RUU Kesehatan untuk Lindungi Dokter, Tenaga Kesehatan, dan Publik
Rancangan Undang-Undang Kesehatan ditujukan untuk mempermudah hidup dan karier dokter, dan pada akhirnya memperbaiki layanan kepada masyarakat. Apakah logis ditolak dan dicap sebagai upaya liberalisasi sektor kesehatan?
Oleh
NIZAR YAMANIE
·5 menit baca
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan masuk Prolegnas 2023. Walau belum ada draf RUU yang secara resmi beredar, pro dan kontra muncul seolah-olah RUU ini akan merugikan masyarakat, dokter, dan tenaga kesehatan (nakes).
Berdasarkan proses awal dengar pendapat Badan Legislatif (Baleg) DPR dengan berbagai pihak di sektor kesehatan sejak awal Oktober 2022 yang dapat disimak oleh publik melalui Youtube DPR, saya menyimpulkan justru RUU ini ditujukan untuk melindungi dokter dan nakes, serta selanjutnya akan memberikan akses yang lebih luas dan mudah kepada masyarakat untuk mendapatkan layanan medis.
Apa saja perlindungan untuk dokter dan nakes yang akan ada dalam RUU ini? Pertama, perlindungan untuk mempermudah proses mendapatkan surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) sehingga dokter tidak direpotkan dan dibebani setiap lima tahun sekali untuk mengurus dua proses ini, dan akan menyederhanakan proses dan menghemat waktu serta biaya, apalagi jika digratiskan.
Dalam praktiknya, banyak dokter terpaksa menggunakan calo untuk memperpanjang dua izin tersebut karena cukup merepotkan. STR diperlukan agar dokter dapat memiliki SIP. Tentu semua proses tersebut harus tetap mengedepankan kontrol untuk menjaga mutu dan pengawasan etik dan perilaku dokter.
Saat ini STR memang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), tetapi dokter diwajibkan mendapatkan sertifikat kompetensi dengan cara mengumpulkan satuan kredit poin (SKP) melalui seminar, bakti masyarakat, pelayanan medis, dan berbagai kegiatan lainnya. Kadang SKP melalui seminar atau lokakarya (workshop) harus ditempuh dengan mengeluarkan biaya yang mahal. Di proses ini terjadi ketidakadilan, yaitu bagaimana dengan dokter-dokter dan nakes lainnya yang mempunyai masalah keuangan dan berada jauh dari kota besar.
Mengurus SIP juga sama repotnya. SIP dikeluarkan oleh pemerintah daerah, tetapi perlu proses berjenjang untuk mendapatkan ”rekomendasi” dari organisasi profesi. Ini juga memerlukan biaya dan bisa terjadi turut bermainnya unsur subyektivitas.
Jika menyimak aspirasi dari Baleg DPR dan Kementerian Kesehatan, RUU ini akan membuat masa berlaku STR menjadi seumur hidup. Namun, ada pertanyaan; siapa yang menjamin kompetensi dokter kalau sistem ini direlaksasi?
Menurut Baleg dan Kemenkes, unsur tersebut akan dilebur dalam syarat memperpanjang SIP setiap lima tahun melalui SKP sehingga pemenuhan kompetensi tetap terjaga. Istilah SIP pun akan diganti menjadi istilah izin secara umum. SIP nanti tetap dikeluarkan oleh pemda namun tidak lagi memerlukan ”rekomendasi” berjenjang dari organisasi profesi.
Peran organisasi profesi tetap ada dan penting, tidak hilang, tetapi wewenang ”rekomendasi” ini yang saya asumsikan akan hilang. Pembenahan STR dan SIP tentu akan melindungi dokter dari birokrasi yang panjang, biaya yang mahal, dan juga perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang oleh oknum organisasi profesi.
Mutu dokter harus unggul adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar. Namun, menghasilkan dokter bermutu tidak harus ditempuh dengan jalan sulit, mahal, dan berliku.
Mutu dokter harus unggul adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar. Namun, menghasilkan dokter bermutu tidak harus ditempuh dengan jalan sulit, mahal, dan berliku. Sekarang adalah era yang mengharuskan kita bertindak lebih cepat, tepat, dan transparan, atau kita akan tertinggal jauh dalam segala sisi dari negara lain.
Panjang dan lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses birokrasi termasuk melalui proses di KKI membutuhkan waktu total 4-5 bulan setelah dokter spesialis lulus dari ujian nasional, dan biaya mahal penerbitan STR dan SIP saat ini juga tidak sejalan dengan rencana jangka panjang pemerintah dalam membangun sistem pelayanan kesehatan yang kuat.
Kekurangan dokter
Di mana tidak sejalannya? Negara kita masih kekurangan dokter, terutama dokter spesialis dan sub-spesialis. Rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum dan dokter spesialis, dengan jumlah penduduk sangat timpang. Menurut World Bank dan WHO, idealnya 1 dokter melayani 1.000 orang. Di Indonesia, rasionya baru 0,46/1.000 rakyat, atau separuhnya saja belum. Bahkan, di ASEAN kita hanya menang dari Laos dan Kamboja.
Bagaimana kita mau mengatasi masalah pemerataan dokter kalau jumlahnya pun masih sangat kurang.
Namun, masih saja ada yang meragukan kalau jumlah dokter kita tidak cukup. Coba datang saja ke rumah sakit rujukan jantung Harapan Kita di Jakarta. Antrean operasi untuk anak pengidap kongenital (kelainan) paling cepat itu delapan bulan, dan sebagian besar mereka datang dari daerah, juga di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional, Jakarta, bagaimana jika di daerah yang jauh dari kota?
Keluarga pasien ada yang jatuh miskin karena harus mengeluarkan biaya transportasi, akomodasi, dan lain sebagainya untuk datang ke Jakarta demi kesembuhan anak mereka.
Ada sekitar 20.000 kasus anak yang mengalami gangguan tersebut per tahun. Sementara yang bisa ditangani hanya sekitar 1.600 per tahun sehingga ada gap sebanyak 18.400 anak yang tidak ditangani dan mengalami kematian.
Apakah ini karena masalah peralatan yang kurang? Tidak juga. Alat kesehatan bisa dibeli dan dipasang paling tidak dalam waktu enam bulan, tetapi dokter spesialisnya yang tidak ada dan memerlukan paling cepat empat tahun untuk menyiapkan mereka.
Semangat utama dari RUU ini adalah untuk kepentingan publik. Suatu peraturan atau kebijakan apa pun yang dikeluarkan oleh organisasi, atau dalam skala lebih besar oleh pemerintah, harus mengedepankan kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan demi kesejahteraan anggota atau kelompoknya saja atau kepentingan organisasi. Ketika suatu peraturan sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi mengakomodasi kepentingan bersama, dalam hal ini masyarakat luas, kebijakan tersebut harus dievaluasi ulang.
Perlindungan kedua terkait aspirasi Baleg DPR dan juga Kemenkes untuk menghentikan praktik-praktik perundungan (bullying) yang dilakukan oleh para ”senior” kepada yunior yang terutama sedang menempuh pendidikan spesialis. Hal ini, saya yakin sudah diketahui dan dialami hampir semua dokter, tetapi dibantah dengan kalimat bahwa itu dilakukan oleh oknum, sedangkan pada kenyataannya oknum-oknum tersebut berada di tiap-tiap pusat pendidikan spesialis.
Perlindungan ketiga terkait proteksi dari upaya-upaya kriminalisasi yang menimpa para dokter dan nakes sehingga mereka dapat tenang bekerja.
Ada tuduhan bahwa RUU ini akan menyuburkan praktik liberalisme. Justru sistem sekarang ini yang sangat liberal di mana peran organisasi profesi atau perhimpunan atau kolegium yang notabene adalah berbentuk lembaga swadaya masyarakat kedokteran dan paguyuban sangat berpengaruh dengan wewenang ”rekomendasinya”. Jika pemerintah mengambil wewenang tersebut kembali apakah itu bisa dikatakan liberalisasi?
Kalau RUU Kesehatan ini ditujukan untuk mempermudah hidup dan karier para dokter dan memperbaiki layanan kepada masyarakat, apakah logis untuk ditolak dan dicap sebagai upaya liberalisasi sektor kesehatan? Saya khawatir penolakan yang ada cenderung hanya untuk melanggengkan praktik subur selama ini untuk mengelola ”rekomendasi” pada keadaan status quo tanpa memedulikan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Nizar Yamanie, Pemerhati Kesehatan; Staf Medis Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta