Perbaikan UUCK bukan tak mungkin akan menghadapi tantangan, sebab dua tahun lagi kita akan memasuki masa Pemilu Serentak 2024. Besar kemungkinan fokus parlemen akan terpecah dengan wacana revisi UU Pemilu.
Oleh
FAHMI RAMADHAN FIRDAUS
·4 menit baca
Kompas
Didie SW
Pengujian formil UU di MK akhirnya ”pecah telur” setelah uji formil UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dikabulkan MK dan UU itu dinyatakan inkonstitusi- onal bersyarat.
Dikabulkannya uji formil UU ini sudah diprediksi sejak awal oleh banyak pihak. Ini karena dalam proses pembentukannya, UUCK dianggap terang-terangan melanggar prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari teknik pembentukannya yang tak diatur di UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan minimnya keterbukaan dan partisipasi publik.
”Landmark decision”
Secara garis besar terdapat empat hal pokok dalam amar Putusan MK No 91/PUU- XVIII /2020. Pertama, menyatakan bahwa pembentukan UUCK tak punya ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai tak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan.
Kedua, jika dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk UU tak dapat menyelesaikan perbaikan UUCK (hingga 25 November 2023), UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah oleh UUCK, harus dinyatakan berlaku kembali.
Ketiga, UUCK masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai tenggang waktu sebagaimana ditentukan di Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020.
Keempat, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta dilarang membentuk peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UUCK. Putusan MK itu dapat dikatakan sebagai salah satu landmark decision, Dalam Black’s Law Dictionary, landmark decision diartikan ”A decision of the Supreme Court that significantly changes existing law”. Landmark decision juga berarti putusan itu berdampak penting bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yang harus ditaati semua pemangku kepentingan termasuk pembentuk UU.
Sifat landmark decision yang pertama terlihat dari dikabulkannya uji formil untuk pertama kali sepanjang 18 tahun MK berdiri. Putusan MK ini seolah jadi peringatan bagi para pembentuk UU agar berhati-hati serta tak membentuk UU secara ”ugal-ugalan” dan harus sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah ada serta menjunjung keterbukaan dan partisipasi publik yang substantif (meaningful participation).
Dalam proses pembentukannya, UUCK dianggap minim sekali keterbukaan sehingga menyulitkan publik berpartisipasi dalam memberikan aspirasinya.
Dalam proses pembentukannya, UUCK dianggap minim sekali keterbukaan sehingga menyulitkan publik berpartisipasi dalam memberikan aspirasinya. Sejak proses penyusunan draf RUU di pemerintah, UU ini banyak kritikan karena draf RUU tak dipublikasikan secara pasti, banyak draf beredar, tapi tak ada klarifikasi dari pemerintah mana draf yang resmi.
Proses pembahasan terkesan terburu-buru dan memanfaatkan momen pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada masa pandemi sehingga ruang gerak publik dalam mengawal pembahasan RUU dibatasi oleh aturan PSBB. Hampir tak ada advokasi, publik hanya diberi pilihan ruang advokasi lewat media sosial.
Terakhir, pasca-UUCK disahkan di Rapat Paripurna DPR 5 Oktober 2020 pun, masih terdapat masalah transparansi karena draf RUU yang disahkan tak diberikan ke anggota DPR yang hadir dan tak dibuka kepada publik. Ada beberapa versi tersebar, mulai dari versi 1.028 halaman, 905 halaman, 1.052 halaman, 1.035 halaman, 812 halaman, dan terakhir versi final yang disahkan Presiden Jokowi sebanyak 1187 halaman.
Selain itu putusan MK itu juga mengakhiri perdebatan mengenai keabsahan diadopsinya metode omnibus dalam pembentukan UU di Indonesia. Putusan ini mengamini bahwa omnibus law dapat diterapkan, tetapi perlu pengaturan teknis pembentukannya seperti apa sehingga putusan itu juga memerintahkan agar merevisi UU No 12/2011 dengan memasukan metode omnibus law.
Perbaikan ke depan
Waktu dua tahun yang diberikan MK untuk memperbaiki UUCK harus benar-benar dimanfaatkan para pembentuk UU agar tak terjatuh pada lubang yang sama. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah merevisi UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga jelas bahwa revisi UU No 12/2011 ini masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022.
Salah satu poin pertimbangan hukum di Putusan MK menyebutkan bahwa pembentuk UUCK yang menggunakan omnibus law tak berpedoman pada teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dalam UU No 12/2011, khususnya Lampiran II.
Ketidaksesuaian UUCK terhadap UU No 12/2011 terlihat dari penulisan judul, tata cara pencabutan UU, pencantuman ketentuan umum, asas, serta tujuan dalam UUCK, yang justru akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum, sebab di UU lama yang terdampak UUCK hal-hal itu masih dicantumkan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021).
Memasukkan metode omnibus ke dalam revisi UU No 12/ 2011 harus berdasarkan kajian akademis yang matang. Pembentuk UU dapat melakukan kajian perbandingan dengan negara-negara yang berhasil menerapkan metode ini, di antaranya AS, Irlandia dan Vietnam. Namun, tantangan yang harus dihadapi pembentuk UU adalah merumuskan metode omnibus law yang mudah dipahami berbagai kalangan, sebab berkaca dari metode omnibus yang diterapkan di UU CK, itu sulit dipahami masyarakat sehingga bisa memengaruhi kedayagunaan UU ini.
Langkah kedua yang harus ditempuh adalah menjunjung tinggi aspek keterbukaan dalam proses perbaikan UU CK, mulai dari naskah akademik dan draf RUU harus mudah diakses dan merupakan versi yang resmi. Pembentuk UU perlu membuka seluas-luasnya partisipasi publik yang substantif dan deliberatif mengingat kluster yang terdampak UUCK cukup banyak sehingga banyak pihak juga berkepentingan. Setiap aspirasi publik harus didengar, ditampung dan dipertimbangkan dengan baik, tak sekadar formalitas semata.
(Fahmi Ramadhan Firdaus,Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember)