Fenomena Al Generatif dalam Dunia Pendidikan
Teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) sebuah keniscayaan. Teknologi ini dapat digunakan mengakselerasi pendidikan. Namun teknologi ini juga bisa menjungkirbalikkan kebiasaan konvensional tentang arti sebuah kelas.
Mungkinkah mahasiswa menulis skripsi tanpa perlu dosen? Murid mengerjakan tugas sekolah tanpa perlu guru? Dosen menulis karya ilmiah tanpa perlu teman sejawat? Jawabannya adalah: mungkin.
Bagi sebagian orang, mungkin kalimat itu dianggap narasi berdrama. Padahal, kalau kita cermati, suka tidak suka, arah masa depan sedang condong mengarah ke sana. Terlebih dengan berkembang pesatnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Baru-baru ini jagat dunia akademik juga dihebohkan dengan terbitnya sebuah editorial paper di jurnal bergengsi tier Q1 Sopus (Nurse Education in Practice), di mana di salah satu naskahnya memasukkan ChatGPT Open AI sebagai penulis kedua. Bagaimana bisa sebuah robot menjadi penulis sebuah jurnal?
ChatGPT adalah salah satu produk teknologi berbasis Al Generatif yang dibuat perusahaan bernama Open AI, besutan sang bapak teknologi, Elon Musk. Perangkat (tools) ini masih hangat dan baru dirilis November 2022. Sistem ini dioperasikan dalam sebuah media yang disebut chat box, dibuat sedemikian rupa sehingga mampu secara presisi natural (natural language processing/NLP) dalam memberikan jawaban dari setiap pertanyaan dan menyerupai jawaban seorang manusia genius.
Baca juga : Antropomorfisme AI Generatif
Baca juga : Titipkan Otakmu pada AI Generatif
Perlu diketahui, sistem ini tidaklah sama dengan mesin pencari seperti Google, Bing, dan Yahoo. Google hanya akan menampilkan jawaban berupa tautan atau keterangan yang berasal dari situs, sedangkan ChatGPT bisa menjawabnya secara langsung tanpa tautan situs. Cara kerja sistem ini mudah dan bisa diakses siapa saja melalui sebuah situs chat.openai.com. Meskipun yang beredar adalah versi beta-nya, kemampuannya sudah mengagumkan.
Dengan begitu terbukanya sistem ini, bisa dibayangkan betapa banyak nanti- nya orang yang akan mengakses dan memanfaatkan AI ini. Akan banyak siswa yang lebih memilih bertanya terkait pekerjaan rumahnya daripada harus bertanya kepada guru kelas yang mungkin galak dan membosankan.
Akan banyak mahasiswa yang saat diberikan tugas kuliah tidak lagi akan pusing-pusing harus bertanya kepada dosennya yang hari-harinya berlagak sulit ditemui. Cukup suruh saja si AI untuk mengerjakannya. Segalanya tampak instan di sini, seperti ”tahu bulat”.
Pisau bermata dua
Di era industri 4.0 dan sosial 5.0, teknologi semacam ini adalah sebuah keniscayaan. Pemanfaatan yang tepat akan menjadi alat pengajaran yang efektif. Teknologi ini dapat digunakan dalam mengakselerasi pendidikan kita. Misalnya, membantu baik siswa maupun pengajar dalam mempelajari dan melatih kemampuan bahasa mereka melalui interaksi percakapan, memberikan timbal balik yang dipersonalisasi, sebagai alat bantu penelitian dalam menganalisis dan memahami masalah tertentu.
Misal, seorang mahasiswa teknik informatika mendapat tugas membuat sebuah program komputer. Ia lalu memanfaatkan alat ini untuk mengerjakan tugas itu. Namun, tak berhenti sampai situ. Ia juga melakukan analisis untuk memahami susunan algoritma yang dihasilkan oleh sistem tersebut, kemudian secara independen melakukan modifikasi variasi yang lebih canggih.
Atau kebalikannya, alat ini digunakan untuk memverifikasi hasil manual yang sudah ditulisnya. Hal ini tak hanya memperdalam pemahaman materi, tetapi juga tentang rasa pengalaman berinteraksi dengan AI itu sendiri.
Atau mahasiswa keperawatan, yang sering kali saat menerapkan asuhan keperawatan selalu berinteraksi dengan pasien yang beraneka ragam. Dengan AI ini bisa dilakukan proses simulasi bagaimana membangun interaksi antara seorang perawat dan seorang pasien, perawat dan dokter, sehingga saat bekerja di rumah sakit sudah memiliki keterampilan pelayanan yang cukup dalam menghadapi dinamika situasi.
Di era industri 4.0 dan sosial 5.0, teknologi semacam ini adalah sebuah keniscayaan. Pemanfaatan yang tepat akan menjadi alat pengajaran yang efektif.
Mahasiswa yang menekuni bidang data analyst/machine learning/big data setelah lulus akan berpeluang besar mendapatkan kemudahan pekerjaan karena kebutuhan tenaga ahli dalam dunia AI pasti mengalami peningkatan tajam di masa depan.
Di sisi lain, kehadiran teknologi ini juga menjungkirbalikkan kebiasaan konvensional tentang arti sebuah kelas. Implikasinya, siswa mungkin akan semakin jarang berkomunikasi dengan gurunya dan lebih mengandalkan chat bot untuk pembelajaran sehingga ikatan jangka panjang guru dan siswa menjadi lemah.
Meski ChatGPT ini menggunakan bahasa sealami mungkin dalam memberikan respons, teknologi ini masih belum sempurna dalam memahami seluk-beluk wawasan manusia sehingga bisa jadi jawaban yang dihasilkan menyimpang dan salah, tetapi siswa tidak menyadarinya. Aplikasi ini kerap memberikan jawaban-jawaban yang sangat bagus dan humanis, tetapi sayangnya tidak terdapat semacam sitasi dari mana sumber didapatkan sehingga rentan terjadi penyimpangan karya intelektual/plagiarisme, dan validasinya jadi sulit dan bias.
Bagaimana sikap kita?
Seperti kebanyakan terobosan, teknologi AI dan keluarga besar internet of things (IoT) ini benar-benar mendisrupsi zaman. Oleh karena itu, teknologi ini harus ditanggapi dengan bijak, tak dibatasi atau bahkan dilarang. Berharap para pendidik dan siswa dapat bersinergi menggunakan logika yang dibangun oleh teknologi berbasis Al Generatif ini sehingga kita dapat menghemat waktu dan tenaga yang sebelumnya dilakukan secara manual dan akurat. Selain itu, AI juga mampu meningkatkan keamanan dan mengurangi risiko kesalahan manusia (human error).
Kalau berdasarkan teori evolusi Darwin, manusia akan selalu berevolusi untuk bisa bertahan hidup. Begitu juga AI, yang bisa jadi semakin lama akan semakin berkembang menjadi lebih cerdas. Namun, jangan khawatir berlebihan, karena setidaknya dalam waktu dekat AI belum banyak mengambil alih segalanya. Jadi, inilah saatnya untuk terus melakukan inovasi di bidang masing-masing.
Baca juga : Tahana Ontologis Kecerdasan Buatan
Ke depan, kita berharap Indonesia memiliki sendiri AI yang kokoh yang sudah mengadopsi gaya dan kebiasaan kita sendiri. Pengembangan AI di Indonesia ini dikomandoi BRIN-BPPT, dan pada 2020 telah meluncurkan strategi nasional AI bersama sejumlah institusi litbang, pemerintah, perguruan tinggi, komunitas, dan industri.
Secara keseluruhan, program Al Generatif dalam pendidikan dapat menjanjikan. Ini bisa dimanfaatkan sebagai alat pengajaran, dukungan, dan penelitian, membantu keterampilan siswa, membantu dalam membuat instruksi yang dipersonalisasi, dan membantu peneliti dalam studi penelitian mereka.
Yayu Nidaul Fithriyyah Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM (FKKMK) UGM