Melihat relasi yang terpecah belah, bukan berarti menyerah pada kondisi itu, melainkan membuka diri secara keseluruhan agar terbina kesungguhan dalam berdialog.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
SALOMO TOBING
Saras Dewi
Musim politik telah dekat, tetapi bukan semarak perayaan yang terasa, alih-alih atmosfer kecemasan yang mulai menyekap. Segala rekaman kolektif publik diingatkan lagi tentang polarisasi, kericuhan, dan perkongsian politik yang sama sekali jauh dari kepentingan publik. Kontestasi politik semestinya bisa menjadi arena dialektis masyarakat mengujikan gagasan-gagasan, tetapi sejauh ini politik praktis dirasakan asing dari kebutuhan warga.
Saya memikirkan tentang asosiasi aktivitas politik yang selama ini selalu dilekatkan dengan pencitraan, persaingan habis-habisan, dan bahkan kekerasan. Namun, saya berpandangan bahwa kekerasan dalam politik bukanlah sesuatu yang tertancap di dalam esensi berpolitik itu sendiri.
Kekerasan itu telah dikultivasi, diinternalisasikan secara kontinu melalui sistem bahasa, sistem pengetahuan, teknologi, sistem sosial/kekerabatan, dan juga berkelindan dengan aktivitas ekonomi.
Dunia yang patah
Dalam penjelajahan filsafat politik, percakapan mengenai demokrasi, kekuasaan, keadilan, dan kebebasan tidak saja soal apa yang seolah-olah terberi dalam realitas ini. Filsafat politik adalah soal aspirasi melampaui yang saat ini ada. Filsafat politik dalam hal ini tidak melulu kajian teori politik saja, tetapi juga pembicaraan reflektif tentang apa yang kita lihat sehari-hari, termasuk ketidakpuasan kita dan pertanyaan-pertanyaan kritis menyoal asumsi dan landasan dari aksi politik yang tengah berlangsung.
Tempo hari saya berdiskusi dengan para mahasiswa di kelas mengenai politik selepas ujian hebat seperti pandemi, belum lagi, menghadapi ancaman perubahan iklim. Apakah artinya politik di dunia yang porak-poranda?
Saya memikirkan soal dunia yang berantakan, seperti apa yang pernah dituliskan oleh seorang filsuf dan dramaturg Perancis bernama Gabriel Marcel (1889-1973). Konsep dunia yang rusak (Le Monde Cassé) adalah gambaran Marcel tentang keterputusan antarmanusia dan kehampaan yang dirasakan oleh masyarakat yang dihantam berbagai permasalahan.
Marcel mengatakan, ”Kita hidup hari ini dalam dunia yang berperang dengan dirinya sendiri dan titik dunia dalam seteru ini didorong begitu jauh hingga dapat berakhir pada risiko yang bisa digambarkan sebagai bunuh diri dunia.” Adakah harapan dalam dunia yang patah itu? Atau apakah yang mungkin kita harapkan di dunia yang serba simpang siur?
Ketika saya melihat tayangan di layar setiap hari menyiarkan tentang kebencian karena perbedaan, atau kesombongan mereka yang memiliki kekuasaan, perundungan terhadap yang tak berdaya, apa yang dapat diharapkan dari dunia semacam ini?
Andai kita ingin melihat perspektif politik menggunakan pendekatan etis dari Marcel, kita akan mengupayakan sikap yang disebut oleh Marcel sebagai disponibilité, yang saya terjemahkan sebagai ketersediaan diri (availability). Maksudnya adalah, melihat relasi yang terpecah belah, bukan berarti menyerah pada kondisi itu, melainkan membuka diri secara keseluruhan agar terbina kesungguhan dalam berdialog. Politik juga adalah cara-cara berbagi ruang hidup dan kesediaan untuk belajar dari keberagaman pengalaman hidup orang lain.
Agonisme humanis
Saya ingin melanjutkan esai ini dengan mengangkat seorang perempuan pemikir filsafat politik. Masih dalam semangat peringatan Hari Perempuan Internasional, saya ingin membicarakan tentang gagasan dari Bonnie Honig (1959) khususnya soal bagaimana menjaga harapan akan kehidupan berdemokrasi di hadapan tekanan kekerasan dan represi. Ia sangat terinspirasi oleh sosok Antigone, figur perempuan dalam mitologi Yunani, yang juga menjadi salah satu tokoh penting dalam karya drama yang digubah oleh Sophokles (496-405 SM).
Antigone menjadi titik vokal dalam argumentasi Honig, yang ia reinterpretasikan sebagai simbol perlawanan terhadap kesewenangan. Antigone yang pemberani, secara tegas membangkang terhadap perintah Raja Kreon. Raja itu melarang siapa pun menguburkan Polynikes, saudara laki-laki Antigone yang terbunuh dalam perang saudara di Thebes. Antigone dalam nestapa, mengubur Polynikes yang amat dicintai. Atas pelanggaran ini, ia kemudian dijatuhi hukuman dengan dikurung di dalam goa. Berkukuh dengan pendiriannya, Antigone memilih kematian dengan menggantung dirinya.
Tragedi Antigone menceritakan lebih dari lamentasi tokoh tersebut. Namun, juga cara Antigone menggunakan suara dan isak kesedihannya sebagai disrupsi terhadap kekuasaan raja. Berdasarkan kisah ini, Honig mengembangkan teori politiknya, yakni agonisme humanis. Agonisme yang berakar pada bahasa Yunani, agon, yang berarti perjuangan atau perlagaan. Ia tersentuh oleh cerita Antigone yang dalam kesengsaraannya, tidak kehilangan harapan, ia terus menjalankan keyakinannya melawan segala ancaman.
Disrupsi ini, menurut Honig, mencuat dari kepedihan mendalam dan kerapuhan nyawa manusia di hadapan kekuasaan yang begitu besar. Humanisme semacam inilah yang perlu diperjuangkan, khususnya dalam dunia yang semakin terdesak dalam ketidakadilan.
Namun, hendaknya jangan salah menangkap inti filsafat politik Honig, meski dunia ini sarat akan kemalangan, disrupsi-disrupsi itu akan membuka kesadaran yang baru, manusia yang baru, kehidupan yang baru, dan politik yang baru. Ia menekankan pada makna humanisme, yang mengutamakan daya upaya untuk meninggikan martabat manusia.
Sebagai seorang feminis, Honig juga mengkritik dengan tegas bahwa penerapan kedaulatan dan kekuasaan acapkali bersumber dari asumsi patriarkal yang diterjemahkan menjadi otoritas negara untuk berperang dan melakukan kekerasan militeristik. Disrupsi dalam konteksi ini penting diperjuangkan demi kehidupan demokratis yang sungguh-sungguh humanis dan inklusif.
Sebagai akhir dari esai ini, saya sampai pada simpulan bahwa politik adalah jua mengenai ketersediaan dan tanggung jawab terhadap kemanusiaan, apa pun yang kurang dari itu, selayaknya terus diperjuangkan melalui disrupsi.
Saras Dewi
Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia
Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan
Kantor Redaksi
Gedung Kompas Gramedia, Jalan Palmerah Selatan 26-28, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.