Kompensasi Kerugian Petani
Pemerintah diharapkan cepat tanggap atas kesulitan yang dihadapi petani dan tidak membiarkan petani merugi. Pemberian kompensasi untuk lindungi petani perlu diintegrasikan dengan subsidi meningkatkan produksi pertanian.
Berita utama Kompas (28/2/2023) melaporkan dua sisi yang berbeda, yakni banjir dan panen raya.
Dari sisi banjir dilaporkan persawahan di sejumlah daerah mengalami gagal panen akibat sawah terendam. Di sisi lain, dilaporkan panen raya akan terjadi dalam waktu dekat. Kedua fenomena itu berpotensi menyebabkan petani merugi.
Atas dasar itu, pemerintah perlu melakukan upaya, antara lain, berupa pemberian kompensasi agar kesejahteraan petani tidak merosot.
Secara faktual, banjir merupakan fenomena alam yang tidak mudah dikendalikan dan hal itu terjadi hampir secara universal. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, pada tataran global, banjir menyebabkan kerugian 21 miliar dollar AS atau 19 persen dari total kerugian terhadap petani dan produksi sektor pertanian.
Sementara itu, pada situasi panen raya, kerugian bukan pada sektor pertanian, melainkan pada petani akibat turunnya harga gabah. Bahkan, petani di Tanah Air merugi tidak hanya pada masa panen, tetapi juga pada masa tanam akibat biaya produksi meningkat. Adapun pada masa tanam, petani kerap dihadapkan pada kelangkaan input pertanian, seperti pupuk dan bibit, dan harganya naik.
Baca juga : Ketentuan tentang Harga Pembelian Dinilai Rugikan Petani
Baca juga : Kerugian Mengintai Petani Jelang Panen Raya
Terjadinya fenomena naiknya harga input dan turunnya harga output pertanian sekaligus menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan usaha berisiko tinggi. Celakanya, petani tidak memiliki opsi untuk menekan biaya input pertanian agar dapat memperbesar margin keuntungan.
Berbeda halnya pada pelaku usaha industri, rasionalisasi biaya produksi dapat dilakukan, antara lain, dengan mengurangi tenaga kerja dan output.
Adapun faktor kerugian petani pada masa panen umumnya terjadi akibat harga gabah yang lebih rendah dari biaya produksi (Kompas, 2/2/2023). Bahkan, harga gabah jauh di bawah angka inflasi sehingga pendapatan yang diterima petani secara riil merosot.
Diketahui, harga batas atas gabah atau beras berdasarkan Surat Edaran Badan Pangan Nasional No 47/TS.03.03/K/02/ 2023 menetapkan harga pembelian di tingkat petani Rp 4.550 per kilogram (kg). Sementara untuk harga batas bawah gabah atau beras, Peraturan Menteri Perdagangan No 24 Tahun 2020 menetapkan harga Rp 4.200 per kg.
Sementara itu, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Januari 2023 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Rp 5.837 per kg. Terdapat kenaikan harga gabah Rp 484 pada Januari 2023 dibandingkan harga Januari 2019 (Rp 5.353 per kg) atau selama 2019-2023 ada kenaikan harga GKP di tingkat petani 9,04 persen.
Kenaikan harga gabah sebesar itu masih jauh di bawah inflasi yang besarnya rata-rata 5 persen per tahun atau sekitar 20 persen secara kumulatif selama 2019-2023. Maka, agar pendapatan petani secara riil tidak merosot, harga gabah pada Januari 2023 sepatutnya sebesar Rp 6.423 per kg.
Kompensasi
Namun, disadari jika harga gabah ditetapkan Rp 6.423, hal itu akan menyebabkan harga beras di pasaran meningkat sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat.
Pada tahap lanjut, kenaikan harga beras akan memperburuk pola konsumsi dan menurunkan asupan gizi masyarakat. Konsumsi pangan akan bertumpu pada kalori dan menurunkan konsumsi protein serta menurunkan pengeluaran pendidikan dan kesehatan.
Maka, atas dasar itu, jika pemerintah mempertahankan harga gabah atau beras sesuai dengan surat edaran Badan Pangan Nasional (harga batas atas) dan Peraturan Menteri Perdagangan (harga batas bawah), serta mengikuti perkembangan rata-rata harga gabah berdasarkan data BPS, petani perlu memperoleh kompensasi agar pendapatan mereka secara riil tidak merosot.
Adapun perkiraan besaran kompensasi yang patut diterima petani pada Januari 2023 adalah selisih harga setelah memperhitungkan inflasi (Rp 6.423) dengan harga rata-rata di tingkat petani (Rp 5.837), atau sebesar Rp 586 per kg.
Pemberian kompensasi kepada petani karena harga gabah rendah kini juga disuarakan sejumlah pihak. Sementara dari sisi pembiayaan, disarankan agar biaya subsidi pupuk dialihkan ke harga gabah karena subsidi pupuk ditengarai belum cukup efektif mendongkrak produksi pertanian.
Pemberian kompensasi untuk melindungi petani sejatinya juga perlu diintegrasikan dengan subsidi untuk meningkatkan produksi pertanian, kesejahteraan petani, dan kemajuan perdesaan.
Secara faktual, kompensasi bagi petani akibat harga gabah rendah telah diberlakukan di sejumlah negara. Di Thailand, pemerintah di negara itu mengalokasikan dana 21,5 miliar baht untuk menjamin harga stabil dan terjangkau masyarakat dan tidak merugikan petani (Asia Insurance Review, 2008).
Bahkan, kompensasi terhadap petani di Tanah Air perlu diperluas, tidak hanya sebatas karena harga penetapan harga gabah rendah. Kompensasi juga perlu diberikan untuk mengatasi kerugian petani akibat bencana alam, seperti banjir. Hal ini, antara lain, telah diterapkan di AS yang berdasarkan publikasi Departemen Pertanian AS (USDA), kompensasi diberikan untuk mengatasi risiko gagal panen dan menyediakan jaring pengaman.
Pemberian kompensasi untuk melindungi petani sejatinya juga perlu diintegrasikan dengan subsidi untuk meningkatkan produksi pertanian, kesejahteraan petani, dan kemajuan perdesaan. Di Eropa, misalnya, berdasarkan laporan Komisi Eropa (2018), kebijakan subsidi diarahkan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, kesempatan kerja, dan industri pertanian.
Maka, atas dasar itu, sangat diharapkan pemerintah cepat tanggap atas kesulitan yang dihadapi petani dan tidak membiarkan petani merugi. Hal ini tidak hanya untuk melindungi petani, tetapi juga untuk kemajuan sektor pertanian dan ketahanan pangan di Tanah Air.
Razali Ritonga, Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan; Alumnus Georgetown University dan Lemhannas RI