Snobisme virtual menjadi buah bibir di media sosial, jauh lebih menarik bagi generasi kini. Para penutur tradisi lisan lokal pudar digantikan pembaca berita dan pelawak di televisi atau pegiat Tiktok.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·5 menit baca
Laporan Kompas (6/5/2022) menegaskan pandemi Covid-19 kian memukul budaya baca dan penjualan buku di Indonesia. Tak mudah mendorong orangtua dan anak untuk menumbuhkan minat baca dan mencintai buku. Pandemi menggerus daya beli sehingga membeli buku atau bacaan lain jauh dari prioritas. Lagi pula, mengajak anak menikmati buku di perpustakaan atau toko buku bukanlah kebiasaan umum orangtua di Indonesia.
Sorotan atas keterpurukan budaya buku dan budaya baca di negeri ini bukan hal baru. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Gramedia Pustaka Utama, 1996),Profesor Denys Lombard, sarjana Perancis dengan kepakaran dalam sejarah Indonesia mencatat, secara umum, orang Indonesia sedikit sekali membaca. Penyebabnya, pertama, rendahnya tingkat melek huruf dan, kedua, sikap menentang setiap bentuk kegiatan perseorangan. Bagi kebanyakan orang Indonesia, membaca sebagai budaya individualisme.
Jangan lupa pula bahwa secara tradisional, kegiatan kesusastraan Nusantara memang bersifat kolektif. Berupa kisah yang diceritakan pada sekelompok pendengar. Meskipun para penutur tradisi lisan lokal mulai pudar dan digantikan oleh pembaca berita dan pelawak di televisi atau pegiat Tiktok di media sosial, budaya lisan atau tutur telah menjadi bagian tradisi hidup kolektif. ”Pembacaan dengan suara pelan, untuk diri sendiri dalam keheningan dan kesendirian, sama sekali berlawanan dengan ideal itu,” ujar Lombard.
Tak mengherankan, kalau orang Indonesia sangat sedikit membaca karya sastra modern, yang martabatnya tidak sama dengan di Eropa. Setiap orang Eropa terdidik, sedikit banyak dituntun untuk mengetahui roman-roman besar kontemporer, sedangkan orang terdidik di negeri ini sama sekali tidak merasa malu mengatakan bahwa ia belum pernah membaca karya-karya sastra besar. Orang-orang di negeri ini tampaknya jauh lebih gandrung dengan kisah-kisah mistis, gosip, desas-desus, dan ngerumpi sehingga mitos dan berbagai simbolismenya berkembang baik di era kejayaan wayang ataupun media sosial.
Agenda budaya untuk menumbuhkan selera baca sudah digagas dengan berbagai cara oleh komunitas dan individu. Sebutlah, misalnya, pada 1970-an, Ajip Rosidi sudah memulai sebuah perusahaan penerbitan karya sastra, yaitu Pustaka Jaya, dengan tekad membangun selera dan kebiasaan membaca—khususnya di kalangan anak-anak—untuk mengejar dan melampaui hasil yang dicapai oleh Balai Pustaka sebelum perang. Usahanya jelas patut dikagumi, meski hasilnya terbatas (Lombard, 1996: 195).
Sayangnya, sekalipun angka melek huruf relatif meningkat dalam dua dekade terakhir, tetapi dominasi budaya visual (televisi) dan budaya digital (internet) relatif kurang menggerakkan budaya baca. Malahan dalam beberapa segi menjadi bagian dari kendala budaya baca. Karena itu, buku-buku sastra diterbitkan masih dengan oplah relatif kecil dan pembaca koran tidak banyak tumbuh dibandingkan peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Lahirnya sastra digital masih menunggu hasilnya.
Pada bulan Mei ini ada dua hari penting. Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei dan Hari Buku Nasional pada 17 Mei, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Perpustakaan Nasional. Kedua, hari ini amat terkait dengan buku, tentu saja jika buku dianggap sebagai media budaya untuk pencerdasan bangsa.
Jika buku dianggap sebagai produk budaya, keterpurukan budaya buku dan budaya baca pun sebagian berakar pada budaya elite dan budaya massa yang berkembang. Hal ini bisa dilihat dari selera budaya baik di kalangan terdidik, pemerintah atau politisi, maupun masyarakat umum.
Di kalangan terdidik, selera budaya baca yang rendah terlihat dari keinginan membaca di kalangan sebagian dosen/guru dan terutama mahasiswa/siswa baru sebatas kewajiban atau tugas yang terpaksa dilakukan, belum sebagai kesadaran menambah dan memutakhirkan pengetahuan. Tidak heran kalau muncul program aneh, seperti Program Percepatan Guru Besar. Cara berpikir serba-karbitan jelas muncul dari budaya baca yang rendah yang sedikit banyak memengaruhi mutu budaya akademis di Indonesia. Budaya baca yang rendah bertemu dengan ”googleisasi” pencarian rujukan instan makin menutup jalan untuk membangun tradisi memperoleh akumulasi pengetahuan sistematis dan melemahkan budaya penelitian.
Di kalangan pemerintah atau politisi, masih hidup pandangan bahwa membaca itu hanya kegiatan berteori. Lantas, mendidik orang di perguruan tinggi itu dianggap bukan praktik bermartabat dibandingkan dengan berpolitik praktis. Karena hanya berteori, ia bukanlah kegiatan bergengsi! Ini bertolak belakang dengan kebiasaan sebagian pejabat di negeri ini yang berkuliah (mencari gelar) justru ketika mereka sedang menjabat.
Cara berpikir seperti itu tergambar pada wacana politik elite di negeri ini yang kualitasnya tidak berkembang dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Pidato politik era Soekarno-Hatta tidak kehilangan konteks dan aktualitasnya dengan kutipan-kutipan cerdas dari berbagai pemikir besar dunia sekaligus menunjukkan tingginya budaya baca dan penghargaan mereka terhadap buku.
Kemiskinan wacana politik dan akademis juga mencerminkan budaya wacana umum yang berkembang di masyarakat. Buku masih dianggap sebagai barang eksklusif. Bagaimana menumbuhkan budaya buku, kalau bagi sebagian besar keluarga Indonesia, anggaran pulsa primadona, anggaran buku nihil. Berkunjung ke mal gengsi, ke perpustakaan menghabiskan waktu. Jika hendak diambil angka rata-rata mungkin dalam jarak 1 km belum tentu ada 1 pelanggan koran di kota besar alih-alih di desa di Indonesia.
Digitalisasi buku mulai gencar setelah 2000-an dan untuk tujuan komersial, beberapa penerbit berusaha mengemas buku dengan format bergambar dan menonjolkan nuansa visualnya. Upaya tersebut sebagian berhasil menarik selera generasi penulis dan pembaca baru yang sedang tumbuh. Akan tetapi, seperti laporan Kompas, sacara umum budaya baca masih jalan di tempat, jika tidak mengalami kemunduran.
Diperlukan agenda budaya sistematis dari para pemangku kepentingan utamanya pemerintah untuk membuat kebijakan guna membentuk masa depan budaya baca dan perbukuan di negeri ini. Tentu saja, tidak seperti membalik telapak tangan. Apalagi snobisme virtual, menjadi buah bibir di media sosial, jauh lebih menarik bagi generasi kini. Mungkin itulah sebabnya beberapa pesohor, politisi, penceramah agama, bahkan ilmuwan lebih memilih menjadi youtuber atau influencer, kerena generasi pasca-buku sedang tumbuh dan merayakan kemasyhuran virtual.
Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi