Kabar duka dari Titi Wati (42), penderita obesitas ekstrem dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, patut menjadi pembelajaran bersama. Masalah obesitas menjadi persoalan serius yang juga harus mendapatkan perhatian lebih.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Herlina (19) berbaju kuning bersama ibunya Titi Wati (37), penderita obesitas di Palangkaraya sebelum dibawa ke rumah sakit. Pada Senin, 30 Januari 2023, Titi Wati idikabarkan meninggal setelah sempat dirawat selama satu hari di rumah sakit.
Obesitas telah menjadi epidemi pada kesehatan masyarakat global. Peningkatan kasus yang dilaporkan semakin cepat. Hal tersebut turut meningkatkan laporan penyakit kronis yang terkait dengan obesitas seperti jantung, stroke, dan gagal ginjal.
Kabar duka dari Titi Wati (42), penderita obesitas ekstrem dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, patutnya menjadi pembelajaran bersama. Masalah obesitas menjadi persoalan serius yang juga harus mendapatkan perhatian lebih di tengah isu tengkes yang diprioritaskan oleh pemerintah.
Di dunia, obesitas meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1980. Dalam laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan lebih dari 1,9 miliar orang dewasa di dunia pada tahun 2016 mengalami kelebihan berat badan. Dari jumlah itu sekitar 650 juta orang di antaranya mengalami obesitas. Selain itu, lebih dari 2,5 juta kasus kematian per tahun dilaporkan terjadi terkait dengan obesitas.
Kasus obesitas di Indonesia pun terus meningkat. Pada tahun 2018, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar, prevalensi obesitas pada usia lebih dari 18 tahun mencapai 21,8 persen. Angka itu meningkat dari tahun 2010 sebesar 11,7 persen dan pada tahun 2013 sebesar 15,4 persen.
Merujuk pada definisi WHO, obesitas merupakan penumpukan lemak berlebihan akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dan energi yang digunakan oleh tubuh dalam jangka waktu lama. Pada usia dewasa, obesitas diukur berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) yang dihitung dari berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter.
Pada obesitas tipe 1 dihitung apabila IMT antara 25-29,9 kilogram per meter persegi. Sementara pada obesitas tipe 2 dihitung dengan IMT lebih dari 30 kilogram per meter persegi. Selain IMT, indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur obesitas yakni lingkar perut.
Merujuk pada definisi WHO, obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dan energi yang digunakan oleh tubuh dalam jangka waktu yang lama.
Dokter spesialis gizi klinik dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI- RSCM) Krisadelfa Sutanto, di Jakarta, Rabu (1/2/2023), menyampaikan, kasus obesitas yang semakin banyak ditemukan di masyarakat terkait erat dengan perubahan gaya hidup yang dijalankan. Akses pada makanan, terutama makanan siap saji, semakin mudah tersedia.
Makanan tersebut pun dikemas secara menarik dan lebih murah. Sayangnya, sebagian besar dari makanan siap saji tersebut memiliki jumlah energi yang besar dengan kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi.
“Gaya hidup saat ini juga menuntut mobilitas yang sangat tinggi. Orang bekerja dari pagi sampai sore sehingga membuat mereka jarang beraktivitas fisik,” tutur Krisadelfa. Ketika akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, masyarakat lebih banyak menggunakan kendaraan. Meski hanya satu atau dua lantai, orang lebih nyaman menggunakan eskalator atau lift.
KOMPAS/ADI SUCIPTO K
Selvia Dwi Susanti dan kakaknya Nurul Diah Setiawati mempunyai gen gemuk dari faktor keturunan. Ayahnya, mendiang Suroso gemuk meski tak seberat keduanya.
Pandemi Covid-19, menurut Krisadelfa, juga meningkatkan risiko obesitas di masyarakat. Ketika awal pandemi terjadi, masyarakat dipaksa untuk tetap berada di dalam rumah dengan aktivitas yang minim. Pola aktivitas fisik yang dijalankan sedentary atau kurang gerak sehingga energi yang dikeluarkan tidak maksimal.
Aktivitas fisik yang minim membuat metabolisme tubuh melambat. Akibatnya, tubuh akan sulit memproses makanan untuk menghasilkan energi. Massa otot menjadi menurun sedangkan massa lemak meningkat. Karena itu obesitas tidak hanya soal asupan makan yang berlebihan melainkan juga kurangnya aktivitas fisik.
Obesitas ekstrem
Krisadelfa menjelaskan, kondisi obesitas yang tidak segera ditangani dan dibiarkan terlalu lama bisa berlanjut hingga menjadi obesitas ekstrem. Umumnya, pasien obesitas ekstrem sudah cukup lama mengalami obesitas, bahkan sejak usia anak.
“Awalnya pada kasus obesitas ekstrem dimulai sejak usia muda mengalami kegemukan. Pada sejumlah kasus, orang yang gemuk juga mengalami depresiasi sosial sehingga jarang keluar rumah. Akibatnya, perilaku sedentary semakin dilakukan sehingga risiko obesitas makin besar,” ujarnya.
Selain itu, kelainan metabolik bisa memicu obesitas ekstrem. Pada seseorang dengan kelainan metabolik, kontrol tubuhnya terhadap rasa lapar dan kenyang menjadi terganggu. Efek samping dari konsumsi obat juga bisa menyebabkan kegemukan yang bisa memicu obesitas ekstrem.
ANTARA/NOVRIAN ARBI
Sejumlah tim dokter membawa Arya Permana (10), anak dengan 'Severe Obesity' atau Kegemukan yang amat sangat untuk dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat, Juli 2016.
Penanganan multidisiplin diperlukan dalam menangani kasus obesitas ekstrem. Risikonya sebenarnya sama dengan obesitas pada umumnya. Orang dengan obesitas berisiko tinggi mengalami penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, diabetes, hipertensi, dan kanker.
Pola diet menjadi intervensi yang dilakukan pada pasien obesitas ekstrem. Hal tersebut disertai dengan peningkatan aktivitas fisik serta pemberian terapi farmakologi. Penurunan berat badan dilakukan secara bertahap. “Yang paling penting dalam penanganan obesitas yakni penurunan berat badan bertahap secara konsisten. Karena itu, penting memastikan intervensi bisa dilakukan secara berkelanjutan oleh pasien,” kata Krisadelfa.
Bedah bariatrik bisa dilakukan sebagai tindakan medis bagi pasien obesitas ekstrem tingkat lanjut. Tindakan ini dilakukan dengan mengurangi volume lambung agar kapasitas lambung berkurang. Pada kasus Titi Wati, bedah bariatrik dilakukan. Meski sudah menjalani bedah bariatrik, modifikasi gaya hidup tetap penting. Asupan makanan harus dibatasi dan menghindari perilaku kurang gerak.
Dalam Kompas.id (30/1/2023), diberitakan bahwa Titi sempat beraktivitas setelah menjalani operasi. Bahkan, ia sempat bisa berdiri dari sebelumnya hanya dapat berbaring. Namun, kondisi Titi kembali seperti semula karena pola konsumsinya tak berubah. Kebiasaannya mengonsumsi jajanan tak bisa dihindari. Pada saat sama, Titi mengalami infeksi saluran kemih.
Pada kasus obesitas ekstrem lainnya, Arya Permana warga Karawang, Jawa Barat, bedah bariatrik yang dilakukannya telah membuahkan hasil. Berat badannya kini turun signifikan lalu dilanjutkan dengan pemantauan pola diet dan olahraga. Itu ditunjukkan dalam salah satu unggahan pada akun Instagram Ade Rai yang juga menjadi pelatih Arya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengunjung mencoba menyusun menu porsi makanan sehat dalam kampanye zona sehat Nestle Indonesia, di Jakarta, April 2014.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi secara terpisah menuturkan, pemerintah telah menyadari bahwa Indonesia diharapkan dengan beban ganda terkait malnutrisi, yakni masalah kurang gizi termasuk tengkes dan masalah gizi berlebih berupa obesitas. Intervensi pada kedua masalah tersebut dilakukan secara beriringan.
Promosi kesehatan pun terus dilakukan melalui berbagai platform untuk mengajak masyarakat menjaga kesehatan, termasuk mencegah obesitas. Upaya pencegahan obesitas perlu didorong sejak usia dini lewat pola diet dan pola asuh yang tepat. Kampanye terkait perilaku CERDIK juga digalakkan, meliputi cek kesehatan berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, istirahat cukup, dan kelola stres.
“Masalah gizi berlebih ini akan berdampak pada problem penyakit tidak menular. Intervensi yang dilakukan di Jepang dan Singapura yang melakukan pemantauan ketat pada masyarakatnya yang memiliki berat badan berlebih menjadi benchmark (tolak ukur). Namun penerapan itu butuh waktu yang tidak singkat,” tutur Nadia.
Kondisi obesitas tidak boleh dikesampingkan. Obesitas menjadi masalah kesehatan masyarakat yang juga berisiko tinggi pada berbagai penyakit tidak menular dengan beban biaya kesehatan tinggi. Gaya hidup serba praktis seharusnya tidak membuai masyarakat untuk malas bergerak dan menjalankan diet tidak sehat.