Surplus Beras, Kecukupan Beras, dan Cadangan Beras
Pola panen padi kita itu bersifat musiman. Survei Kajian Cadangan Beras oleh BPS perlu diperbanyak untuk berbagai tipe tahun dan faktor musim. Juga memperhitungkan prospek produksi dan kondisi pasar beras dunia.

Ilustrasi
Akhir-akhir ini kembali terjadi polemik surplus beras versus kecukupan beras. Membahas persoalan surplus beras, kecukupan beras, dan pengelolaan cadangan beras nasional, muncul pertanyaan: apakah stok nasional 6,6 juta ton cukup?
Pendekatannya berdasarkan pengalaman empiris. Sebenarnya ada dua masalah laten. Pertama, pemahaman tentang kecukupan beras sendiri masih berbeda-beda, apakah berdasarkan produksi dikurangi konsumsi atau ketersediaan (permintaan pasar). Kedua, cara penentuan jumlah persediaan untuk stok nasional juga belum disepakati.
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu dan Zain, 1994), cadangan merupakan sesuatu yang ’disediakan dan akan dipakai pada masa yang akan datang’. Dengan demikian, cadangan beras adalah persediaan yang berada di masyarakat dan yang dikuasai pemerintah untuk kebutuhan besok, lusa, dan seterusnya. Ketersediaan cadangan beras inilah yang seharusnya jadi ukuran kecukupan beras untuk stok nasional.
Baca juga : Impor Beras
Baca juga : Destruksi Sistemik Kedaulatan Beras
Surplus beras vs kecukupan beras
Terdapat beberapa faktor mengenai surplus beras yang dianggap belum bisa mencukupi. Pertama, jika besarnya surplus beras pada posisi 31 Desember hanya cukup untuk satu atau dua bulan ke depan, akan cukup riskan apabila panen Januari dan Februari berikutnya belum cukup untuk mengisi pasar.
Kedua, apabila lokasi surplus beras berada jauh dari tempat konsumen, surplus tersebut belum bisa menutup kekurangan pasokan, ditambah lagi apabila ongkos angkutnya mahal.
Dengan demikian, perhitungan surplus beras berdasarkan produksi dikurangi konsumsi belum tentu memberikan kejelasan tentang kecukupan ketersediaan beras. Sesuai pengalaman 1972, kita dibuat lengah karena kita memercayai ukuran kecukupan beras adalah produksi dikurangi konsumsi. Pada waktu itu diperkirakan kita sudah swasembada sehingga Bulog diminta bersiap-siap untuk menghadapinya dengan memperbaiki persyaratan kualitas dan tata cara pengawasan kualitas.
Pemerintah juga mengurangi target peningkatan produksi beras dan mengundang konsultan dari AS untuk mengatasi kelebihan produksi beras. Ternyata perkiraan itu meleset. Mulai Mei 1972, terjadi kemarau kering dan panjang. Pengadaan Bulog gagal, impor beras terhambat keterbatasan devisa, selanjutnya terjadi krisis beras.

Stok beras di gudang Bulog DKI Banten, Jumat (13/1/2023).
Atas dasar pengalaman itu, Presiden Soeharto tidak lagi menggunakan konsep kecukupan beras berdasarkan produksi dikurangi konsumsi. Pemerintah memakai dasar ”permintaan pasar” dengan memperkuat ketersediaan cadangan beras yang dikuasai Bulog.
Untuk mendukungnya, mulai 1974 Presiden Soeharto memutuskan membangun gudang beras baru dengan kapasitas 3,5 juta ton. Pada waktu itu yang menjadi andalan adalah persediaan yang dikuasai Bulog karena produksi dalam negeri belum mencukupi.
Keandalan cadangan beras Bulog itu diuji oleh Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, diuji lagi dengan adanya eksplosi hama wereng 1975 dan 1976, disambung kemarau panjang 1977. Ternyata sistem pengelolaan stok beras Bulog teruji untuk mengatasi berbagai krisis tersebut.
Tantangan berikutnya, sejak 1978 adalah kenaikan produksi beras yang mencapai jutaan ton hampir setiap tahun. Selanjutnya, berkat dukungan antarlembaga dan instrumen yang dimiliki Bulog, krisis beras berat pada 1997/1998 juga dapat diatasi. Namun, setelah era Reformasi atau mulai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, konsep kecukupan pangan berdasarkan produksi dikurangi konsumsi mencuat lagi.
Dengan demikian, perhitungan surplus beras berdasarkan produksi dikurangi konsumsi belum tentu memberikan kejelasan tentang kecukupan ketersediaan beras.
Cadangan beras nasional
Cadangan pangan diatur dalam UU No 18/2012 tentang Pangan. Dalam UU ini dijelaskan, cadangan pangan nasional terdiri dari cadangan pangan masyarakat dan cadangan pangan pemerintah pusat dan daerah. Adapun cadangan pangan pemerintah adalah cadangan pangan yang dikuasai dan dikelola pemerintah cq Bulog.
Dengan demikian, pemahaman cadangan beras nasional (CBN) terdiri dari cadangan beras masyarakat (CBM) dan cadangan beras pemerintah (CBP). Sementara CBM terdiri dari cadangan beras lini 1, berupa cadangan yang berada di rumah tangga konsumen yang siap dikonsumsi. Kemudian, cadangan lini 2 yang berada di pedagang pengecer, grosir, dan pedagang besar yang siap melayani permintaan konsumen.
Selanjutnya, cadangan lini 3, yaitu yang berada di penggilingan, yang siap melayani permintaan para pedagang. Persediaan di petani dan pedagang pengumpul dalam bentuk gabah dimasukkan pada persediaan lini 3.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F11%2Ff9332f3c-2f25-4795-aa56-f6c3b748ff30_jpg.jpg)
Mesin pemotong padi digunakan dalam panen di Kampung Bokem, Desa Rimba Jaya, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (17/11/2022). Kampung Bokem menjadi salah satu contoh kawasan yang berhasil mengembangkan tanam hingga panen padi dengan hasil memuaskan di Merauke.
Yang penting lagi ialah cadangan lini 4, yakni padi yang sedang dan akan panen dalam waktu 1-2 bulan lagi. Untuk diketahui, antara CBM dan CBP merupakan ”satu mata rantai sistem logistik” dari jutaan petani ke jutaan rumah tangga konsumen. Alirannya kontinu setiap hari karena harus ada nasi di meja makan untuk pagi, siang, dan sore.
Formula Azwar Rasyid
Pada 1984 Indonesia telah mencapai swasembada beras. Bulog mengalami kesulitan untuk menyalurkan stok yang ada di gudang, operasi pasar juga macet, stok beras Bulog menumpuk menjadi beras tua. Kebijakan selanjutnya, mulai tahun 1985 Bulog diperbolehkan untuk mengekspor kelebihan persediaannya.
Ketika menghadapi El Nino 1987, ternyata kita harus mengimpor beras lagi. Untuk itu, Presiden Soeharto memberikan ”pekerjaan rumah” kepada BPS agar dibuat ukuran cadangan beras yang tepat mengingat sekarang peran persediaan masyarakat dari produksi dalam negeri sudah cukup dominan.
Akhirnya Kepala BPS Azwar Rasyid memberikan formula 23 Juli 1988 tentang Imbangan Produksi dan Konsumsi Beras. Setelah memperhitungkan konsumsi beras di dalam dan di luar rumah tangga, pada 1987 diperoleh ”angka kebutuhan penyediaan beras untuk konsumsi” 146,83 kilogram/kapita/tahun.
Setelah ditelusuri, ternyata formula Azwar Rasyid juga bisa diperoleh dengan cara menghitung produksi per kapita tahun 1987 sebesar 164,53 kg, kemudian dikoreksi 10,8 persen (dibulatkan 11 persen) untuk keperluan benih, susut/rusak, pakan ternak, dan lain-lain, dan diperoleh angka 146,43 kg/kapita/tahun.
Formula itu lalu dikembangkan untuk mengukur kecukupan ketersediaan beras.
Formula itu lalu dikembangkan untuk mengukur kecukupan ketersediaan beras. Dipilih periode tahun yang lebih panjang 5-10 tahun dengan periode yang diperkirakan untuk upaya ”intervensi” pada angka produksi minimal, yakni periode swasembada beras 1984-1993 dan impor beras bebas 2000-2004.
Dari ketersediaan beras pada periode swasembada beras 1984-1993, dengan metode produksi bruto dibagi jumlah penduduk, diperoleh produksi beras per kapita 163,83 kg. Setelah dihitung produksi netonya, kemudian ditambah impor dan dikurangi ekspor per kapita, diperoleh angka 163,56 kg. Selanjutnya, apabila dikoreksi 11 persen, diperoleh angka ”ketersediaan” 145,45 kg/kapita.
Sementara itu, dari perhitungan ketersediaan beras pada periode impor beras bebas 2000-2004, diperoleh rata-rata penyediaan per kapita 165,10 kg/tahun atau setelah dikoreksi 11 persen menjadi 146,94 kg/tahun.
Angka ketersediaan di atas dapat dipakai sebagai pedoman untuk menghitung kecukupan kebutuhan beras nasional dengan standar 144 kg. Ketersediaan beras adalah penjumlahan stok awal tahun, produksi, impor, dan dikurangi ekspor beras. Dari angka ketersediaan, apabila dikurangi penggunaan, akan diperoleh stok akhir. Apabila bisa dibuat neraca ketersediaan secara kuartalan, akan sangat membantu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F02%2F18%2Fc4f89682-cee6-489b-9c33-d60b2afb0bbc_jpg.jpg)
Pedagang beras di daerah Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta, Minggu (17/2/2019), menata beras yang akan ditawarkan kepada konsumen. Masalah pangan seperti pengadaan atau ketersediaan beras bagi masyarakat serta harga beras yang stabil menjadi perhatian besar bagi pemerintah dalam mengelolanya.
Kecukupan ketersediaan beras 2018-2022
Kita buat analisis angka ketersediaan beras nasional 2018-2022. Pertama, pertumbuhan produksi padi masih fluktuatif dengan angka rata-rata minus 1 persen, kurang mendukung kestabilan pemenuhan kebutuhan stok. Kedua, ketersediaan pada 2018 dan 2019 mencapai 39,62 juta ton dan 41,59 juta ton atau 150,02 kg/kapita dan 156,41 kg/kapita. Ini 104 dan 109 persen di atas standar 144 kg, yang berarti sangat cukup.
Namun, di akhir 2020, turun menjadi 143,97 kg atau 99 persen dari standar atau pada tingkat lampu kuning. Pada akhir 2021 dan 2022 turun lagi menjadi 134,81 dan 128,48 kg atau 93 dan 89 persen dari standar kecukupan, pada tingkat lampu merah. Ini juga terindikasi dari jumlah operasi pasar (OP) Bulog yang mulai Agustus 2022 mencapai 200.000 ton/bulan sampai saat ini. Sebelum Agustus 2022, stok masyarakat masih terbantu oleh panen padi.
Perhitungan stok nasional itu adalah pada posisi akhir Desember 2022. Namun, sebenarnya keadaan stok nasional tidak linier sepanjang tahun. Pola panen padi kita itu bersifat musiman dan produksinya terkonsentrasi di daerah produsen utama padi, sementara konsumennya tersebar di seluruh Indonesia sehingga posisi CBN itu dinamis.
Sesuai pengalaman, posisi CBN akan dalam keadaan minimal pada 31 Maret menjelang panen raya. Selanjutnya CBN dalam posisi tertinggi pada 30 Juni, setelah panen raya. Adapun pada 30 September ”seharusnya” CBN dalam keadaan optimal menghadapi musim paceklik Desember, Januari, dan Februari. Untuk memberikan rasa aman ke masyarakat, posisi CBN pada 31 Desember ”seharusnya” dalam keadaan maksimal.
Ketersediaan beras adalah penjumlahan stok awal tahun, produksi, impor, dan dikurangi ekspor beras.
Sebagai pembanding hasil survei BPS atas Kajian Cadangan Beras 2015 yang waktu itu jumlah penduduknya 255,6 juta orang, angka stok pada 31 Maret 2015 adalah 7,97 juta ton, dan pada 30 Juni 2015 sebanyak 10,02 juta ton, pada 30 September sebanyak 8,85 juta ton. Posisi stok 31 Desember belum diteliti?
Kemudian apabila kita bandingkan dengan hasil survei BPS 2022 dengan jumlah penduduk 275,7 juta orang (beda 20 juta lebih), diperoleh angka posisi cadangan beras 31 Maret 2022 adalah 9,11 juta ton, 30 April 2022 adalah 10,15 juta ton, dan 30 Juni 2022 adalah 9,71 juta ton. Lalu bagaimana dengan angka stok beras nasional pada posisi 1 November 2022 yang hanya 6,6 juta ton?
Dengan melihat angka Juni 2015 sebesar 10,02 juta ton dibandingkan Juni 2022 yang 9,71 juta ton, itu saja sudah menjadi tanda tanya. Jika kita membandingkan angka 30 September 2015 sebesar 8,85 juta ton dan angka 1 November 2022 sebanyak 6,6 juta ton, hal itu menjadi tanda tanya kembali.
Agar tidak terjadi lagi polemik mengenai ”kecukupan” ketersediaan beras, survei Kajian Cadangan Beras oleh BPS perlu diperbanyak untuk berbagai tipe tahun, misalnya untuk tahun kemarau basah, kemarau kering, dan kemarau normal yang dikombinasikan dengan datangnya musim hujan maju dan musim hujan mundur. Apabila dikombinasikan lagi dengan prospek produksi dan juga keadaan pasar beras dunia dan keadaan ekonomi dan politik dunia, hal itu akan sangat membantu.
Sapuan GafarWakil Kepala Bulog 1999-2000