Sebagian penulis berlatar budaya Jawa tampaknya kurang menguasai kosakata dalam penulisan cerita hantu. Ada penulis yang malah keliru menggunakan kata ”berkelakar”.
Oleh
Kurnia JR
·2 menit baca
Sejak meledaknya film KKN di Desa Penari, melonjak pula semangat menulis cerita horor di berbagai platform digital, yang selanjutnya dibukukan dan sebagian besar berharap mendapatkan keberuntungan yang sama dengan yang sudah difilmkan.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan banyaknya film nasional tentang hantu, menjamur kisah-kisah seram yang memunculkan hantu, santet, pesugihan, dan sejenisnya dari banyak daerah, dari yang berlatar lingkungan perkotaan hingga perdusunan terpencil yang masih disungkup tradisi tua.
Agak menggelitik bahwa pada satu sisi banyak dari kita yang mencemooh eksistensi supranatural yang disebut hantu, pada sisi lain film-film yang mempertontonkan hantu hampir selalu diserbu penonton di bioskop. Mungkin seimbang persentase antara yang skeptis dan yang percaya atau setengah percaya bahwa hantu benar-benar nyata.
Pun ada kesan bahwa dia tidak akrab dengan kamus sebab dia juga bermasalah dengan sejumlah kosakata lain.
Para penulis muda berdatangan dari berbagai pelosok dan mengeksplorasi fenomena hantu dari daerah masing-masing. Dari pengamatan ala kadarnya dapat dibuat gambaran sementara bahwa dari segi budaya, mayoritas penulis berlatar belakang Jawa, disusul Kalimantan dengan kultur Dayak yang eksotis dan berkesan magis misterius. Sementara penulis Sumatera yang mengisahkan materi folklor daerahnya terbilang minoritas, padahal folklor dunia hantu bumi Andalas sangat kaya.
Para penulis ini rata-rata dari generasi sepuluh tahunan selepas masa kuliah strata satu hingga yang masih bersekolah di SMA. Yang patut dipuji dari para penulis kisah horor ini adalah bahwa mereka mau bersusah payah menuliskan dialog dalam dua bahasa, yakni bahasa daerah setempat diiringi terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam tanda kurung.
Efek yang terasa dari hal itu adalah aspek suasana cerita terbangun lebih meyakinkan. Tampaknya mereka sadar betul bahwa sungguh penting menggamit pembaca ke dalam suasana interior yang diinginkan, terutama aura menyeramkan yang dibangun tahap demi tahap, yang tak bisa lepas dari struktur budaya, bahasa, dan situasi sosial di dalam alur cerita.
Adapun tentang bahasa, sebagian penulis berlatar budaya Jawa tampaknya kurang menguasai kosakata. Seorang penulis yang kisahnya viral dan sudah difilmkan, bahkan dianggap panutan banyak penulis lain, menggunakan kata berkelakar secara keliru. Kata tersebut diterapkan untuk pengertian ’mengerang (karena kesakitan)’. Tampaknya dia tidak tahu maknanya yang baku. Pun ada kesan bahwa dia tidak akrab dengan kamus sebab dia juga bermasalah dengan sejumlah kosakata lain.
Ada kasus yang relatif sering terjadi, yakni pemakaian kata menghiraukan untuk makna ’tidak memedulikan’. Tampaknya hingga kini masih banyak orang tidak menyadari atau tidak tahu bahwa hirau sama dengan acuh yang artinya ’peduli’. Jadi, ketika ingin menyatakan ketidakpedulian, seharusnya orang menulis tidak menghiraukan atau tidak mengacuhkan. Ada kasus lain yang dapat dijadikan bahan telaah oleh siapa pun yang gemar menulis atau ingin jadi penulis.
Sekiranya kasus ini terjadi pada generasi penulis yang secara mental baru hijrah dari ujaran Jawa ke bahasa Indonesia pada dekade 1950-an dan 1960-an, seperti kesaksian yang dituturkan Sapardi Djoko Damono, kita bisa maklum. Sementara ini mengenai generasi penulis milenial!
Para penulis cerita hantu dari Kalimantan dan Sumatera relatif lebih baik dalam hal tata bahasa dan kosakata. Padahal, pergulatan mereka, terutama penulis kisah-kisah Kalimantan, untuk menaklukkan berbagai peristilahan yang menjabarkan fenomena supranatural yang berbahasa lokal tampaknya agak rumit.
Dari segi jender, secara umum perempuan penulis berbahasa lebih baik dibandingkan penulis pria. Mungkin karena mereka lebih telaten mempersiapkan diri sebelum memasuki dunia kepengarangan, meski rata-rata mengaku menulis pengalaman seram mereka karena iseng atau untuk melawan trauma.