Forum Infrastruktur Indo-Pasifik (IPIF) akan menjadi langkah strategis Indonesia untuk mengimplementasikan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP). Seni tegang-kendur diharapkan membantu IPIF mencapai inklusivitas.
Oleh
NALDO HELMYS
·5 menit baca
Kebaruan yang ditawarkan Indonesia pada Keketuaan ASEAN 2023 salah satunya adalah penyelenggaraan Forum Infrastruktur Indo-Pasifik (IPIF). Forum ini menghubungkan kepentingan nasional dengan kepentingan strategis konektivitas di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik. Meski telah diumumkan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Jepang, 27 Oktober 2021, kumandang IPIF belum menggema kuat.
Menurut rencananya, IPIF akan menjadi langkah strategis Indonesia untuk mengimplementasikan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP). Konsepsi AOIP diadopsi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-34 ASEAN di Bangkok, 23 Juni 2019 oleh Pemimpin ASEAN yang menyadari perubahan geopolitik dan geostrategis di Indo-Pasifik.
Asumsi yang timbul, AOIP dirancang untuk menyikapi rivalitas Amerika Serikat dan China di kawasan. Sekecil apapun pergerakan AS, Australia, Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Uni Eropa di kawasan, apalagi sampai menggelar latihan militer bersama atau pembentukan aliansi pertahanan, lumrah diterjemahkan sebagai strategi untuk menghadang pengaruh China yang terus meningkat. ASEAN seolah dituntut untuk berkiblat ke Washington atau Beijing. Di tengah kompetisi itulah, timbul pertanyaan ASEAN bisa apa, lalu AOIP jawabannya, dan IPIF bentuk konkretnya.
Apabila demikian, sekilas IPIF dimunculkan di tengah perlunya mengelola kawasan akibat tekanan eksternal. Akan tetapi, sudah sepenuhnya tepatkah asumsi demikian?
Kalau IPIF maupun program ASEAN lainnya, diterjemahkan sekadar strategi untuk mengimbangi manuver kekuatan dari luar, maka forum akan kehilangan arti. Bahkan, ASEAN sendiri dapat tertelan lumpur hisap kecurigaan yang membuatnya kehilangan momentum untuk jadi pemain utama di kawasan sendiri. Maka, fungsi Keketuaan Indonesia kali ini ialah untuk memastikan ASEAN tidak terseret begitu jauh pada kontestasi yang tidak konstruktif.
Tegang-kendur
Kiranya ada falsafah yang boleh dipinjam dari alam pikiran Minangkabau untuk menggambarkan bagaimana fleksibilitas IPIF seharusnya. Umpamanya, melalui IPIF, ASEAN sedang berusaha untuk melaksanakan seni tagang bajelo-jelo, kandua badantiang-dantiang (tegang mengalun, kendur berdenting). Falsafah ini juga mencirikan gerakan silat minang.
Terkandung dalam tagang bajelo-jelo ialah ketegangan yang bukan ditampakkan dengan sikap keras, melainkan gerakan kelembutan. Serangan lawan, entah pukulan atau tendangan, dapat dialihkan menjadi kekuatan bagi pesilat untuk menangkis, menyerang balik, atau bisa juga menetralkan serangan dengan cara meneruskannya ke sisi samping atau belakang yang kosong. Pilihan terakhir akan meminimalisir kerusakan pada sekitar.
Melalui IPIF, ASEAN sedang berusaha untuk melaksanakan seni tagang bajelo-jelo, kandua badantiang-dantiang (tegang mengalun, kendur berdenting.
Sementara kandua badantiang-dantiang, intinya ialah bergerak tampak kendur di hadapan lawan, tetapi dari kelembutan dan keindahan itu dapat lahir serangan yang berdenting keras melumpuhkan. Lawan berpikir si pesilat tengah menari, padahal setiap langkahnya mengarah pada posisi strategis yang siap menyentak dan mengentak kuat.
Pada momentum yang tepat, pesilat hadir di ruang dan waktu di mana perbedaan ketegangan dan kekenduran menjadi amat tipis untuk dapat melangkah, mencegah, atau mengarah dengan tepat. Pesilat lantas tidak ubahnya melodi indah yang menggema dari senar gitar. Sebab, senar yang disetel dengan tepat, sulit disebut tegang atau kendur, tidak kedua-duanya, atau malah kedua-duanya.
Demikian pula dengan dimensi IPIF. Forum itu mungkin adalah reaksi atas gaduhnya situasi di kawasan, tetapi pada saat yang sama juga merupakan aksi yang timbul dari dirinya sendiri untuk mewujudkan kompleks ASEAN yang aman, damai, dan sejahtera.
IPIF dan konektivitas ASEAN
Ada dua kluster rekomendasi strategi agar IPIF dapat dijalankan sebagai implementasi untuk membumikan AOIP melalui isu penguatan konektivitas. Bayangkan kedua strategi tersebut adalah dawai yang seperti perumpamaan Minang sebelumnya, ketika tegang harus tampak mengalun, tetapi ketika kendur mesti mampu berdenting keras. Tidak mudah, tetapi bukan utopia belaka pula.
Pertama, kluster pembiayaan dan perdagangan. Pada sektor pembiayaan, perlu dirumuskan kerangka kerja permodalan yang kuat bagi IPIF. Sejauh ini hambatan pembiayaan menghantui proyek-proyek ASEAN, baik dalam bentuk pengembalian investasi yang tidak lancar maupun terbatasnya ketersediaan modal.
Alternatifnya, kerangka permodalan dapat diupayakan dengan penguatan dan optimalisasi keranjang dana. Entah yang sudah ada seperti Dana Infrastruktur ASEAN dapat dioptimalkan, atau kiranya perlu untuk membentuk keranjang dana baru dengan melibatkan mitra, negara, atau penanam modal yang tertarik. IPIF dapat melirik mekanisme British International Investment atau mengintensifkan pendanaan dan transfer teknologi dari Jepang, misalnya.
Sektor perdagangan mesti turut diperhatikan terutama dalam hal masih terdapatnya hambatan non-tarif yang dapat mengganggu upaya konektivitas ASEAN dan Indo-Pasifik.
Berkelindan dengan itu, sektor perdagangan mesti turut diperhatikan terutama dalam hal masih terdapatnya hambatan non-tarif yang dapat mengganggu upaya konektivitas ASEAN dan Indo-Pasifik. Salah satu yang dapat didorong adalah liberalisasi jasa telekomunikasi. Efek berganda liberalisasi sektor ini akan dapat dilihat pada keterhubungan regional, penyerapan tenaga kerja, penurunan biaya telekomunikasi, serta penguatan ekonomi digital.
Tantangannya, hambatan jasa telekomunikasi di antara negara-negara ASEAN masih tinggi. Hal itu dapat dilihat dari Indeks Pembatasan Perdagangan Jasa (STRI) yang dirilis Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Khusus sektor jasa telekomunikasi, skor untuk beberapa negara ASEAN pada STRI 2022 adalah: Singapura (0,276), Thailand (0,382), Malaysia (0,407), Indonesia (0,639), dan Vietnam (0,716). Semakin mendekati ”1” artinya hambatan semakin tinggi. Terlebih pula, skor negara-negara ASEAN tersebut masih di atas 0,24 atau rata-rata OECD.
Kedua, kluster infrastruktur. Pada penyelenggaraan IPIF ke depan, BUMN penting dilibatkan dalam peninjauan proyek-proyek strategis yang sudah dilaksanakan sesuai rencana induk konektivitas ASEAN seperti proyek infrastruktur maritim yang menghubungkan General Santos-Bitung. BUMN juga perlu diikutsertakan dalam pemetaan proyek-proyek konektivitas Dumai-Malaka dan Belawan-Penang-Phuket yang juga potensial.
Tidak sampai di situ, konektivitas Indo-Pasifik melalui pembangunan infrastruktur juga terbuka dalam penyediaan energi baru terbarukan (EBT) intra-ASEAN. Potensi EBT Indonesia berupa tenaga air, panas bumi, hingga panel surya dapat didorong pemanfaatannya sehingga tidak saja mendukung ketahanan energi nasional, tetapi juga dapat membangun konektivitas di kawasan. Saat ini sudah terdapat proyek integrasi listrik di ASEAN dengan mengimpor tenaga air terbarukan dari Laos ke Singapura melalui Thailand dan Malaysia.
Sekilas, proyek IPIF tampak penuh tantangan baik yang timbul dari tataran global, regional, atau mungkin nasional. Akan tetapi, inisiatif ini juga tidak muluk-muluk untuk diseriusi. Seni tegang-kendur diharapkan membantu IPIF mencapai inklusivitas sehingga keberadaannya tidak sekadar ‘menjembatani’ kepentingan aktor-aktor besar di Indo-Pasifik, tetapi juga mencerminkan keinginan kuat untuk membangun konektivitas ASEAN itu sendiri.
ASEAN tidak perlu menggurita menjangkau banyak kepentingan eksternal, tetapi perlu punya banyak jurus-jurus tepisan tangan guna menghindari tabrakan kepentingan. Realisasinya adalah dengan penguatan inklusivitas yang tergambar dari sinergitas arah kebijakan IPIF dengan sejumlah konsepsi aktor-aktor di kawasan mengenai Indo-Pasifik, seperti Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (AS), Inisiatif Sabuk dan Jalan (China), atau Kebijakan Arah Selatan Baru (Korea Selatan).
Konsepsi pandangan mengenai Indo-Pasifik yang beragam tersebut, alih-alih ditelisik sebagai persaingan, dapat dipersepsikan sebagai terbukanya berbagai peluang. Bermanfaat atau tidak, bergantung pada seni mengelolanya.
Naldo Helmys, Diplomat Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri