Kebangkitan Wisata Religius
Pandangan kritis mencemaskan wisata religius mendorong peningkatan komodifikasi agama. Pandangan inklusif lebih optimistis: wisata religius mampu menumbuhkan ekonomi sekaligus menciptakan ruang bagi pemaknaan bersama.

Idi Subandy Ibrahim
Senja penghujung 2022 lalu, dari ketinggian gondola (cable car), kami menikmati panorama indah lembah Thaif. Kota sejuk di pegunungan sekitar 80 kilometer sebelah tenggara kota Mekkah tersebut merupakan salah satu tujuan wisata religius bagi jemaah umrah/haji Indonesia.
Melengkapi selera peziarah Muslim milenial, persis di kaki bukit (Jabal) Nur, Mekkah, dibangun Museum Al Wahyu. Dengan diorama megah berdekorasi teater, di bawah siraman cahaya, pemandu muda asal Jawa Barat membawa pengunjung menelusuri jejak para nabi dan memasuki model replika Goa Hira. Pengunjung seperti terbang menyaksikan lanskap tanah Arab dalam panorama digital.
Wisata religius, wisata spiritual, wisata sakral, wisata sebagai ziarah, ziarah sebagai wisata, atau wisata iman merupakan perjalanan ziarah (mungkin sambil rekreasi) untuk tujuan keagamaan atau spiritualitas dalam pencarian maknanya.
Baca juga : Kekerasan Budaya
Kini di abad ke-21, internet memang bisa menghadirkan situs-situs suci dan ruang-ruang religius secara virtual langsung ke rumah-rumah. Ziarah digital memungkinkan umat beriman mengelilingi situs warisan budaya dan agama dari sofa mereka, bermodal paket internet dan telepon pintar. Kerinduan spiritual itu sebagian terobati!
Namun, setelah dua tahun dalam dekapan pandemi, tur-tur wisata virtual tidak menggantikan pengalaman nyata. Industri wisata religius global menggeliat kembali. Digitalisasi tidak menggantikan perasaan dan bau tanah serta hasrat manusia untuk bepergian dan rasa haru serta curahan air mata saat berziarah.
Setiap agama besar dan bahkan agama lokal memiliki potensi untuk menarik rasa ingin tahu peziarah dan wisatawan asing. Bangsa beragam agama dan budaya, seperti Indonesia, memiliki kekayaan ekspresi sebagai modal untuk mengembangkan wisata budaya dan religius.
Sebutlah Pulau Bali, dengan keunikan budayanya tecermin dalam kehidupan sosial religius dan adat istiadat yang menyatu dengan perilaku kehidupan masyarakat. Di pulau ini terdapat banyak pura tua, situs suci bagi umat Hindu. Begitu pun penganut Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Khonghucu memiliki sejumlah situs, monumen, bangunan, dan momen perayaan bernilai religius.
Baca juga : Guru, Riwayatmu Kini
Bagi Muslim di Nusantara, tradisi tertentu yang bernuansa religius sudah lama menjadi bagian dari agenda rutin tahunan. Bulan Ramadhan menjadi momen umat Islam mengekspresikan religiositas dalam sentuhan lokalitas. Di Keraton Surakarta, misalnya, ada tradisi malam Selikuran untuk menyambut Lailatul Qadar. Festival Ramadhan dan kampung Ramadhan muncul di banyak daerah dengan beragam ekspresi. Ekspresi bernuansa religius memiliki makna khusus bagi pemeluknya yang bisa menimbulkan rasa eksotisme tertentu bagi wisatawan. Wisata halal Indonesia menduduki peringkat ke-2 dalam Global Muslim Travel Index 2022, di bawah Malaysia.
Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melakukan berbagai langkah untuk menggali potensi tersebut. Begitu banyak tempat ziarah, situs dan bangunan keagamaan, serta kebiasaan hidup masyarakat di kepulauan Nusantara yang jika lebih diberdayakan mungkin bisa menjaga warisan berharga tersebut dari kepunahan.
Baca juga : Buku dan Budaya Baca
Dalam satu dekade terakhir, wisata religius kian menjadi bisnis multimiliar dollar. Ikut melecut industri lain, seperti penerbangan, biro perjalanan, perhotelan, seni, arsitektur, kerajinan, busana, kuliner, cendera mata dengan beragam kualitas produk dan jasa.
Tak heran, banyak pemerintah dan agen wisata memandang industri turisme sebagai cara untuk menyelamatkan ekonomi mereka dan memberdayakan komunitas budaya. Untuk memaksimalkan potensi modal wisata, mereka didorong menarik sebanyak mungkin wisatawan dengan cara memenuhi hasrat manusia akan pengalaman baru dan unik.
Kebangkitan ekonomi hasrat dan ekonomi waktu luang merupakan bagian penting dari penggerak industri wisata global. Pukulan krisis ekonomi global memang menaikkan tarif penerbangan lintas negara, tetapi pemulihan ekonomi beberapa negara, termasuk Indonesia, telah mengubah arus manusia dari selatan ke utara.
Melihat peningkatan ekonomi umat Islam dan arus wisatawan Muslim di Asia, beberapa negara berpenduduk mayoritas non-Muslim, seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, gencar menangkap peluang pasar wisata ini. Mereka mengembangkan sektor wisata inklusif yang ramah Muslim. Beberapa bahkan mengembangkan kuliner lokal dengan kemasan ”wisata halal” agar wisatawan Muslim merasa nyaman.
Selama ini wisata dianggap kegiatan profan dan sekuler. Perkembangan wisata religius dilihat seperti pedang bermata ganda.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F02%2F02221b84-68b2-4bb9-b8c1-b77b817f37a8_jpg.jpg)
Pengunjung keluar dari Masjid Safinatun Najah, Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (2/4/2022). Masjid yang berarsitektur unik itu didirikan karena pemiliknya terinspirasi oleh kapal penyelamat milik Nabi Nuh. Sejak dibangun pada 2015, masjid itu ramai didatangi pengunjung dari banyak daerah, terutama menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Di satu sisi, pandangan kritis mencemaskan wisata religius mendorong peningkatan komodifikasi agama. Agama dan keyakinan dijadikan kemasan komoditas komersial untuk meraup keuntungan pasar wisata. Paket wisata religius ke situs-situs suci mengikuti hukum pasar dengan mengeksploitasi peningkatan keimanan demi keuntungan.
Di era budaya populer digital, perbedaan antara atraksi taman bertema religius dan unsur-unsur religius sedang mencair. Momen wisata religius menjadi ajang pertunjukan sinematik dan pengalaman digital untuk menghibur mata pengunjung ketimbang melembutkan hati penganut keyakinan. Kemudian muncul kekhawatiran terjadinya erosi agama dan tradisi lokal dalam representasi budaya wisata yang didorong gaya hidup hedonis dan konsumtif, yang menyisakan sampah dan krisis lingkungan.
Di sisi lain, pandangan inklusif lebih optimistis. Pengembangan wisata religius dianggap tidak hanya mampu menarik minat wisatawan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi waktu luang, tetapi juga menyediakan tempat-tempat pertemuan penting bagi pengunjung dan masyarakat setempat sehingga menjadi ruang bagi pemaknaan bersama. Hal ini dibutuhkan untuk menumbuhkan toleransi, rasa hormat, dan saling pengertian antara budaya berbeda untuk membangun dialog budaya dan perdamaian dunia.
Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar MIK Pascasarjana Universitas Pasundan; Pengajar LB MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya, Malang; serta Pengajar Program S-3 Agama dan Media/Religious Studies Universitas Islam Negeri Bandung