Menimbang kenaikan harga beras terus berulang, hadirnya instrumen stabilisasi jadi penting. Ini bisa dengan mengintegrasikan bantuan pangan nontunai, menyediakan beras lebih dari satu kualitas dengan harga sama.
Oleh
KHUDORI
·4 menit baca
Hari-hari ini, pertanyaan bertubi-tubi yang senantiasa dilontarkan media adalah mengapa harga beras masih tinggi, bahkan terus naik? Bukankah sudah ada impor beras 500.000 ton? Bukankah operasi pasar beras oleh Bulog gencar dilakukan tiap hari?
Merujuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga beras medium pada 3 Februari 2023 bergerak berkisar Rp 12.800-Rp 12.950 per kilogram. Selain lebih tinggi dari awal Januari 2023 (Rp 12.450-Rp 12.650 per kg), harga ini melampaui harga eceran tertinggi (HET), yaitu Rp 9.450-Rp 10.250 per kg (tergantung wilayah). Pertanyaannya, apa penyebab harga beras terus naik?
Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Yang pasti, penyebab harga beras terus naik bukan karena faktor tunggal. Pertama, saat ini musim paceklik. Karena produksi lebih rendah daripada konsumsi, harga cenderung naik. Harga berangsur turun kala musim panen raya mulai.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, untuk memenuhi konsumsi bulanan sebesar 2,51 juta ton beras produksi Januari 2023, masih minus 1 juta ton. Surplus baru terjadi mulai Februari (0,72 juta ton beras) dan surplus besar di Maret (3,4 juta ton). Mengacu ini, panen raya mulai Maret. Dari panen hingga beras masuk ke pasar, setidaknya memerlukan waktu 3-4 minggu.
Kedua, baru separuh, persisnya 249.208 ton beras (posisi 30 Januari 2023), dari rencana 500.000 ton impor beras yang masuk ke gudang. Sisanya dalam perjalanan. Karena realisasi impor tertahan, stok beras di gudang Bulog hanya 378.254 ton.
Jumlah tersebut, bisa jadi, dimaknai pelaku pasar (pedagang dan penggilingan padi) kecil atau besar. Persepsi pelaku pasar ini memengaruhi perilaku mereka. Jika dianggap kecil, pelaku usaha akan cenderung menahan stok karena ada potensi untung besar dari kenaikan harga. Mereka tak yakin pemerintah bisa menekan harga. Persepsi ini yang sepertinya dominan di pasar.
Ketiga, operasi pasar (OP) beras terbukti tak efektif. Ini antara lain yang mempertebal keyakinan pelaku usaha bahwa harga beras tidak segera turun. OP beras secara masif digelar sejak Agustus lalu. Periode Agustus-Desember 2022 pasar disuntik beras OP lebih dari 1 juta ton atau rerata 200.000 ton per bulan.
Jumlah tersebut amat besar. Periode 2014-2016 rerata OP hanya 177.823 ton per tahun. Januari 2023, OP beras mencapai 164.000 ton. OP beras masih digelar tiap hari tanpa jeda di 26 provinsi. Akan tetapi, tanda-tanda harga beras turun belum tampak.
Mengapa OP beras tak efektif? Jawaban atas pertanyaan ini bisa disigi lewat dua pertanyaan, apakah secara konsep OP salah atau implementasi yang bermasalah? Di era Orde Baru, OP menuai kritik. Makanya, sejak 1998 OP beras ditanggalkan lalu diganti pendekatan subsidi terarah (self food targeting) lewat raskin. Raskin menarget warga miskin dan hampir miskin/rentan. OP itu subsidi umum, sasarannya umum. Bukan hanya warga miskin/rentan, kelompok kaya dan pedagang/pengecer juga bisa menikmatinya. Kelompok terakhir ini bisa membeli dan menyimpan beras dalam jumlah yang besar.
Operasi pasar beras mestinya dihentikan tatkala panen raya. Kala panen raya, fokus Bulog menyerap beras domestik.
Sebagai bagian dari pelaku pasar, keterlibatan pedagang/pengecer pada OP jadi krusial. Sebab, diakui atau tidak, kelompok terakhir ini juga berpeluang ”membelokkan” tujuan OP untuk motif mengambil untung.
Motif pedagang/pengecer mengambil untung ini yang dicurigai Direktur Utama Bulog Budi Waseso sehingga OP tak efektif (Kompas, 4/2/2023). Keuntungan OP bisa membuat ngiler. Beras OP dilepas Bulog Rp 8.300 per kg. Kepada pedagang dan downline-nya diminta menjual tak melebihi HET beras medium: Rp 9.450-Rp 10.250 per kg. Karena beras OP ini kualitas premium, dilepas sesuai HET beras premium (Rp 12.800-Rp 13.600 per kg) pun laku. Ada margin besar: Rp 1.150-Rp 5.300 per kg.
Siapa yang mengawasi dan memastikan tak akan terjadi penyimpangan? Di mana Satgas Pangan? Berpijak dari kondisi ini, sejatinya bukan hanya implementasi OP yang masalah, dari sisi konsep pun patut dipertanyakan. Mengapa? Selain tidak adil, OP yang digelar secara masif dan tiap hari tanpa jeda sejatinya melanggar prinsip dasar logistik.
Operasi pasar beras mestinya dihentikan tatkala panen raya. Kala panen raya, fokus Bulog menyerap beras domestik. Kalau penyerapan dilakukan bersama OP, bakal ada salah urus. Tak jelas lagi siapa yang hendak dilindungi: produsen atau konsumen? Pasar juga bisa terdistorsi.
Diakui atau tidak, OP jadi andalan karena saat ini pemerintah tak punya instrumen stabilisasi harga beras. Sebagai operator OP, Bulog punya keterbatasan karena tak punya saluran langsung untuk menyentuh konsumen.
Di masa lalu, tatkala raskin masih ada, program ini bisa jadi instrumen stabilisasi harga beras secara tidak langsung. Kala raskin disalurkan tepat waktu kepada 15 juta keluarga, harga beras stabil dan inflasi terkendali. Demikian pula sebaliknya. Ini karena volume raskin cukup besar: 10 persen dari konsumsi. Untuk meredam harga beras saat paceklik, pemerintah terkadang menggulirkan raskin ke-13, ke-14, atau ke-15. Harga pun jinak, karena penerima raskin tak berburu beras ke pasar.
Instrumen stabilisasi tak langsung ini sirna seiring penggantian raskin menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT), yang membuat warga tak lagi menerima beras Bulog, tetapi ditransfer tunai. Menimbang kenaikan harga beras terus berulang, hadirnya instrumen stabilisasi jadi penting. Ini bisa ditempuh lewat, pertama, mengintegrasikan BPNT dengan cadangan beras pemerintah (CBP) yang ada di Bulog. Caranya mewajikan keluarga penerima BPNT membeli beras Bulog, misalnya 5 kg per bulan. Kedua, Bulog harus menyediakan beras lebih dari satu kualitas dengan harga sama di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan cara ini, pemerintah—lewat Bulog—kembali punya instrumen stabilisasi yang bisa menyentuh konsumen. Instrumen ini bisa dipakai kala harga beras naik tinggi. Bulog akan punya outlet penyaluran pasti beras sebesar 100.000 ton per bulan, menggantikan sebagian outlet raskin yang hilang.
Preferensi warga penerima BPNT tetap terjaga karena bisa memilih beras lebih dari satu kualitas. Satu harga beras adalah bentuk keadilan karena nilai tukar uang penerima BPNT dengan beras sama di semua wilayah. Langkah ini juga menghemat anggaran karena tidak ada OP yang tak adil dan tak jelas sasarannya.