Nekropolitik menciptakan ”death worlds”, situasi dunia kematian, yang bertujuan untuk melakukan dehumanisasi dengan cara merampas martabat manusia, menghancurkan ruang hidupnya, juga status politiknya.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
Ada kegelapan dalam hati seorang manusia yang sulit ditembus oleh cahaya apa pun. Kegelapan yang dibawanya hingga liang kematian, kemudian diwariskan kepada keturunannya. Memori tentang kekerasan adalah kegelapan yang dihuni oleh para arwah dari masa lalu. Sejarah tidak cukup membahasakan kekejian yang pernah diperbuat oleh manusia terhadap manusia lainnya.
Ini tampak dalam endapan ingatan orang-orang di Haiti. Mereka mengabadikan kesengsaraan itu ke dalam foklor yang sarat akan cerita-cerita kelam tentang nenek moyang mereka yang dahulu mengalami pedih perbudakan. Salah satu foklor yang diyakini oleh orang Haiti ialah mengenai zombi, makhluk yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai jasad yang dihidupkan kembali oleh kekuatan gaib.
Dalam imaji masyarakat modern, zombi(e) tidak lebih dari monster yang bangkit dari kubur dan berjalan gontai mencari mangsa daging manusia. Popularitas monster zombie sedemikian laris mengisi sinema, sastra, komik, hingga permainan video. Penggemar genre horor merasa puas seolah-olah merasakan sensasi berkejaran dengan kerumunan zombie, kita ingin menumpas monster itu. Namun, asal muasal zombi dari budaya masyarakat Haiti adalah cerita yang masygul.
Kata zombi itu sendiri diduga memiliki akar pada kebudayaan Kongo, yakni dari kata Nzambi yang merupakan salah satu nama dewa yang diyakini bersemayam di wilayah sungai di Kongo (Sarah Juliet Lauro: 2015). Meski ada penafsiran lainnya terkait dengan etimologi kata zombi, tetapi hal yang paling penting adalah mitos mengenai zombi dibawa dari Afrika ke Karibia hingga ke Amerika semasa perdagangan budak transatlantik yang berlangsung dari abad ke-16 hingga ke-19.
Zombi adalah bayangan ketakutan terbesar para budak yang menahan kesengsaraan penyiksaan dan kerja paksa di perkebunan tebu. Dikisahkan bagaimana penyihir sakti memberikan ramuan sehingga dapat membangkitkan tubuh yang telah mati menjadi mayat yang hidup dan bekerja tanpa henti di ladang. Kengerian yang tak terhingga adalah selepas kematian pun seseorang tetap terbelenggu perbudakan.
Mitos tentang zombi terhubung pula dengan agama yang dianut para budak, yakni Voodoo. Berbeda dari asumsi eksotisme ataupun demonisasi terhadap Voodoo, agama Voodoo sejatinya berkembang sebagai reaksi terhadap perbudakan. Agama tersebut menjadi pelipuran bagi para budak di tengah keputusasaan mereka menjalani keterkungkungan.
Voodoo berperan besar dalam pemberontakan para budak di Haiti. Melalui ritual-ritual yang mereka selenggarakan secara klandenstin, para budak membangun perlawanannya. Upacara Bois Caïman menjadi pertemuan penting bagi mereka dalam mengorganisasi resistensi. Perwakilan dari pelbagai perkebunan menghadiri ritual rahasia tersebut yang menandai suatu komitmen persaudaraan untuk melawan penindasan. Gagasan tentang zombi menjadi instrumen yang integral dalam perjuangan para budak, kepercayaan mereka adalah jika pun mati dalam perjuangan ini, jiwa mereka akan dibangkitkan kembali untuk menyatu bersama alam Afrika.
Melalui sejarah perbudakan yang terjadi di Haiti, saya merenungkan apa yang dibahas oleh Achille Mbembe, seorang filsuf kelahiran Kamerun, bahwa dalam nekropolitik penerapan teror menjadi fondasi berpolitik. Nekro, dari bahasa Yunani yang berarti jenazah, mayat, atau kematian, digunakan oleh Mbembe sebagai teori politik yang merupakan pengembangan gagasan biopolitik dari Michel Foucault, seorang filsuf pos-strukturalis asal Perancis.
Jika biopolitik menekankan pada bagaimana operasi kekuasaan mengatur tubuh dan kehidupan sosial itu, nekropolitik menyorot tindak tanduk kuasa mendikte masyarakat menggunakan segenap teknologi, sistem ideologi, budaya, ataupun religi yang menandaskan pada kematian. Mbembe yang penelitiannya terfokus pada poskolonialisme menegaskan bagaimana Afrika terkoyak dikarenakan penjajahan, pemiskinan, serta perbudakan yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial.
Nekropolitik membentuk pula susunan ekonomi melalui industri yang menormalisasi kematian dan penyiksaan massal seperti halnya perdagangan budak. Begitu pula pola interaksi konflik sarat koersi yang menjadi komoditas, hal ini mendorong penyebarluasan serta kelaziman perang. Bertrand Russell dalam karyanya yang berjudul ”Mengapa manusia berperang” mengatakan bahwa peperangan adalah institusi yang paling bertahan dalam sejarah manusia. Ia mengkritik bahwa peperangan terjadi dikarenakan impuls manusia yang diperburuk oleh glamorifikasi pengultusan perang. Seperti ada kenikmatan memaksakan kekuasaan pada orang lain, demikian kecurigaan Russell.
Pandemi ini menyibak suramnya ideologi manusia, deretan kejadian seperti menguatnya partai ultranasionalis Hindu India yang mempersekusi kelompok minoritas Kristen dan Islam, lalu kekerasan dan teror yang dilancarkan oleh pemimpin otoriter Jair Bolsonaro terhadap komunitas adat di Brasil, pembunuhan masyarakat sipil oleh Tatmadaw, junta militer di Myanmar.
Apabila dikembalikan pada analisis Mbembe, ia berargumen bahwa nekropolitik mereduksi manusia hingga mereka hidup dalam situasi yang mengenaskan. Mbembe menyebutkan, Palestina sebagai wujud penjajahan pada masa kontemporer, warganya dipaksa hidup selalu dalam ancaman kematian. Nekropolitik juga menggunakan rasialisme sebagai alat invensi ruang-ruang yang secara gamblang bertujuan demi membeda-bedakan dan membuat segregasi yang keras antargolongan.
Politik kematian dan teror yang sedang terjadi di Ukraina oleh penjajahan militer Rusia tidak saja soal ambisi penguasaan kewilayahan. Ciri daripada nekropolitik adalah peragaan penganiayaan tubuh untuk mempertontonkan kekuasaan. Ombudsman Hak Asasi Manusia Ukraina melaporkan bahwa terjadi pemerkosaan secara sistematis dan perbudakan seksual terhadap perempuan di Bucha dan Irpin.
Pemerkosaan sebagai senjata perang adalah kejahatan kemanusiaan, tindakan biadab itu menyasar pada penghancuran kedirian seseorang. Nekropolitik menciptakan death worlds, situasi dunia kematian, yang bertujuan untuk melakukan dehumanisasi dengan cara merampas martabat manusia, menghancurkan ruang hidupnya, juga status politiknya.