Obesitas, Wabah Kontemporer
Riset Kesehatan Nasional 2018 menunjukkan peningkatan dua kali lipat penderita obesitas dalam kurun waktu sepuluh tahun. Perang melawan obesitas di negeri ini mesti lebih agresif dan frontal. Obesitas wabah berbahaya.
Di negara-negara berkembang, isu berat badan lebih (overweight) belum mendapat perhatian serius. Pemerintah dan masyarakat lebih fokus dan antusias menangani kasus-kasus terkait berat badan kurang (underweight), seperti malanutrisi atau tengkes (stunting).
Oleh karena itu, program penanggulangan malanutrisi dan tengkes jamak di negara-negara tersebut, sementara program penanggulangan berat badan lebih nyaris tidak terdengar.
Padahal, berat badan lebih telah berkembang menjadi isu kesehatan sangat serius. Dampaknya nyata dan luas pada individu, komunitas, dan negara.
Dalam beberapa dekade mendatang, magnitudo dampak ini akan bergeser ke negara-negara berkembang. Saat ini saja, di sejumlah negara berkembang, berat badan lebih membunuh manusia lebih banyak dibandingkan berat badan kurang.
Dalam beberapa dekade terakhir, memang terjadi perubahan signifikan tren isu berat badan. Empat puluh tahun lalu, mayoritas penduduk dunia ceking dan kurus. Saat itu, prevalensi populasi berat badan kurang memang dua kali lipat lebih banyak dibanding populasi berat badan lebih. Dalam perjalanan 40 tahun, keadaan berubah. Proporsi laki-laki dan wanita dengan berat badan lebih meningkat 200-300 persen, sementara proporsi berat badan kurang berkurang 30 persen.
Baca juga : Obesitas, Ancaman dari Gaya Hidup Serba Praktis
Tren yang sama juga terjadi pada anak dan remaja. Dibandingkan dengan tahun 1975, prevalensi berat badan lebih anak dan remaja meningkat empat kali lipat. Oleh karena itu, muncul narasi bahwa Bumi terserang sebuah wabah kontemporer yang secara ekstrem mengubah esensinya dari earth of underweight menjadi earth of overweight.
Penyakit kronis progresif
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan overweight sebagai akumulasi lemak tubuh berlebihan yang merusak kesehatan. Banyak cara menghitung akumulasi lemak tubuh, mulai dari yang sederhana (seperti pengukuran lingkaran pinggang) hingga yang canggih (penggunaan DEXA, CT scan atau MRI).
Dari semuanya, yang paling praktis dan banyak digunakan adalah pengukuran body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT). Ini merupakan metrik perhitungan sederhana yang menggunakan nilai berat dan tinggi badan.
Berdasar IMT, individu dikategorikan memiliki berat badan ideal jika IMT 18,5-24,9, underweight (di bawah 18,5), overweight (di atas 24,9), dan kegemukan atau obesitas (30 atau lebih). Sejumlah individu memiliki kegemukan yang ekstrem (morbid obese); nilai IMT di atas 40.
Pada awalnya, berat badan lebih dan obesitas hanya dianggap persoalan kesuburan badan akibat kelalaian mengontrol makan. Keduanya tak dianggap masalah serius. Bahkan, ada konsep obesity paradox yang menarasikan bahwa kegemukan tak terkait kesehatan; banyak orang gemuk yang sehat dan sebaliknya, banyak orang tak gemuk berpenyakitan.
Sejalan dengan waktu, pandangan terhadap kondisi ini mulai berubah. Obesitas mulai dianggap sebagai faktor risiko atau kluster penyakit lain; artinya, orang gemuk memiliki kemungkinan menderita penyakit lain.
Tahun 1998, National Institutes of Health Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan bahwa obesitas bukan hanya faktor risiko, melainkan sebuah penyakit kronis. Pernyataan senada dikeluarkan American Obesity Society tahun 2008, diikuti American Medical Association tahun 2013. Saat ini, obesitas tidak lagi dilihat sebagai masalah kesuburan badan, tetapi sebuah penyakit kronik progresif yang penyebabnya mencakup aspek genetik, hormonal, metabolik, psikologis, kultur, dan perilaku.
Beberapa studi melaporkan peranan krusial genetik; kontribusinya bisa hingga 70 persen. Apabila salah satu orangtua menderita obesitas, peluang anak mengalami obesitas berkisar 40-50 persen. Jika kedua orangtua obese, peluang anak menjadi obese meningkat 70-80 persen.
Penyebab lain adalah lingkungan obesogenic berupa maraknya kedai fast food atau junk food, murahnya harga makanan berkalori tinggi, serta melempemnya kegiatan fisik dan olahraga.
Persoalan berat badan lebih dan obesitas kini berkembang menjadi isu kesehatan global yang dampaknya bahkan bisa lebih parah dari merokok.
Kombinasi genetik dan lingkungan obesogenic diperparah oleh disrupsi fungsi hormon tubuh akibat stres, kurang tidur, dan penggunaan obat-obatan, terutama psikotropik.
Persoalan berat badan lebih dan obesitas kini berkembang menjadi isu kesehatan global yang dampaknya bahkan bisa lebih parah dari merokok. Alasannya, tren global merokok relatif menetap atau menurun, sementara tren berat badan lebih justru menanjak di hampir semua negara.
Pada 2016 saja tercatat hampir dua miliar penduduk dunia mengalami berat badan lebih dan 700 juta di antaranya menderita obesitas. Dari total penduduk dunia, 39,5 persen mengalami berat badan lebih dan 13 persen menderita obesitas. World Obesity Federation memprediksi bahwa apabila tidak dilakukan penanganan serius, sekitar 1 miliar penduduk, yaitu satu dari lima wanita dan satu dari tujuh laki-laki, akan menjadi obese sebelum 2030.
Ironisnya lagi, magnitudo obesitas ini akan bergeser ke negara-negara berkembang. Dalam satu dekade ke depan, populasi obesitas di negara-negara maju akan bertambah 1,5 kali lipat, sementara di negara-negara berkembang akan meningkat dua hingga tiga kali lipat.
Di Indonesia, fenomena serupa terjadi. Isu berat badan lebih dan obesitas kian mengkhawatirkan. Riset Kesehatan Nasional 2018 menunjukkan peningkatan dua kali lipat penderita obesitas dalam kurun waktu 10 tahun.
Pada tahun 2007, prevalensinya masih 19,1 persen, meningkat menjadi 35,4 persen pada 2018. Total penduduk obese adalah 70 juta; hampir sepertiga penduduk Indonesia. Pada anak-anak, obesitas juga prevalen. Satu dari lima anak berusia 5-12 tahun mengalami berat badan lebih dan obese.
Berat badan lebih dan obesitas menjadi isu kesehatan krusial akibat besarnya dampak multidimensionalnya, terutama pada aspek kesehatan, ekonomi, dan sosial. Kondisi berat badan lebih dan obesitas memperpendek umur. Penderita obesitas mengalami penurunan angka harapan hidup dua hingga sepuluh tahun, tergantung nilai IMT-nya.
Penurunan terjadi akibat efek langsung obesitas atau penyakit penyertanya. Efek morbiditasnya juga signifikan. Penderita obesitas sangat berpotensi mengidap dan mengalami pemberatan pada setidaknya 18 jenis penyakit, termasuk stroke, jantung, dan kanker. Pemberatan ini berbanding lurus dengan IMT; semakin tinggi nilai IMT, semakin besar pemberatan.
Di tingkat global, setiap tahun, berat badan lebih dan obesitas menyebabkan 3,4 juta kematian dan 4 persen years of life lost. Parahnya lagi, efek obesitas ternyata lebih besar pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Dengan nilai IMT yang sama, individu dari Asia mengalami peningkatan risiko berkali-kali lipat menderita diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung dibandingkan etnis kaukasian.
Efek ekonominya juga sangat signifikan. Penelitian di 161 negara melaporkan bahwa pembiayaan kesehatan terkait berat badan lebih dan obesitas berkisar 3,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Biaya ini akan terus meningkat dan peningkatan terbesar (12-15 kali lipat) terjadi di negara-negara berkembang. Biaya ini diperlukan untuk pembelian obat dan penatalaksanaan lain.
Di Amerika, biaya terkait obesitas pada 2019 sebesar 173 miliar dollar AS, hampir 15 persen dari PDB Indonesia.
Selain itu, penderita obesitas rentan mengalami disrupsi kesehatan mental berupa gangguan motivasi dan mood, penurunan kualitas hidup, dan gangguan komunikasi interpersonal. Saat yang sama, mereka terimbas efek sosial berupa stigmatisasi, diskriminasi, penolakan, dan humiliasi. Banyak di antara mereka yang kesulitan mendapat pekerjaan, apalagi jika terkait aktivitas fisik.
Di Amerika, sekitar sepertiga pemuda tidak bisa mendaftar untuk menjadi tentara akibat obesitas. Biaya kerugian akibat efek mental dan sosial ini bisa jauh lebih besar dari biaya pengobatan obesitas langsung.
Baca juga : Diabetes Melitus pada Anak Berkaitan Erat dengan Kondisi Obesitas
Baca juga : Remaja Obesitas Membutuhkan Konseling Perubahan Perilaku
Perang agresif
Meski obesitas merupakan momok menakutkan, ada berita baik: kondisi ini dapat dihindari (preventable). Pemegang kunci krusial adalah individu.
Individu dapat menghindari atau menekan progresivitas obesitas dengan melakukan beberapa hal sederhana secara konsisten: meningkatkan kesadaran soal bahaya obesitas, menghindari asupan energi berlebihan dari gula dan lemak, meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, melakukan aktivitas fisik minimal 60 menit per hari bagi anak-anak dan 150 menit setiap minggu bagi orang dewasa.
Pelabelan penyakit pada obesitas memberi sinyal bahwa obesitas merupakan disfungsi sistemik yang penanganannya mesti komprehensif dan lintas sektoral. Upaya individual saja tak cukup. Semua pemangku kepentingan mesti terlibat dalam perang melawan obesitas. Pemerintah harus terlibat dengan menetapkan regulasi atau kebijakan relevan.
Misalnya, mengharuskan adanya warning label pada makanan yang memiliki kandungan gula, kalori, dan lemak tinggi, membatasi iklan makanan berkalori dan berlemak tinggi, skrining nasional obesitas, dan mengaktifkan gerakan nasional melawan diabetes dengan program-program jitu dan feasible.
Industri makanan mesti terlibat, di antaranya dengan menuliskan kandungan kalori dan lemak pada setiap menu yang disajikan serta pesan tertulis ajakan menghindari obesitas.
Di tingkat global, WHO telah melakukan serangkaian langkah untuk meredam obesitas, termasuk menetapkan target bahwa tidak boleh terjadi peningkatan prevalensi obesitas pada periode 2010-2025. Sejumlah negara dan institusi, baik skala lokal maupun internasional, juga menginisiasi program-program melawan obesitas.
Namun, tampaknya hasilnya belum memuaskan. Prevalensi obesitas terus menanjak dari tahun ke tahun. Salah satu penyebabnya adalah masih minimnya kesadaran bahwa obesitas merupakan penyakit kronis dan progresif, yang magnitudonya setara dengan penyakit-penyakit berat lainnya, seperti penyakit jantung, stroke, dan kanker.
Bahkan masih banyak yang menganggap obesitas hanya masalah kelebihan makan dan bahwa obesitas adalah ciri-ciri orang sehat, sukses, dan makmur.
Di Indonesia, pemerintah mencanangkan aksi melawan obesitas lewat program Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (Gentas) pada 2016.
Namun, sayangnya program ini lebih terfokus hanya pada ajakan mengatur diet dan berolahraga serta kegiatan promosi dan edukasi formal. Tidak ada gebrakan skala nasional yang menunjukkan sikap aktif dan progresif pemerintah, misalnya pembuatan legislasi atau menetapkan kewajiban warning label pada makanan berkalori tinggi.
Visi dan konten Gentas masih terlalu gemulai untuk isu krusial obesitas. Terlalu sederhana untuk sebuah persoalan ekstrem.
Visi dan konten Gentas masih terlalu gemulai untuk isu krusial obesitas. Terlalu sederhana untuk sebuah persoalan ekstrem. Apabila perang obesitas hanya didasarkan pada muatan Gentas, kecil kemungkinan isu obesitas akan tertangani, apalagi terentaskan di negeri ini. Prevalensi obesitas akan semakin meningkat. Perlu dilakukan revisi serius terhadap visi dan kegiatan Gentas.
Perang melawan obesitas di negeri ini mesti lebih agresif dan frontal. Tidak hanya melibatkan jargon-jargon formal edukasi standar, tetapi ”memaksa” mengikutkan pemerintah, institusi kesehatan dan nonkesehatan, serta industri makanan secara aktif dan nyata.
Semua pemangku kepentingan mesti berada dalam satu image jelas: obesitas adalah wabah modern dan musuh besar dengan collateral damage; bukan hanya disrupsi ukuran tubuh akibat kelalaian pengontrolan makan. Pakar obesitas dunia Dr George Bray pernah mengingatkan, ”Obesity is not a rocket science; it is much more complicated.”
Iqbal Mochtar; Pengurus PB IDI dan PP IAKMI; Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah