Kebencanaan iklim di masa antroposen harus mendorong kita untuk bermetamorfosis, termasuk sintas dengan mempelajari jejaring nonmanusia lalu bekerja sama.
Oleh
Saras Dewi
·5 menit baca
Perjalanan menuju Jembrana, Bali, saya lalui dengan kecemasan yang menggantung. Hujan deras disertai kilat halilintar yang berbalas-balasan membuat kelak-kelok jalanan semakin mendebarkan. Saat melewati jembatan Bilukpoh, saya menyaksikan amuk luapan sungai yang memekakkan telinga.
Bencana banjir bandang yang terjadi di Jembrana menyisakan kesedihan bagi penduduk sekitar. Air menerjang rumah-rumah warga, menyebabkan segalanya porak-poranda. Banjir besar seperti ini semakin sering terjadi di Jembrana. Tahun ini, banjir tidak saja terjadi di wilayah Barat Bali, tetapi juga di Selatan, seperti di Seminyak, Kuta, serta Bali bagian Timur, yakni di Bebandem, Karangasem.
Di posko pengungsian, saya berteduh dari hujan yang kian deras sambil mendengarkan cerita serta keluhan warga. Sebagian keluarga saya berasal dari Desa Penyaringan, mereka bercerita nelangsa kehilangan rumah yang hanyut terbawa air bah yang menyeruak menakutkan. Kebencanaan banjir ini menyergap 18 desa di Jembrana sehingga menyebabkan ratusan rumah warga rusak dan hancur, bahkan ganasnya deru air mematahkan tujuh jembatan.
Petaka ini terjadi karena beberapa penyebab. Bukan hanya cuaca yang ekstrem, melainkan juga karena perambahan hutan dan pembangunan yang mengganggu wilayah aliran sungai. Fenomena cuaca ekstrem yang terjadi pun tidak terlepas dari perubahan iklim. Kebencanaan iklim bukan lagi suatu ramalan yang mungkin datang, melainkan kebencanaan itu tengah kita alami sekarang dan akan memburuk di masa depan apabila kita tidak tangkas melakukan adaptasi dan mitigasi.
Peringatan tentang deteriorisasi lingkungan hidup beserta dampak-dampaknya telah lama digaungkan para pemikir lingkungan hidup. Kesadaran saya tentang alam sangat dipengaruhi beberapa pemikir, seperti James Lovelock dan Bruno Latour. Mereka berdua, meski memiliki fokus yang sama, yaitu mencermati problem ekologis, mengembangkan teori yang berbeda dalam upaya mengidentifikasi permasalahan lingkungan hidup. Kematian dua tokoh ini pada 2022 membuat saya berpikir tentang pengetahuan dan kegigihan mereka mendiskursuskan lingkungan hidup.
James Lovelock adalah seorang ilmuwan dan penemu dari Inggris. Ia berjasa menciptakan electron capture detector (ECD), yakni alat yang dapat mendeteksi atom dan molekul yang terkandung di dalam gas melalui proses penangkapan ionisasi elektron. Temuan ini mendorong terobosan pengetahuan, khususnya mengungkap tentang Klorofluorokarbon (CFC) serta dampaknya pada penipisan lapisan ozon bumi. Namun, yang membuat Lovelock unik sebagai ilmuwan menurut saya adalah cara ia bercerita tentang bumi, yang ia sebut dengan nama Gaia.
Karya Lovelock yang berjudul Gaia: A New Look At Life On Earth adalah manifesto yang brilian, suatu cetusan kepedulian seseorang terhadap kehidupan di bumi. Ia berargumentasi bahwa bumi adalah entitas yang hidup dan memiliki daya swakendali. Ia meyakini bahwa Gaia melalui kesanggupan sibernetiknya mengelola sedemikian rupa, seluruh sungai, laut, gunung, tumbuh-tumbuhan, hingga organisme mikroskopik untuk menciptakan keselarasan hidup. Segala-galanya adalah bagian dari tubuh Gaia. Ia memberikan contoh homeostasis, yakni mekanisme tubuh untuk menyeimbangkan dirinya. Baginya, kemampuan bumi mengasuh kehidupan diinterpretasikan sebagai bentuk kecerdasan Gaia.
Keberanian Lovelock untuk mempertahankan hipotesis Gaia, meski mengalami cercaan dari komunitas ilmiah, menunjukkan keyakinannya bahwa manusia perlu menghargai dan turut bertanggung jawab menjaga lingkungan hidup. Lovelock berjasa membuka ruang percakapan tentang ekologi, tidak saja melibatkan para ilmuwan, tetapi juga masyarakat luas dengan cara menuturkan fakta-fakta saintifik melalui narasi Gaia, yang berhasil menyentuh perasaan dan kepekaan banyak orang.
Sementara itu, Bruno Latour, seorang filsuf dan antropolog dari Perancis, mengajukan Actor-Network Theory (ANT). Teori ini mengedepankan gagasan bahwa kehidupan kita sejatinya terbentuk dari relasi yang terus berubah-ubah antaraktor. Aktor yang dimaksud oleh Latour bukan saja manusia, melainkan juga semua makhluk ataupun benda, apa pun yang nonmanusia juga berperan dalam alur realitas ini. Semasa pandemi ini, saya membaca karyanya yang berjudul After Lockdown dan dapat mengerti bagaimana virus adalah aktor yang menyebabkan disrupsi dan perubahan besar, khususnya mempengaruhi manusia.
Kritik Latour terhadap Lovelock adalah ia cenderung antropomorfis, masih berupaya membuat bumi secitra dengan manusia. Padahal, bumi terdiri dari partikularitas-partikularitas yang tidak sesederhana itu dapat dipersatukan menjadi figur seperti manusia. Bayangkan melalui studi geologi, dari ilmu itu kita dapat belajar tentang material bumi yang terus berubah dan bagaimana proses kristalisasi, sedimentasi, disolusi adalah proses megah yang terjadi semenjak jutaan tahun lamanya.
Lantas, apa yang perlu kita lakukan selepas lockdown? Usul Latour, pandemi ataupun kebencanaan iklim di masa antroposen ini harus mendorong kita untuk bermetamorfosis, termasuk sintas dengan mempelajari jejaring nonmanusia lalu bekerja sama. Latour selalu mengusulkan dobrakan teknologis dalam beradaptasi dengan perubahan iklim, eksplorasi keilmuan multidisipliner demi mitigasi kataklisme perubahan iklim.
Seperti yang telah saya sampaikan di awal, dua tokoh dengan dua corak berfilsafat yang berbeda, tetapi memiliki kecemasan yang sama terhadap bumi. Bagi saya, dua pemikir ini, terlepas perbedaannya, adalah futuris yang bermimpi dan berharap tentang masa depan kehidupan di bumi. Pada kondisi keterpurukan lingkungan hidup seperti saat ini, aspirasi untuk menyongsong dunia baru menyalakan gelora untuk bertindak. Mengapa keinginan untuk menciptakan dunia dalam keterjalinan sosial-ekologis dianggap sesuatu yang utopis? Bukankah ekologi utopia atau ekotopia pada substansinya adalah proyeksi terhadap apa yang mungkin kita ciptakan bersama?
Melampaui perdebatan teoritik tentang lingkungan, saya terngiang cerita Nenek saya tentang ular besar yang bersemayam menjaga hutan di Jembrana. Nama Jembrana itu sendiri yang berasal dari gabungan kata jimbar yang berarti besar, dan wana yang berarti hutan. Entah, hendak dipersepsikan dari sudut pandang animisme atau teori aktor-jejaring, tetapi saya merinding melihat tubuh sungai yang berwarna coklat pekat meliuk-liuk berang seperti kisah kemarahan naga gaib Taksaka yang menaruh dendam karena hutannya dirusak. Satu hal yang tidak dapat ditampik adalah: kedahsyatan kuasa alam.
Saras Dewi, Pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia