Kuasa wicara memperjuangkan kepentingan rakyat adalah esensi dari DPR. DPR perlu mengasah ”compassion” dengan derita rakyat, punya sensitivitas politik.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Permainan lato-lato lagi nge-hit. Di banyak tempat, anak-anak, orang dewasa, politisi, sampai selebritas ikut bermain lato-lato. Ingatan saya terbawa pada masa remaja. Permainan lato-lato pernah populer pada 1980-an. Romantisisme kembali ke masa lalu tampaknya lagi nge-tren. Ada teriakan kembali ke UUD 1945 yang asli. Ada pula ikhtiar politik-konstitusional untuk mengembalikan sistem pemilu menjadi tertutup seperti yang digunakan di pemilu pada era Orde Baru dan Pemilu 1999. Ada pertentangan antara sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem pemilu proporsional tertutup.
”Nasib” soal sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Yang membongkar sistem proporsional semi-terbuka menjadi proporsional terbuka juga MK pada Desember 2008. Pada mulanya, sistem proporsional semi-terbuka menggunakan persentase 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika tidak ada caleg yang menembus 30 persen dari BPP, caleg akan ditentukan sesuai dengan nomor urut.
Pasal itu dibatalkan MK. MK berpendapat, dengan sistem proporsional terbuka, rakyat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih sehingga akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Keputusan MK itu kemudian diadopsi dalam UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif yang lalu juga diadopsi di Pasal 168 Ayat (2) UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Pasal itu berbunyi, ”Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”. Ketua KPU Hasyim Asy’ari sempat terpancing menanggapi apa yang sedang disidangkan MK. Hasyim, seperti dikutip media, menyebut, ”Ada kemungkinan saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan ke sistem proporsional tertutup.” Jawaban Hasyim itu kemudian memunculkan spekulasi.
PDI Perjuangan mendukung gagasan sistem pemilu proporsional tertutup. Gagasan itu juga senada dengan pendapat Muhammadiyah. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebutkan, pihaknya mendukung pemilihan legislatif dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka terbatas (Kompas.com, 3/1/2023). Sistem proporsional terbuka, di mana pemilih memilih lambang parpol dan atau caleg, menimbulkan kanibalisme politik dan saling jegal antarcaleg.
Sementara itu, tujuh partai politik sudah ancang-ancang. Bertemu di hotel di Jakarta, Minggu, 8 Januari 2023, mereka menolak sistem pemilu dengan proporsional tertutup. ”Kami menolak sistem proporsional tertutup sebagai komitmen menjaga demokrasi Indonesia. Proporsional tertutup menyebabkan kemunduran demokrasi Indonesia,” kata Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Kemudian fraksi di DPR, baik fraksi pendukung pemerintah maupun oposisi, konferensi pers bersama menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Langkah di DPR ini jarang terjadi. Ketika terjadi drama ”Duren Tiga”, fraksi-fraksi di DPR tenang-tenang saja. Ketika DPR me-recall Hakim Konstitusi Aswanto, fraksi-fraksi pun diam saja. Namun, tentunya tak ada yang salah dengan sikap fraksi di DPR yang menggelar jumpa pers menolak sistem proporsional tertutup. Semoga setelah ini fraksi DPR segera jumpa pers mendorong diterbitkannya RUU Perampasan Aset atau RUU Pembatasan Transaksi Tunai untuk meminimalkan korupsi.
Ada perbedaan pendapat di sana. Setuju dan tidak setuju. Seperti permainan lato-lato, dua bola dibentur-benturkan, dan jika pemainnya kurang terampil, bisa melukai diri sendiri. Secara tak sadar bangsa ini sedang jadi mainan, seperti lato-lato. Diciptakan pembelahan sosial, lalu dibentur-benturkan. Ada cebong-kampret-kadrun, seperti mainan lato-lato. Padahal, ini sebuah bangsa, bukan mainan lato-lato.
Kembali ke sistem tertutup bisa membawa kemunduran demokrasi. Itu ibarat permainan lato-lato yang kini marak. Dalam sistem terbuka, pemilih memilih gambar partai politik dan atau caleg. Popularitas caleg akan ikut menentukan. Dalam sistem tertutup, pemilih hanya memilih tanda gambar partai politik. Pengurus partai menentukan siapa caleg nomor urut atas sampai nomor urut bawah. Partai lebih berhak menentukan siapa caleg yang berpeluang lebih untuk terpilih.
Sistem proporsional terbuka kini diuji lagi ke MK. Pasal itu dianggap melemahkan identitas kepartaian, memarakkan politik uang. MK setelah political recall hakim Aswanto belum mengambil putusan. Apakah mengukuhkan sistem terbuka atau mengembalikan ke tertutup. Apa pun, putusan MK perlu mempertimbangkan tahapan pemilu, 14 Februari 2024, yang sudah berjalan. ”Jangan sampai perdebatan terbuka atau tertutup menjadikan pemilu tertunda.”
Sistem terbuka atau tertutup bisa dikaji. Namun, jangan mengubah aturan main ketika kereta berjalan menuju musyawarah besar rakyat, 14 Februari 2024. Namun, yang perlu jadi refleksi bersama, mengapa kepuasan publik pada partai politik dan DPR rendah dalam serial survei terhadap DPR dan partai politik.
Anggota DPR adalah elected officials, yang dipilih rakyat, dibayar oleh pajak rakyat, untuk berbicara. Pekerjaan Dewan di mana pun adalah berbicara, an exertion of power, mengerjakan kekuasaan dan mengolah kekuasaan untuk mencapai tujuan. Kuasa wicara (the power of speech) memperjuangkan kepentingan rakyat adalah esensi dari DPR. DPR perlu mengasah compassion dengan derita rakyat, punya sensitivitas politik.
Jika tidak, ya, bermain lato-lato saja. Bangsa ini digiring untuk terus terbelah, dibentur-benturkan, dan jadi mainan seperti lato-lato.