Menentukan hakikat kecerdasan buatan dan menelaah apakah ada perbedaan tahana (status) ontologisnya antara kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia masih menjadi tantangan Filsafat Ilmu.
Oleh
L WILARDJO
·5 menit baca
Artikel Prof Dr Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat UGM (Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Kemanusiaan, Kompas, 23/6/2022) dibuka dengan pernyataan yang terkesan jemawa dari dua puluh orang peneliti Deep Mind dalam laporannya yang terbit pada tanggal 12 Mei 2022. Ringkasnya, mereka menyatakan bahwa ”Permainan sudah selesai” (The game is over).
Mereka merasa sudah mampu menciptakan model mesin dengan kecerdasan buatan yang sempurna. Sekarang tinggal meningkatkan skalanya saja; lebih besar, lebih aman, lebih efisien dalam melakukan perhitungan, lebih cepat melakukan pencuplikan, lebih cerdas pengingatnya, dan lebih banyak segi-ragamnya.
Secara tersirat Murtiningsih tidak—atau tidak sepenuhnya—mengamini kejumawaan tim peneliti Deep Mind itu. Seperti dinyatakan dengan sub-sub judul artikelnya itu, masih ada tantangan untuk kemanusiaan dan tantangan untuk filsafat, dan masih ada pula persoalan tentang kolaborasi antardisiplin ilmu. Tantangan yang masih harus dihadapi oleh Filsafat Ilmu menentukan hakikat kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan menelaah apakah ada perbedaan tahana (status) ontologis antara kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia yang nota bene menciptakan AI itu.
Ada cabang pengetahuan (knowledge) yang jauh lebih tua dan lebih kita akrabi daripada AI, tetapi masih dipersoalkan tahana ontologisnya, yakni matematika. Apakah entitas-entitas matematika itu benar-benar ada dan nyata serta memang sudah demikian ”takdir”-nya, dari sono-nya?
Apakah matematika itu sejatinya sudah ada dan akan terus selalu ada? Apakah matematika yang sudah senantiasa ada itu semula hanya masih tertutup, sampai tutup yang menyelimutinya itu disingkapkan oleh orang yang menemukannya? Jadi, matematika itu ditemukan (discovered) tidak diciptakan (created/invented)?
Ada pro-kontra di kalangan matematikawan dari filsuf matematis. Godfrey Harold Hardy, matematikawan Inggris (1877-1947), percaya bahwa matematika itu ada dan memang sudah ada ”dari sononya”. Matematikawan seperti dirinya hanya sekadar menemukannya. Dia meyakini adanya ”realitas matematis” yang murni dan indah.
Plato, filsuf Yunani (428-347 STM), seperti temannya sesama filsuf, Sokrates (470-399 STM), juga meyakini adanya realitas matematis yang abadi. Sokrates yakin bahwa semua orang mengetahui matematika. Kalau ada orang yang ”buta” (tidak memiliki literasi) dalam matematika, sebenarnya ia hanya ”lupa” saja.
Dan, ia dapat diingatkan kembali dengan anamnesis seperti rangkaian pertanyaan dokter kepada pasien yang sedang diperiksanya, untuk menuntun pasien itu menemukan sendiri gejala yang dirasakannya. Sokrates memperagakan anamnesis itu pada seorang bocah, anak budak, yang tidak pernah duduk di bangku sekolah. Ia mendemonstrasikan bahwa si bocah anak budak itu ternyata dapat membuktikan kesahian (validity) dalil Pythagoras.
Ilmu (sains) itu bertumpu pada tiga landasan, yakni landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Kejadian itu ditulis oleh Plato dan dipublikasikan dengan judul “Dialogue”, sebab demonstrasi yang disaksikan pula oleh Meno, sahabat Sokrates dan Plato, itu berupa rangkaian tanya-jawab antara Sokrates dan si bocah anak budak. [Catatan: Pembuktian Dalil Pythagoras itu hanya khusus untuk segitiga siku-siku sama kaki, tidak secara umum untuk sembarang segitiga siku-siku. Walakin, itu prestasi yang hebat, kalau diingat bahwa yang melakukannya bocah yang tak bersekolah; lagi pula ia hanya anak seorang budak.]
Prof Dr Yuyun S Suriasumantri dalam buku Filsafat Ilmu yang ditulisnya, mengatakan bahwa ilmu (sains) itu bertumpu pada tiga landasan, yakni landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu ialah apa yang ada dan digarap oleh ilmu. Landasan epistemologis ialah bagaimana cara mengetahui ilmu itu dan memastikan kebenaran dari pengetahuan tersebut. Landasan aksiologis ilmu ialah nilai-nilai yang dipatok sebagai tujuan yang ingin dicapai ilmu.
Kalau matematika itu ilmu, apa yang ada dan hendak diketahui olehnya? Itulah yang masih kontroversial. Ada—teman saya, penyandang gelar dr rer theol dalam Filsafat, lulusan Ludwig-Maximilian Universitaet, Muenchen—yang mengatakan bahwa matematika mempunyai landasan ontologis yang menyatu dengan landasan epistemologisnya. Jadi, matematika ialah ilmu.
Berbeda dengan Hardy dan Plato, Morris Kline, seorang matematikawan, menyatakan bahwa matematika tidak mempunyai landasan yang kokoh bagaikan batu karang. Matematika itu bagaikan sawang yang mengambang dan terombang-ambing ditiup angin.
”Sawang” (gossamer) ialah bekas jaring labah-labah yang sudah lusuh dan tidak terbentang lagi, tetapi tertutup dan menggelantung. Apabila ditiup angin, sawang itu ”melambai-lambai” ke sana ke mari. Sawang lusuh itulah yang dipakai Morris Kline sebagai metafora untuk melukiskan tiadanya keberadaan yang pasti dari matematika.
Kalau matematika saja, yang sudah lama sekali dikenal manusia, landasan ontologisnya masih dipertanyakan, apalagi tahana ontologis kecerdasan buatan.
Saya—yang bukan filsuf dan bukan matematikawan—hanya ”merasa” bahwa landasan epistemologis mempersyaratkan adanya landasan ontologis, dan demikian pula sebaliknya. Bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu kalau ia—”sesuatu” itu—tidak ada? Sebaliknya, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa ada sesuatu, kalau kita tidak tahu cara mengetahui sesuatu yang ada itu?
Nah, kalau matematika saja, yang sudah lama sekali dikenal manusia, landasan ontologisnya masih dipertanyakan, apalagi tahana ontologis kecerdasan buatan!
Dari artikelnya, terkesan bahwa Murtiningsih masih mempunyai sejumlah pernyataan ihwal status ontologis kecerdasan buatan. Kita—setidak-tidaknya saya —tidak tahu, apakah ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi, seandainya tidak dapat pun, ya, tidak jadi apalah.
Menurut logikawan Inggris, Bertrand Russell—dalam ”Is God a Mathematician?”-nya Mario Livio (Simon & Schuster, New York, 2009)—“Filsafat itu untuk dipelajari, tidak untuk mendapatkan jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaannya, sebab biasanya tidak ada jawaban pasti yang dapat diketahui bahwa ia benar, tetapi demi pertanyaan-pertanyaan ini yang memperluas konsepsi kita tentang apa-apa yang mungkin, yang memperkaya imajinasi intelektual kita dan mengurangi keyakinan dogmatik yang menutup pikiran terhadap spekulasi; tetapi di atas semuanya itu karena—melalui kebesaran semesta yang direnungkan Filsafat—pikiran juga menjadi hebat dan menjadi mampu menyatu dengan semesta yang merupakan kebaikan yang tertinggi.”
Bertrand Arthur William Russell, (bangsawan, filsuf, dan logikawan Inggris (1872-1970) pernah menjadi mentornya Ludwig won Wittgnstein. Ia juga seorang di antara para penguji waktu Wittgenstein mempertahankan disertasinya di Universitas Cambridge. Wittgenstein ”berguru” kepada Bertrand Russel atas saran logikawan Jerman, Gottlob Frege.
(L Wilardjo, Guru Besar (Em) Fisika dan Dosen Filsafat Ilmu di S-3)