Munculnya artikel saintifik yang mencantumkan ChatGPT, salah satu fitur dari OpenAI, sebagai salah satu penulisnya berhasil menarik perhatian global terhadap mesin ini. Sekilas, ChatGPT punya fungsi yang terkesan lebih menarik dibandingkan mesin pencari yang lain lantaran ChatGPT mampu memproduksi informasi yang telah tersusun rapi sesuai dengan perintah yang diberikan.
Pada dasarnya ChatGPT adalah salah satu produk turunan dari kecerdasan buatan (artificial intellegence/AI) yang berbasis komputasi dan algoritma. Agak keliru jika seseorang mengasumsikan bahwa AI sama dengan ChatGPT, seakan menafikan mesin pencari lainnya dari lingkup kecerdasan buatan.
Pada dasarnya, mesin pencari Google juga sudah menggunakan AI dan sangat kentara dalam proses pengiklanan mereka. Dengan begitu, pada dasarnya menggunakan mesin pencari Google pun–terutama dalam kegiatan produksi ilmu—bermakna menggunakan AI, perbedaannya hanya pada persoalan tampilan informasinya.
Baca juga: Antropomorfisme AI Generatif
Kasus authorship ChatGPT tentu melahirkan atau lebih tepatnya melahirkan kembali pertanyaan dilematis tentang penggunaan teknologi khusus dalam produksi ilmu. Sepertinya masih segar dalam ingatan di era 2000-an, di mana pertanyaan ”bolehkah menggunakan mesin pencari dalam menulis artikel akademik?” menjadi perdebatan terutama antara pelajar dan pengajar.
Di satu sisi, para pengajar berasumsi bahwa hal ini akan menggiring pelajar ke arah plagiarisme dan menurunnya kapasitas untuk kreatif. Namun, di sisi lain, penggunaan mesin pencari akan membuat pekerjaan penulisan efisien. Perdebatan ini berakhir dengan lahirnya peraturan tidak tertulis yang mengizinkan penggunaan mesin pencari dengan catatan menghindari plagiasi. Dalam pertandingan ini, tentu yang menjadi pemenang adalah teknologi lantaran berhasil mengubah salah satu norma akademik.
Sebagaimana penggunaan Google dalam produksi ilmu menemukan celah legitimasinya, ChatGPT dan produk turunan AI lainnya pun akan menempuh jalan serupa nanti. Bahkan, AI akan berhasil dengan tempo yang jauh lebih cepat. Hal ini memang terlihat negatif, sebagaimana pendahulunya Google yang dihadapkan kepada tuduhan plagiarisme dan pembunuhan kreativitas dan orisinalitas, tetapi perubahan ini sulit untuk dihindari.
Bolehkah AI digunakan dalam produksi ilmu? Jika jawabannya tidak, pada dasarnya kita menolak kenyataan masa depan dan modernisasi.
Teori juggernaut modernity yang dicetuskan Anthony Giddens sepertinya cocok untuk dirujuk dalam mendeskripsikan kasus di atas. Giddens berargumen bahwa tradisi dan kebiasaan menjadi tumbal untuk modernisasi, cepat atau lambat segala hal yang tradisional akan dimakan oleh makhluk kuat bernama modernitas. Singkatnya, laju AI dalam segala aspek, termasuk produksi ilmu, hampir mustahil dihentikan.
Dengan mempertimbangkan premis di atas, kita bisa kembali memikirkan secara ideal tentang persoalan dilematis ”bolehkah AI digunakan dalam produksi ilmu?”. Jika jawabannya tidak, pada dasarnya kita menolak kenyataan masa depan dan modernisasi. Jika iya dengan regulasi dan pengecualian, secara tidak langsung kita sudah mengizinkan dua hal: mengubur kreativitas meski plagiarisme dalam hal ChatGPT bisa dihindari dan hal lainnya adalah kekhawatiran tentang pengambilalihan mayoritas pekerjaan manusia oleh mesin.
"AI take-over": awal kepunahan kreativitas?
Barangkali, hal yang kedua disebutkan lebih menarik untuk dielaborasi terlebih dahulu. Kekhawatiran tentang hilangnya mata pencarian manusia oleh teknologi AI mulai terlihat ketika beberapa perusahaan besar menggantikan peran manusia pada beberapa pekerjaan dengan mesin karena lebih rendah biaya dan lebih efisien.
Amazon, salah satu contoh jelas, mereka menggunakan mesin dalam fungsi sortir gudang dan pengiriman barang, dua hal yang sebelumnya dikerjakan manusia. Sementara dalam bidang intelektualitas, beberapa hal teknis pada dasarnya telah diambil alih oleh mesin, salah satunya proofreading atau indexing. Kini, dengan ChatGPT, beberapa bentuk analisis dan penulisan sedikit banyak juga sudah dialihkan ke mesin, masih dengan alasan yang sama: efisiensi dan rendah biaya.
Proofreading manusia faktanya memang membutuhkan dana yang banyak, sementara AI bisa melakukannya secara gratis atau setidaknya lebih murah. Dengan tren ini, boleh jadi dalam beberapa disiplin ilmu, terutama bidang yang saat ini mengandalkan komputasi dan algoritma, produksi ilmunya bisa diserahkan ke kecerdasan buatan.
Baca juga: Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Kemanusiaan
Sebagai contoh konkret, dalam waktu dekat riset kuantitatif akan 100 persen dikerjakan mesin dimana manusia hanya perlu merumuskan satu pertanyaan penelitian saja. Tidak perlu beranggapan bahwa penelitian kualitatif akan lepas dari AI juggeranaut, sekali lagi, ChatGPT sudah membuktikan kapasitasnya dalam menulis secara kualitatif.
Jika take-over ini benar-benar terjadi, sudah jelas kreativitas akan mati atau setidaknya menjadi hal yang langka. Perlu diketahui, pada tahap ini, AI belum mampu membuat sesuatu ex-nihilo (dari sesuatu yang belum pernah ada) atau mensintesiskan banyak hal menjadi hal yang inovatif. Sepertinya, dua hal ini merupakan fitur manusia yang masih belum bisa dialihkan.
Begitu pula dalam menjawab undecidable problems (perkara yang condong ke paradoks), AI belum mampu memberikan jawaban normatif, sementara manusia setidaknya mampu menjawabnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan AI akan punya kemampuan itu, karena AI punya fitur unik ”belajar dari kesalahan”. Ditambah lagi, bahwasanya AI tetap akan berhajat kepada developer manusia dan sumber daya energi.
ChatGPT juga punya kekurangan
Absennya kreativitas pada ChatGPT seakan memberikan angin segar bahwa ChatGPT take-over masih bisa di atas. Namun, berbicara secara spesifik soal penggunaannya di dunia pendidikan, kesannya justru sangat negatif. Jika mesin pencari klasik berhasil menciptakan masalah plagiarisme dan pelemahan tradisi menulis, ChatGPT dan produk AI serupa akan membawa dunia intelektualitas ke arah kekolotan baru.
Beberapa cendekiawan menemukan bahwa artikel yang diproduksi dengan bantuan signifikan dari ChatGPT punya permasalahan dalam fact-checking meskipun secara bentuk sangat layak dipublikasi. Dengan asumsi bahwa para pelajar akan menggunakan sebagaimana mereka menggunakan mesin pencari google (di mana fact-checking sangat mungkin tidak dilakukan dan pengoperasiannya yang asal-asalan), maka bisa diprediksikan akan banyak makalah, skripsi, atau thesis yang menyempitkan khazanah keilmuan. Lambat laun, khazanah yang tidak tersentuh oleh ChatGPT akan terkubur dan apa yang dimunculkan akan disakralkan.
Baca juga: Fenomena Al Generatif dalam Dunia Pendidikan
Kembali lagi kepada persoalan awal, apakah ChatGPT (masih) boleh digunakan dalam produksi ilmu, tentu menolaknya secara mentah-mentah bukanlah jawaban yang bijak. Bahkan, mereka yang bersikap kekeh ini justru akan ditelan oleh juggernaut modernitas. Sebaliknya, menyetujuinya secara mutlak pun akan menggiring kekolotan baru.
Lantas, jika kita memilih berdamai dengan AI, melalui penerapan regulasi tertentu, bagaimanakah regulasi yang tepat? Problem plagiarisme bisa selesai dengan regulasi plagiarism-check, lalu apakah perlu ada ”AI-product check” nanti? Selayaknya, produksi ilmu harus tetap menjadi ruang yang murni untuk manusia meski mesin tetap diperlukan untuk hal yang bersifat teknis demi efisiensi.
Anggi Azzuhri, Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Internasional Indonesia
Twitter: hishamazzuhri