Sejarah MK adalah sejarah turun naiknya kredibilitas sebuah lembaga di Indonesia setelah reformasi.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Jakarta tengah hujan lebat pada pagi hari. Jalanan macet. Seorang anggota DPR mengirim draf Rancangan Revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. ”Tolong dibaca,” tulisnya melalui Whatsapp.
Saya teliti satu per satu, pasal demi pasal. Draf Revisi UU Mahkamah Konstitusi itu katanya disusun Badan Legislatif DPR. DPR memang berhak menyusun rancangan undang-undang. Salah satu bagian yang kontroversial adalah aturan soal evaluasi hakim konstitusi. Dalam Pasal 27C ditulis, ”Hakim konstitusi yang sedang menjabat dievaluasi lima tahun sejak tanggal pengangkatannya oleh masing-masing lembaga yang berwenang”. Kemudian di Pasal 27C Ayat (2), ”Evaluasi juga dapat dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan pengaduan atau laporan dari masyarakat”.
Entah apa yang dimaksud dengan ”evaluasi” hakim konstitusi oleh perancang undang-undang. Apakah evaluasi dimaknai sebagai pergantian di tengah jalan hakim konstitusi sebagaimana dialami hakim konstitusi Aswanto pada 29 September 2022. Ketika ”pemegang saham” sudah tidak menghendaki, dipecatlah Aswanto dan digantikan dengan Guntur Hamzah yang ketika itu menjabat Sekretaris Jenderal MK.
Salah seorang pimpinan Komisi III DPR mengatakan alasan pergantian Aswanto karena Aswanto sering menganulir undang-undang yang dibuat DPR. ”Dia kan wakilnya DPR, masak menganulir undang-undang produk DPR.”
”Pemecatan” hakim konstitusi oleh DPR memang sudah menjadi sejarah. Dan, itu pertama kali terjadi dalam sejarah MK. Seorang hakim konstitusi yang juga menjabat Wakil Ketua MK ”dipecat” DPR karena putusannya membuat wakil rakyat ”tak berkenan”. Padahal, Aswanto hanyalah salah seorang dari sembilan hakim konstitusi.
Saya bertanya kepada anggota DPR itu, apakah merevisi UU MK dengan memasukkan satu pasal soal evaluasi hakim konstitusi sekadar untuk melegitimasi pemecatan atau political recalling hakim Aswanto pada 29 September 2022. Pertanyaan saya tidak berjawab.
Pemecatan Aswanto memang kontroversial. Hal ini menjadi skandal karena diikuti upaya ”pengamanan” dengan mengubah bunyi amar putusan MK. Apa yang diucapkan dan apa yang ditulis di putusan bisa berbeda. Masalah itu kini sedang diperiksa Majelis Kehormatan MK. Sembilan hakim konstitusi kini dilaporkan ke polisi.
Sejarah MK adalah sejarah turun naiknya kredibilitas sebuah lembaga di Indonesia setelah reformasi. Pernah disegani pada sebuah masa, ketika MK menjadi penyelesai problem konstitusionalitas, ketika MK menjadi lembaga pemutus sengketa pemilu, ketika MK menjalankan peran sebagai penjaga konstitusi dan ideologi, tetapi kemudian meredup dan kian pudar.
Tulisan Bambang Kesowo di harian Kompas, 15 Februari 2014, bisa menambah perspektif. ”Lembaga yang satu ini bak tidak pernah lekang dari ribet. Semula dielu-elukan ketika buah kewenangannya yang luar biasa mulai berbuah dengan banyak rasa aneh kini bak tiada hentinya dirundung masalah,” tulis Bambang seraya menambahkan, ”pasti ada yang keliru dengan desain kelembagaan.”
Sejarah jatuh-bangunnya lembaga pascareformasi bergantung pada 4M (man, momentum, media, dan money). MK lahir mendapatkan momentum yang tepat, mempunyai man (pemimpin) yang relatif punya integritas, mendapat dukungan media, dan punya dana (money). Namun, sejarah mengajarkan kehancuran lembaga, termasuk MK ketika faktor manusianya bermasalah. Ketua MK Akil Mochtar ditangkap dan ditahan karena jual beli putusan. Hakim konstitusi Patrialis Akbar juga terkena kasus.
Makin ke sini, MK seperti kian kedodoran. Kepercayaan publik kepada MK berdasarkan survei Litbang Kompas Januari 2023 berada pada angka 52 persen setara dengan Dewan Perwakilan Daerah dan parpol. Faktor manusia atau kepemimpinan tentu ikut menentukan pengembangan lembaga MK ke depan.
MK yang sedang berbenah seharusnya tidak diganggu dengan overpolitisasi. Apakah permasalahan yang sedang terjadi MK, dijawab dengan evaluasi hakim MK sesuai dengan revisi UU MK? Itulah yang harus menjadi bahan perdebatan. Draf revisi UU MK yang disusun Baleg DPR sama saja dengan memereteli prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman atau mengerangkeng MK di bawah ketiak kekuasaan politik. Prinsip atas nama politik kekuasaan itu kini sedang menggejala.
Hakim konstitusi Aswanto dipecat dan diganti dengan Guntur Hamzah tanpa lewat prosedur sesuai dengan undang-undang. Atas nama politik, semuanya terjadi dan rakyat hanya jadi penonton. Kondisi ini bisa mengarah pada apa yang disebut Prof Dr Azyumardi Azra di buku Negara Bangsa di Simpang Jalan (2021) sebagai social resentment (kejengkelan sosial).
Perancang revisi UU MK di Baleg DPR perlu membuka naskah akademis, di negara mana ada hakim konstitusi bisa dievaluasi sewaktu-waktu. Di negara mana, seorang hakim konstitusi dianggap sebagai ”direktur” perusahaan dan lembaga pengusul adalah pemilik.
Rasanya, para perancang UU Revisi UU MK perlu mendengar pandangan para hakim konstitusi. Mantan Ketua MK Mahfud MD yang kini menjabat Menko Polhukam menyampaikan pandangan Presiden soal revisi UU MK. Mahfud menulis, dalam sebuah negara hukum modern, ada dua prinsip dan menjadi prasyarat utama dalam sistem peradilan, yakni the principle of judicial independence dan the principle of judicial impartiality.
Independensi kekuasaan kehakiman adalah keniscayaan jika bangsa ini tetap mau komit pada konstitusi. Langkah politik DPR memberikan ruang evaluasi sewaktu-waktu kepada hakim konstitusi adalah langkah politik kebablasan yang bisa mengancam eksistensi negara hukum Indonesia. Inilah pergeseran dari supremasi hukum jadi supremasi politik.
Ketika hujan di Ibu Kota mereda, anggota DPR itu membalas. Sebenarnya tidak perlu melegitimasi pemecatan Aswanto dengan revisi UU MK. Itu bukan rule of law, melainkan rule by law. Di tengah sikap apatis elite terhadap penataan lembaga, akal sehat Mahfud yang membela Mahkamah dan mencegah Mahkamah masuk ke dalam ”kerangkeng” politik perlu diamplifikasi. Mempersoalkan pemecatan Aswanto, menggugat pola pikir pembuat draf revisi UU MK adalah ikhtiar menjaga konstitusi sebagai kontrak sosial bangsa.