Remaja Obesitas Membutuhkan Konseling Perubahan Perilaku
Konseling yang diberikan oleh tenaga kesehatan berperan penting untuk mengubah perilaku remaja demi mengatasi masalah obesitas. Panduan yang komprehensif pun diperlukan tenaga kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Remaja dengan obesitas perlu didorong untuk mengubah perilaku jadi lebih sehat, khususnya dalam mengelola berat badan. Hal ini memerlukan konseling perubahan perilaku dari tenaga kesehatan untuk mengedukasi remaja. Namun, kapasitas tenaga kesehatan melakukan konseling tersebut terbatas.
Oleh sebab itu, pelatihan bagi tenaga kesehatan, terutama yang berada di fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) dibutuhkan. Panduan yang komprehensif pun perlu disusun sebagai pedoman konseling yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam konseling perubahan perilaku bagi remaja dengan obesitas.
”Layanan kesehatan pada populasi remaja berperan penting karena masa remaja menjadi periode kunci untuk meletakkan dasar mengadopsi gaya hidup sehat sebagai pilar utama pencegahan obesitas,” ujar Fransisca Handy BW Agung saat mempertahankan disertasinya pada sidang promosi doktor ilmu kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), di Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Atas disertasi tersebut, Fransisca lulus menjadi doktor dalam program studi ilmu kedokteran dengan yudisium A. Ia merupakan doktor kelima di FKUI pada 2023.
Layanan kesehatan pada populasi remaja berperan penting karena masa remaja menjadi periode kunci untuk meletakkan dasar mengadopsi gaya hidup sehat sebagai pilar utama pencegahan obesitas.
Di Indonesia, gizi lebih dan obesitas pada remaja terus meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 dan 2018, prevalensi anak usia 13-15 tahun dengan berat badan berlebih meningkat dari 8,3 persen menjadi 11,2 persen. Sementara prevalensi pada usia 16-18 tahun meningkat dari 5,7 persen menjadi 9,5 persen.
Kondisi tersebut, menurut Fransisca, menjadi persoalan serius. Obesitas merupakan faktor risiko dari penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, dan keganasan seperti kanker. Selain itu, sindrom kardiometabolik di masa dewasa paling banyak disebabkan oleh obesitas pada masa remaja yang menetap hingga dewasa.
Maka dari itu, pencegahan gizi lebih dan obesitas pada remaja merupakan intervensi strategis untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan pada masa remaja dan dewasa. Pencegahan obesitas pada masa remaja juga dapat menekan biaya kesehatan akibat penyakit kronik yang berkaitan dengan obesitas di masa depan.
”Pengelolaan pola hidup merupakan kunci pencegahan dan tata kelola obesitas. Namun, tenaga kesehatan tidak memiliki keterampilan yang baik untuk mengelola gaya hidup, khususnya pada pasien remaja,” kata Fransisca.
Atas dasar itu, ia mengembangkan panduan tata laksana dan pencegahan obesitas bagi tenaga kesehatan di FKTP. Saat ini, panduan teknis dan terstruktur cara melakukan konseling perubahan perilaku belum tersedia. Akibatnya, tenaga kesehatan kesulitan memberi konseling yang tepat untuk mengatasi obesitas pada remaja.
Adapun pelatihan untuk tenaga kesehatan yang dikembangkan Fransisca berbasis daring. Materi dan panduan pelatihan disertai penilaian dari pelatihan dapat diunduh melalui laman Ramahremaja.id. Latihan kasus dengan video virtual dan video konseling disertakan untuk membantu tenaga kesehatan meningkatkan keterampilan konseling.
Materi dan panduan pelatihan yang diberikan terdiri dari empat topik, yakni memahami remaja, pengasuhan remaja, teknik wawancara motivasi berdasarkan prinsip konseling remaja, dan informasi teknis terkait gizi lebih dan obesitas serta pola makan dan aktivitas fisik remaja.
Topik lain yang juga bisa diakses, antara lain, adalah pemahaman dasar kesehatan remaja, penyakit menular dan imunisasi remaja, kesehatan seksual dan reproduksi, serta kesehatan jiwa.
”Hasil analisis menunjukkan pengetahuan dari kelompok intervensi meningkat lebih besar dari kelompok kontrol. Hal ini sejalan dengan tinjauan sistematis sebelumnya yang mendapatkan bahwa pelatihan keterampilan klinis bagi tenaga kesehatan berbasis internet menunjukkan peningkatan pengetahuan bermakna,” tutur Fransisca.
Pelatihan dengan metode belajar mandiri dan pertemuan daring ini terbukti berjalan baik dan efektif untuk meningkatkan kemampuan konseling perubahan perilaku pada remaja. Namun, kemampuan melibatkan orangtua belum terbukti karena terkendala waktu yang tidak sesuai antara tenaga kesehatan, remaja, dan orangtua.
Kendala lainnya adalah kurangnya literasi internet dari peserta pelatihan dan sinyal internet kurang baik di sejumlah daerah. Untuk itu, penjelasan lebih rinci dengan gambar serta resolusi video pelatihan yang diturunkan ke tingkat paling rendah perlu dilakukan.
Promotor yang juga Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-Rumah Sakit Umum Pusat (RSUPN) Dr Cipto Mangunkusumo Rini Sekartini mengungkapkan, intervensi kesehatan pada remaja masih belum banyak dilakukan. Remaja termasuk pada kelompok usia yang terkadang terabaikan.
Umumnya, intervensi kesehatan hanya berfokus pada kesehatan anak atau warga lansia. Padahal, kesehatan remaja sangat penting untuk diperhatikan untuk mengatasi persoalan kesehatan di masa depan.
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam menilai, penelitian yang dilakukan Fransisca menjadi praktik baik yang memperkuat pentingnya intervensi kesehatan sejak dari hulu.
”Masalah kesehatan tidak akan selesai jika di sisi hulu tidak dijaga. Kebijakan pemerintah pun seharusnya lebih memperkuat di sisi hulu, seperti larangan konsumsi camilan dengan kalori tinggi,” katanya.