Kontroversi RUU Kesehatan
Sebelum menggagas RUU Kesehatan, DPR mestinya melakukan komunikasi intensif dengan para pemangku kepentingan terkait. Mesti ada diskusi ilmiah dan penjelasan rasional mengapa UU yang eksis diganti atau disinergikan.
Legislasi model omnibus tidak hanya menyasar bidang cipta kerja, tetapi juga kesehatan.
Baru-baru ini beredar draf Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus Kesehatan yang menelisik beragam isu kesehatan, mulai dari praktik kedokteran hingga BPJS. Ironisnya, sesaat setelah beredar, muncul berbagai reaksi penolakan.
Sejumlah organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia, mengadakan jumpa pers dan menyatakan ketidaksetujuan terhadap draf ini. Sejumlah alasan dikemukan; salah satunya, mereka tidak dilibatkan dalam pembuatan RUU ini. Padahal, mereka adalah representasi formal profesi dokter, dokter gigi, dan perawat yang akan terimbas serius oleh legislasi ini.
Minim urgensi
Hingga kini belum ada konfirmasi siapa pembuat draf RUU ini; apakah DPR, Kementerian Kesehatan, atau pemangku kepentingan lain.
Namun, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi mengungkapkan bahwa mereka sementara menyusun RUU yang ujung-ujungnya akan menjadi undang-undang (UU) kesehatan. RUU ini bahkan masuk Program Legislasi Nasional 2022-2023. Artinya, akan segera dibahas. Sejumlah UU kesehatan yang eksis saat ini, termasuk UU Keperawatan, UU Kebidanan, dan UU Praktik Kedokteran akan dilebur dalam UU omnibus ini. Alasannya, UU Kesehatan saat ini terlalu kompleks dan berpotensi membingungkan saat merujuknya.
Beragam pertanyaan muncul terkait RUU ini. Salah satunya menyangkut urgensinya. Apakah UU omnibus memang dibutuhkan saat ini dan apa urgensinya dimasukkan daftar prolegnas?
Baca juga: Penyusunan RUU ”Omnibus Law” Kesehatan Perlu Libatkan Organisasi Profesi
Beberapa argumen mendasari pertanyaan ini. Pertama, UU omnibus bertujuan menggabungkan, merampingkan, dan mengatasi tumpang tindih regulasi. Ia diharapkan jadi benang merah regulasi. Model omnibus akan efektif jika diaplikasikan pada kondisi kompleks dan hyper-regulation: jumlah legislasi banyak, beragam, tumpang tindih, atau terdapat kontradiksi satu dengan lainnya. Kasarnya, terdapat kompleksitas, heterogenitas, dan kontradiksi regulasi.
Pada domain lapangan kerja, misalnya, ada banyak dan beragam legislasi yang ujung-ujungnya menimbulkan kerancuan. Maka, muncullah UU omnibus Cipta Kerja sebagai sinergi 78 UU. Di sisi lain, latar belakang munculnya UU omnibus Kesehatan tak sekompleks UU Cipta Kerja. UU Kesehatan hanya akan menggabungkan 9 UU. Sebagian besar UU itu bernuansa homogen karena bertema besar kesehatan. Selama ini juga belum terdengar ribut-ribut terkait kontradiksi antar-UU. Artinya, elemen kompleksitas, heterogenitas, dan kontradiksi yang jadi substansi pembuatan UU omnibus tak jelas.
Kedua, sebagian UU kesehatan yang akan dilebur usianya masih singkat. UU Keperawatan dan UU Tenaga Kesehatan disahkan pada 2014; sedangkan UU Karantina Kesehatan dan UU Kebidanan masing-masing disahkan pada 2018 dan 2019. Saat ini, para pemangku kepentingan UU itu berjibaku mengimplementasikan aturan-aturan ini, termasuk sosialisasi intensif dan pembuatan aturan turunan. Dalam kondisi demikian, mengapa tiba-tiba UU yang eksis ini mau dihapus dan diganti dengan yang baru?
Sebelum menggagas RUU omnibus ini, DPR mestinya melakukan komunikasi intensif dengan para pemangku kepentingan terkait. Mesti ada diskusi ilmiah dan penjelasan rasional mengapa UU yang eksis perlu dicabut, diganti, atau disinergiskan. Apakah ada kontradiksi serius antar-UU itu? Mesti ada tinjauan filosofis, yuridis, sosial, dan kesehatan, yang terang-benderang terkait urgensi UU omnibus. Alasan ’berpotensi membingungkan’ tak cukup menjadi justifikasi pembuatan UU baru.
Keterlibatan masyarakat dan organisasi profesi juga harus dijalin erat dalam pembuatan UU. Partisipasi sudah harus dibangun, bahkan ketika usulan inisiasi baru muncul. Pembentukan UU mesti memenuhi sejumlah asas, di antaranya kejelasan tujuan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Jika asas ini tak terpenuhi, RUU akan menjadi cacat dan berpotensi mandek di tengah jalan.
Marjinalisasi dan ”super-body”
Terkait praktik kedokteran, setidaknya ada dua isu krusial di draf RUU Kesehatan. Pertama, marjinalisasi organisasi profesi. Berbagai pasal di RUU ini mengisyaratkan fenomena fragmentasi dan amputasi peran organisasi profesi. Pasal 296 Ayat 2 menyebutkan, setiap jenis tenaga kesehatan (nakes) hanya bisa membentuk satu organisasi profesi. Prinsip ini sebenarnya bagus; sayangnya, terdapat pasal lain yang paradoks dan membuat prinsip ini mentah.
Prinsip ini sebenarnya bagus; sayangnya, terdapat pasal lain yang paradoks dan membuat prinsip ini mentah.
Pasal 184 Ayat 1 mengelompokkan nakes ke dalam 12 jenis, seperti tenaga medis dan tenaga keperawatan. Tiap jenis nakes ini dibagi lagi atas beberapa kelompok. Jenis tenaga medis, misalnya, terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Ujung-ujungnya ada 48 kelompok nakes.
Opsi mana yang akan berlaku: satu organisasi profesi untuk setiap jenis nakes (opsi pertama) atau untuk setiap kelompok nakes (opsi kedua)? Ironisnya, kedua opsi ini memfragmentasi organisasi profesi. Terkait tenaga medis, misalnya, jika opsi pertama terjadi, hanya akan ada satu organisasi profesi yang memayungi profesi dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Semua profesi ini digabung. Opsi ini rancu karena dokter dan dokter gigi dua profesi yang berbeda; visi, misi, dan aspirasi keduanya tidak bisa digabung.
Pada opsi kedua, organisasi profesi dokter umum dan dokter spesialis dipisahkan; demikian pula dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Ini tak tepat karena memisahkan dua elemen yang sesungguhnya memiliki kesamaan tugas, tanggung jawab, serta standar etik dan profesi. Dokter spesialis adalah kontinum dan bagian integral profesi dokter.
Jika opsi kedua terjadi, akan ada 48 organisasi profesi. Sangat gemuk dan kontras dengan Pasal 296 yang ingin meminimalkan jumlah organisasi profesi.
Di RUU ini, nama organisasi IDI dan PDGI yang selama ini diakui pemerintah juga menghilang. Penggantinya, pemerintah berwenang menentukan organisasi profesi yang diakui bagi tiap nakes. Kondisi ini akan memancing munculnya berbagai organisasi profesi yang kasak-kusuk minta pengakuan pemerintah.
Muncul kompetisi antar-organisasi dan melemahnya posisi tawar organisasi profesi. Seharusnya RUU dengan tegas menyebut pengakuan hanya pada satu organisasi profesi dokter, satu organisasi dokter gigi, dan masing-masing satu buat nakes lain, seperti perawat, bidan, dan apoteker. Poli-organisasi profesi hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Pemerintah seharusnya belajar dari konflik bidang radiologi saat puluhan dokter ahli radiologi tak memperoleh surat tanda registrasi (STR) akibat adanya dualisme kolegium bidang radiologi.
Selain itu, RUU ini juga mencabut peran organisasi profesi. Untuk melamar praktik, seorang nakes hanya perlu menyertakan STR, alamat praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi. Tak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi. Tanpa surat keterangan sehat, bagaimana diketahui status kesehatan fisik dan mental nakes yang akan praktik? Tanpa rekomendasi organisasi profesi, bagaimana mengetahui nakes tak pernah melakukan pelanggaran administrasi, etik, dan moral?
Kolegium menentukan apakah seorang nakes kompeten atau tidak; bukan menteri.
Kedua, menteri dan kementerian jadi super-body. Mereka penentu semua domain kesehatan; dari hulu ke hilir. Mereka berwenang menginisiasi, membuat, dan mengesahkan standar pendidikan, standar kompetensi, dan standar pelayanan. Pasal 235 menyebutkan, standar pendidikan kesehatan disusun oleh menteri meski dalam penyusunannya dapat melibatkan kolegium.
Peran organisasi profesi dan kolegium menghilang. Padahal, dalam UU No 29/2004, standar pendidikan ditentukan bersama oleh asosiasi institusi pendidikan, kolegium, asosiasi rumah sakit (RS) pendidikan, Kemendikbud, dan organisasi profesi. Standar kompetensi juga ditetapkan oleh menteri (Pasal 197 Ayat 3). Padahal, sejatinya, kompetensi adalah domain teknis dan profesional yang ranahnya ada pada kolegium.
Kolegium menentukan apakah seorang nakes kompeten atau tidak; bukan menteri. Sedemikian jauh pengambilalihan kompetensi ini hingga pengelolaan pendidikan atau pelatihan berkelanjutan lewat satuan kredit profesi juga dilakukan oleh menteri dan pemda. Ini aneh. Di negara-negara lain, wewenang penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan dilakukan organisasi profesi atau provider; bukan pemerintah.
Hal lain, pada Pasal 239 RUU ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertanggung jawab pada menteri. Padahal, sebelumnya, KKI adalah badan otonom, independen, dan bertanggung jawab langsung ke Presiden. Penempatan menteri sebagai atasan KKI membuat lembaga penting ini jadi kurang independen dan posisi tawarnya melemah.
ilustrasi
Peran menteri dalam RUU terlalu luas dan melintasi batas profesionalisme. Dengan peran menteri yang super-body ini, RUU ini menggiring sistem kesehatan jadi sistem centralized-power. Padahal, di era saat ini, sistem sentralisasi peran mestinya ditanggalkan karena terbukti kurang efektif dan efisien. Di sejumlah negara lain, wewenang dan peran bidang kesehatan dibagi secara proporsional dengan organisasi profesi dan pemangku kepentingan lain. Kue peran dibagi agar tercipta keseimbangan partisipasi yang ujung-ujungnya menginduksi kolaborasi dan inklusi yang menjadi ciri partisipasi dunia modern.
RUU ini berjalan mundur karena menteri terlalu jauh mengambil peran organisasi profesi dan masyarakat madani yang seharusnya jadi elemen integral pembangunan kesehatan negara.
Pembuatan UU yang akan memengaruhi efek hidup orang banyak, apalagi terkait kesehatan, mestinya melibatkan secara aktif pemangku kepentingan yang ada.
”Bendera merah”
Munculnya protes terhadap RUU Kesehatan menjadi sinyal adanya ketidakberesan dalam proses pembuatannya. Alih-alih jadi benang merah, RUU ini justru sangat mungkin menjadi bendera merah (red flag); mengandung ketidakteraturan dan masalah, serta berpotensi mendegradasi sistem.
Pembuatan UU yang akan memengaruhi efek hidup orang banyak, apalagi terkait kesehatan, mestinya melibatkan secara aktif pemangku kepentingan yang ada. Pendapat dan concern mereka perlu didengarkan dan dipertimbangkan. Komunikasi ini tak boleh parsial; artinya hanya menggandeng pihak yang sebendera. Prinsip imparsialitas dan obyektivitas harus dijunjung agar UU ini menghasilkan nilai positif, obyektif, dan berkeadilan. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dan organisasi profesi, semakin mudah penerimaan UU.
Pembuatan UU juga tak perlu tergesa-gesa; saat ini tak ada unsur urgensi untuk dikebut. Prinsip-prinsip ini perlu dijaga. Bila tidak, besar kemungkinan RUU Kesehatan ini akan bernasib sama dengan UU Cipta Kerja yang kini dianggap cacat formil dan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Iqbal Mochtar Pengurus PB IDI dan PP IAKMI; Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah