Hukum selalu koheren dengan keadilan, sedangkan peraturan perundang-undangan belum tentu bersukmakan keadilan. Paradigma seperti ini harus dimiliki oleh lulusan fakultas hukum sehingga mereka layak disebut sarjana hukum.
Oleh
ADAM MUHSHI
·6 menit baca
Pada 26 September 2022, saya mempertahankan disertasi dalam sidang terbuka Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Disertasi yang berjudul ”Asas Praesumptio Iustae Causa dalam Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan” tersebut berangkat dari kegelisahan saya atas tidak tepatnya pemaknaan terhadap konsep kepastian hukum sehingga dalam penerapannya kerap kali memangsa keadilan.
Kekeliruan pemaknaan terhadap konsep kepastian hukum tersebut mengakibatkan asas praesumptio iustae causa dan ibu kandungnya, asas legalitas, sering kali diposisikan sebagai musuh dari keadilan. Pemaknaan dan pemosisian seperti itu tentu saja sebagai sebuah kekeliruan yang akan berdampak serius bagi penegakan hukum (keadilan).
Kegelisahan yang kemudian tersaji dalam disertasi tersebut mungkin akan sedikit terilustrasikan melalui tulisan kecil berkenaan dengan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini. Salah satu substansi utama UU No 13/2022 adalah ketentuan tentang metode omnibus law. Metode ini merupakan hal yang baru karena sebelum UU No 13/2022 diundangkan, metode omnibus law belum dikenal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut menjadi landmark decision karena baru kali ini MK mengabulkan pengujian formil UU terhadap UUD 1945.
Omnibus law pernah muncul wajahnya dalam bentuk UU No 11/2020 tentang UU Cipta Kerja (UU CK), tetapi dasar pembentukan UU CK dengan metode omnibus law belum diatur sebelum lahirnya UU No 13/2022. Itu sebabnya ketika mengadili permohonan uji formil atas UU CK terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 kemudian menyatakan bahwa UU CK inkonstitusional bersyarat.
Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut menjadi landmark decision karena baru kali ini MK mengabulkan pengujian formil UU terhadap UUD 1945. Meskipun sayangnya, MK masih menyatakan UU CK yang telah ia buktikan sendiri inkonstitusionalnya tersebut tetap berlaku sehingga baru kali ini pula ada UU inkonstitusional tetapi masih tetap diberlakukan.
Pemberlakuan itu diikuti perintah MK kepada pembentuk UU (DPR dan Presiden) untuk memperbaiki UU CK dan jika dalam dua tahun perbaikan itu tak dilakukan, maka UU CK akan inkonstitusional permanen. Perintah MK inilah yang kemudian ditengarai melatarbelakangi pembentuk UU melakukan revisi terhadap UU No 12/2011 melalui UU No 13/2022.
Keabsahan revisi UU CK
Dikatakan demikian sebab salah satu pertimbangan hukum MK dalam putusannya yaitu metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU CK tidak ada dasar hukumnya. Oleh sebab itu, UU CK terbukti cacat formil dan inkonstitusional.
Berdasarkan ratio decidendi tersebut, perbaikan UU CK dengan tetap menggunakan metode omnibus law secara legal formal tentu saja tak akan pernah dapat dilakukan sebelum ada dasar hukum yang membolehkan pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law. Untuk itulah, wajar kemudian pembentuk UU terlebih dahulu merevisi UU 12/2011 dengan UU No 13/2022 dan memasukkan ketentuan omnibus law ke dalamnya.
Secara legal formal, langkah yang dilakukan pembentuk UU tersebut dapat dibenarkan. Berdasarkan asas praesumptio iustae causa, sejak UU No 13/2022 tersebut diundangkan, maka ia sah sampai ada pembatalan terhadapnya. Artinya, keberadaannya secara legal formal sah sehingga sah pula manakala dijadikan sebagai dasar hukum pembentukan UU tentang Perubahan atas UU CK.
Jalur yang ditempuh oleh pembentuk UU tersebut tentu saja tidak sepi dari kritik para ahli hukum tata negara. Jauh sebelum revisi UU No 12/2011 tersebut dilakukan, beberapa ahli hukum tata negara misalnya menyatakan bahwa rencana merevisi UU No 12/2011 dengan memasukkan metode omnibus law ke dalamnya merupakan niat busuk pembentuk UU.
Kritik dari para ahli tersebut secara normatif logis mengingat asas umum perundang-undangan yang tak boleh berlaku surut. Berdasarkan prinsip ini, metode omnibus law yang tertuang dalam UU No 13/2022 tidak kemudian dapat melegalkan UU CK yang telah dibentuk tanpa dasar hukum. Konsekuensinya, UU Perubahan (perbaikan) atas UU CK patut dipertanyakan pula keabsahannya.
Selain itu, pembentukan UU No 13/2022 untuk melegalkan perbaikan UU CK akan menjadi preseden buruk. Bukan tidak mungkin, cara ini akan menjadi rule model bagi penguasa untuk melakukan pembentukan UU atau mengambil kebijakan yang secara hukum tidak ada pijakannya. Toh, kalau kemudian hal itu dipermasalahkan oleh publik, dasar hukumnya dapat dibuat untuk melegalkan UU atau kebijakan yang telah dibentuk tersebut.
Jadilah sarjana hukum
Terlepas dari pro-kontra berkenaan dengan keabsahan revisi UU CK di atas, terlihat bahwa secara legal formal keduanya sama-sama memiliki dasar yang kuat. Namun, yang harus kita pahami bahwa keabsahan fomal suatu peraturan perundang-undangan hanyalah wadah dari keadilan yang harus tecermin dalam substansi peraturan perundang-undangan (keabsahan substansial). Sebab, ketika bicara keabsahan peraturan perundang-undangan, maka ia meliputi keabsahan formal dan keabsahan substansial di mana keabsahan formal hadir dalam rangka mewadahi keadilan sebagai keabsahan substansialnya.
Berdasarkan konsep keabsahan tersebut, perlu juga dikemukakan bahwa keabsahan formal tujuannya adalah dalam rangka menjamin kepastian hukum. Adapun keabsahan substansial lebih menekankan kepada jaminan terhadap keadilan sebagai esensi hukum. Oleh sebab itu, gabungan keduanya ketika menyatu dalam konsep keabsahan peraturan perundang-undangan berkelindan dengan sinergitas kepastian hukum dan keadilan.
Sinergi kepastian hukum dan keadilan tersebut menciptakan makna kepastian hukum sebagai sebuah konsep ’memastikan tegaknya keadilan sebagai esensi hukum’.
Sinergi kepastian hukum dan keadilan inilah yang kemudian menjadi dasar redefinisi terhadap konsep kepastian hukum yang telah banyak diamini oleh para ahli hukum selama ini. Sinergi kepastian hukum dan keadilan tersebut menciptakan makna kepastian hukum sebagai sebuah konsep ”memastikan tegaknya keadilan sebagai esensi hukum”.
Pemaknaan seperti ini tentu saja berbeda dengan makna para ahli yang telah tersebar selama ini dalam berbagai literatur dan teks-teks hukum. Sebab, dalam berbagai tulisan dan kajian-kajian ahli hukum selama ini kerap memosisikan kepastian hukum dan keadilan sebagai dua hal yang vis a vis.
Pemosisian kepastian hukum dan keadilan secara diametral tersebut tentu saja berangkat dari mind set yang menyamakan begitu saja antara konsep hukum dan konsep peraturan perundang-undangan. Padahal, keduanya tentu saja berbeda karena hukum sudah pasti selalu koheren dengan keadilan, sedangkan peraturan perundang-undangan belum tentu bersukmakan keadilan. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang mengandung ketidakadilan tidak dapat disebut sebagai hukum.
Dengan demikian, apa pun bentuk hukum dan metode yang digunakan, itu hanyalah sebagai wadah dari substansi hukum yang harus diusung, yaitu keadilan. Peraturan perundang-undangan yang berisikan ketidakadilan tidak patut untuk disebut hukum. Paradigma seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap lulusan fakultas hukum sehingga mereka layak untuk disebut sarjana hukum.
Janganlah kita hanya sekadar menjadi sarjana undang-undang atau sarjana perundang-undangan, tetapi jadilah sarjana hukum. Sebab, sarjana undang-undang hanya berpegang, berhenti, dan terjebak kepada keabsahan formal yang sangat mungkin akan tetap menerapkan peraturan perundang-undangan meskipun keadilan (esensi hukum) akan digilas!
Pertanyaannya, apakah Omnibus Law Cipta Kerja berisikan keadilan? Kita tunggu hasil perbaikan pembentuk undang-undang.
Adam Muhshi, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember