 mendekati 100 juta dollar AS (WHO, Global TB Report 2022).
Alih-alih mencari pengobatan di fasilitas kesehatan pemerintah, seperti puskesmas, 74 persen pasien TBC di Indonesia pada awalnya mencari pengobatan di layanan kesehatan swasta.
Dari sisi program, pada 2010, pemerintah mulai menerapkan Jejaring Layanan Pemerintah Swasta atau Public Private Mix (PPM). Berdasarkan Patient Pathway Analysis yang dilakukan pada 2017, alih-alih mencari pengobatan di fasilitas kesehatan pemerintah, seperti puskesmas, 74 persen pasien TBC di Indonesia pada awalnya mencari pengobatan di layanan kesehatan swasta.
Rasio pencarian pengobatan di fasilitas kesehatan swasta paling banyak ada di apotek (52 persen), dokter praktik mandiri (19 prsen), dan rumah sakit swasta (3 persen). Rencana Strategis TBC Nasional 2020-2024 pun memperkuat PPM sebagai salah satu pilar strategis untuk meningkatkan akses pada layanan TBC yang berkualitas dan berpusat kepada masyarakat.
Dari sisi regulasi, Presiden Joko Widodo meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis untuk mempercepat eliminasi TBC. Perpres ini memberikan mandat kepada kementerian dan lembaga kesehatan dan nonkesehatan untuk mengambil perannya dalam mencapai eliminasi TBC di 2030. Aktor nonpemerintah (komunitas, pihak swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, organisasi profesi) juga diberikan ruang dan peran untuk terlibat dan berkoordinasi dalam Wadah Kemitraan Penanggulangan TBC (WKPTB) di bawah Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Kesempatan swasta untuk berperan
Bagaimana pihak swasta dapat berperan dalam menyelesaikan masalah TBC negara ini? Salah satu pilar dalam END TB Strategy 2030 yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta Strategi Nasional Program pengendalian TBC yang diluncurkan Kementerian Kesehatan menyebutkan, pelibatan aktor nonpemerintah, termasuk pihak swasta, sebagai strategi prioritas.
Pertama, pihak swasta khususnya fasilitas kesehatan perlu terlibat untuk meningkatkan akses layanan kesehatan untuk TBC yang berkualitas dan berpusat kepada pasien. Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas, insentif finansial dan nonfinansial, serta akses pada obat dan alat pemeriksaan TBC.
Pemerintah telah memberlakukan insentif nonfinansial berupa pemberian SKP IDI bagi dokter yang menemukan serta mengobati pasien TBC. Pemberian insentif finansial masih terbatas kepada penyedia layanan di rumah sakit dimana BPJS Kesehatan menyediakan pembiayaan untuk setiap penanganan kasus TBC melalui pembayaran INA CBGS. Adapun pembayaran dengan sistem kapitasi oleh BPJS Kesehatan di fasilitas kesehatan primer belum memberikan insentif tambahan untuk penanganan pasien TBC sampai sembuh.
Pihak swasta dapat mengambil peran pembiayaan melalui corporate social responsibility atau kegiatan filantropis untuk memperkuat upaya eliminasi TBC di Indonesia.
Kedua, pihak swasta dapat menjadi pelaku dalam mengimplementasikan regulasi terkait eliminasi TBC. Pada 2022, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi menerbitkan Peraturan Nomor 13 tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja. Sesuai peraturan ini, pengusaha dapat dan perlu menyusun kebijakan tentang penanggulangan TBC di tempat kerja, melakukan sosialisasi serta penyebaran informasi dan edukasi TBC, memberikan waktu istirahat kepada pekerja dengan TBC untuk paling sedikit dua minggu, mendukung upaya pengendalian TBC di tempat kerja, serta memberikan dukungan upaya rehabilitasi untuk mengupayakan pekerja kembali bekerja sesuai penilaian kelayakan kerja oleh dokter.
Ketiga, pihak swasta dapat mengambil peran pembiayaan melalui corporate social responsibility atau kegiatan filantropis untuk memperkuat upaya eliminasi TBC di Indonesia. Pembiayaan ini dapat memberikan daya ungkit untuk aktor nonpemerintah melakukan advokasi serta memantau implementasi kebijakan di tingkat nasional dan subnasional; mengembangkan inovasi, pengembangan serta riset untuk perbaikan program; memperkuat kapasitas SDM dan manajemen program TBC; serta memobilisasi sumber daya domestik ataupun internasional.
Baca Juga: Pekerja Buruh dan Petani Paling Banyak Terpapar TBC
Meskipun pemenuhan taraf kesehatan adalah kewajiban negara, pihak swasta juga mau tidak mau harus terlibat dan dilibatkan untuk melakukan inovasi, mendorong peningkatan sumber daya, mengimplementasikan kebijakan, serta meningkatkan akses layanan kesehatan TBC yang berpusat kepada pasien dan berkualitas di Indonesia.
Baca Juga: Peran Komunitas TBC Perlu Diperkuat
Tentu saja pemerintah perlu mengatur bagaimana pihak swasta serta pemangku kepentingan nonpemerintah lainnya memiliki kapasitas dan mendapatkan insentif yang menarik untuk berperan dalam eliminasi TBC. Sebagai negara yang berdaya, pemerintah perlu memikirkan secara serius bagaimana meningkatkan pembiayaan domestik sehingga pihak swasta dapat mengambil peran untuk mencapai eliminasi TBC di 2030.
Nurul Luntungan, Ketua Pengurus Yayasan Stop TB Partnership Indonesia (STPI)