Setelah kasus pencopotan hakim konstitusi Aswanto, revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau UU MK mulai bergulir. Empat poin perubahan dirumuskan dalam revisi UU MK tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah kasus pencopotan hakim konstitusi Aswanto, revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau UU MK mulai bergulir. Komisi III DPR merumuskan empat poin perubahan dalam revisi UU MK, yang akan dibahas bersama pemerintah, salah satunya terkait evaluasi hakim konstitusi oleh setiap lembaga pengusul.
Kemarin, Rabu (15/2/2023), Komisi III DPR menggelar rapat kerja bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kompleks Senayan, Jakarta, untuk membahas rumusan perubahan UU MK. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman dalam rapat tersebut mengungkapkan, meski sudah beberapa kali diubah, UU MK yang berlaku saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
Selain itu, lanjut Habiburokhman, usulan revisi UU MK kali ini juga didasarkan pada beberapa ketentuan yang dibatalkan putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022. Pada putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020, misalnya, MK menyatakan, diperlukan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga pengusul terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi yang tidak lagi menganut periodisasi. Konfirmasi sebatas pemberitahuan.
Beberapa pokok materi penting dalam perubahan keempat UU MK, antara lain persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan majelis kehormatan MK, serta penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Komisi III DPR sudah menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU MK dari pemerintah. Artinya, syarat untuk menindaklanjuti pembahasan sudah terpenuhi. Namun, pembahasan baru akan dilakukan setelah masa reses atau mulai pertengahan Maret karena pada Kamis (16/2) masa persidangan sudah ditutup.
Komisi III DPR sudah menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU MK dari pemerintah.
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang Wuryanto mengungkapkan, pembahasan mengenai rencana revisi UU MK sebenarnya sudah dilakukan sejak Februari 2022. Ia mengakui, salah satu alasan munculnya revisi tersebut adalah banyaknya uji formil dan materiil UU inisiatif DPR ke MK. Ironisnya, banyak pula UU tersebut dibatalkan oleh MK.
Di antaranya, UU Cipta Kerja. Bambang berpandangan, tidak sepatutnya MK menyandingkan UU Cipta Kerja justru dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Seharusnya, menurut dia, UU tersebut diuji dengan UUD 1945.
”Jadi, karena itu, (salah satu substansi RUU MK) mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah, tugas-tugasnya peraturan MK sekarang, kita baca semua, supaya kita clear di dalam membuat UU, tidak di-JR (judicial reviw) malu, DPR malu. Kalau UU di-JR, kemudian dibatalkan, malu,” kata Bambang.
Bambang pun mengakui, ada hubungannya revisi UU MK ini dengan kasus pemberhentian Aswanto. Ia mempersoalkan Aswanto yang kerap membatalkan UU inisiatif DPR, sementara Aswanto merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR.
Jadi, karena itu, (salah satu substansi RUU MK) mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah, tugas-tugasnya peraturan MK sekarang, kita baca semua, supaya kita clear di dalam membuat UU, tidak di-JR (judicial reviw) malu, DPR malu. Kalau UU di-JR, kemudian dibatalkan, malu.
”Dia (Aswanto), kan, setidaknya tata beracara yang paling bener. Walaupun itu belum ditulis, kalau dia itu wakil dari DPR, ketika membatalkan UU itu, dia ngomong dong ke sini (DPR). ’Pak, ini diskusinya begini, kalau ini enggak bener.’. Diskusi lagi dong kalau perlu,” ucap Bambang.
Bambang menepis pola tersebut dapat memengaruhi independensi hakim dan mengganggu kekuasaan kehakiman. Ia justru menyebut, pola itu dilakukan agar hakim MK tidak bertindak ugal-ugalan.
”Sekarang, saya tanya kepada engkau, independen harus didasarkan atas tugas utamanya dia, apa itu tugas utamanya? Menyandingkan tiap UU dengan UUD 45, dipakai tidak? Tidak. Jangan engkau menghantam DPR terus,” ujar Bambang.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mengungkapkan, tidak ada urgensi untuk merevisi UU MK. Ia menyebut, revisi UU ini hanya untuk meloloskan dan menyikirkan orang-orang tertentu.
Menurut dia, jika revisi dilakukan, ini akan mengganggu independensi hakim. Hakim MK juga tidak bisa lagi diharapkan menjadi penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). ”Kami khawatir MK akan berubah menjadi penjaga kekuasaan. Itu harus disadari. MK jangan sampai menjadi alat kelompok tertentu,” katanya.
Diklaim memperkuat hakim
Ditemui seusai rapat, Mahfud MD mengklaim revisi UU MK, yang salah satu materinya adalah evaluasi hakim, tidak akan mengganggu independensi hakim. ”Enggak, justru ini mau memperkuat hakim kok,” ujarnya.
Mahfud menjelaskan, sebenarnya pemerintah tidak memiliki agenda untuk melakukan revisi kembali atas UU MK. Ia mengaku, perdebatan di internal pemerintah terkait dengan rencana merevisi UU ini cukup seru. Pemerintah bahkan sampai mengundang sejumlah akademisi dan praktisi.
Enggak, justru ini mau memperkuat hakim kok.
Pada umumnya, pihak-pihak tersebut meminta agar pemerintah menolak usulan merevisi UU MK ini. Namun, pemerintah menghargai usulan DPR tersebut. Sebab, DPR memiliki hak dan kewenangan konstitusional untuk mengajukan usul inisiatif perubahan undang-undang.
Terlepas dari itu, pemerintah akan menggunakan kesempatan ini untuk menawarkan alternatif melalui DIM, yang menurut pemerintah merupakan upaya perbaikan dari keadaan yang sekarang. Artinya, pemerintah menyetujui usul RUU MK ini untuk dibahas.
Ia menegaskan, kemerdakaan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama bagi negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman harus merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasan lainnya.
”Independensi lembaga peradilan mutlak diperlukan sebagai prasyarat untuk menegakkan rule of law dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, mutlak harus ada di setiap negara hukum,” kata Mahfud.