Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023: Siap Petik di Masa Klimakterik
ASEAN kini berada pada fase klimakterik, ibarat buah-buahan berarti siap petik karena matang sempurna. Tantangan bagi Indonesia yang akan memegang keketuaan ASEAN untuk memetiknya sebelum layu atau busuk.
Dua agenda besar diplomasi Indonesia menanti pada November tahun ini. Pertama, Konferensi Tingkat Tinggi di Bali sebagai puncak presidensi Indonesia di G20. Kedua, serah terima keketuaan ASEAN dari Kamboja.
Cakupan agenda kedua bersifat regional, tetapi diyakini punya dampak langsung yang lebih kuat bagi Indonesia. ASEAN dan politik luar negeri Indonesia seolah tidak terpisahkan. Dengan pengalaman segudang di ASEAN, sebagai pendiri ataupun ketua, Indonesia sudah seharusnya meninggalkan jejak yang transformatif sekaligus langgeng.
Momentumnya mestilah sekarang. Kalau ASEAN diibaratkan organisasi yang tengah bertumbuh, ia berada pada fase klimakterik. Pada buah-buahan, ketika memasuki fase ini, berarti ia sudah siap petik karena matang sempurna. Jika tidak, tentu ia akan membusuk karena terlalu matang.
Baca Juga: ASEAN di Usia Ke-55 Tahun
ASEAN sudah matang pada 2017 ketika genap 50 tahun. Sayangnya, tanda-tanda pembusukan pun terlihat. ASEAN dinilai tidak berdaya mengatasi persoalan Myanmar, membiarkan demokrasi tumbang di depan mata.
Adapun Amerika Serikat (AS) dan China bermanuver saling berebut pengaruh di kawasan. Tensi di sekitar Taiwan, halaman depan ASEAN, juga meninggi beberapa waktu belakangan. Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia harus berani memetik ASEAN sebelum layu dan busuk.
ASEAN yang bertumbuh
Karakteristik tumbuhan pada filosofi ASEAN amat jelas. Prinsip nonkonfrontasi untuk mengatasi ragam persoalan serta tidak campur tangan atas urusan domestik negara-negara anggota amat dihargai. Ciri khas ini yang lazim dikenal Jalan ASEAN (ASEAN Way) bersifat non-agresif, seperti gerak tumbuhan yang terbatas karena terikat pada akarnya.
Tidak jarang karakteristik ASEAN yang demikian mendapat kritik serius terutama jika indikatornya adalah demokrasi dan hak asasi manusia standar Barat. Padahal, jika ditelisik, karakteristik tumbuhan pada ASEAN menjadi suatu keunggulan karena ia dapat tumbuh nyaris tak terbatas selama lingkungan mendukung. Sekarang, ASEAN yang sudah ’ditanam’ di Bangkok pada 8 Agustus 1967 itu tidak hanya tumbuh, tetapi juga berbuah.
Pertumbuhan itu patut diapresiasi. Sebab, ASEAN ditanam pada waktu kritis di tanah yang tidak menjanjikan. Tengok pendahulunya, Mafilindo, trilateral Malaysia, Filipina, Indonesia, maupun Asosiasi Asia Tenggara (ASA). Kedua organisasi itu hanya seumur jagung karena tidak punya tujuan spesifik dan orientasi jangka panjang.
Karakteristik tumbuhan pada ASEAN menjadi suatu keunggulan karena ia dapat tumbuh nyaris tak terbatas selama lingkungan mendukung.
Kemudian, kelima pendiri ASEAN juga punya potensi konflik yang tinggi, baik karena ketidakmampuan dalam mengatasi keberagaman etnis dan agama di dalam negeri maupun sebagai dampak laten batas teritorial warisan kolonial yang tidak sepenuhnya jelas. Belum lagi saat ASEAN didirikan, Perang Dingin tengah berkecamuk di Vietnam, lalu merembes ke Kamboja dan Laos. Senentara para pendiri ASEAN pun saat itu tengah menaruh curiga yang tinggi terhadap Republik Rakyat China (China) yang baru saja melancarkan Revolusi Kebudayaan (Severino, 2008).
Akan tetapi, dengan karakteristik tumbuhan yang dimiliki ASEAN, ia mampu bertahan, berekspansi, dan bertransformasi. Mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam Does ASEAN Matter? (2018) menyigi kunci sukses ASEAN ini karena organisasi ini telah mampu mengubah defisit kepercayaan di kawasan menjadi suatu keyakinan strategis.
Menurut Marty, perubahan tersebut tercapai karena adanya komitmen kuat di antara negara-negara anggota akan perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan. Lalu, adanya suatu pandangan inklusif organisasi bahwa tujuan-tujuan mereka hanya akan mampu dicapai apabila ada rasa kepemilikan dan partisipasi dalam proyek-proyek ASEAN.
Indonesia selama tiga kali keketuaannya, yaitu pada 1976, 2003, dan 2011, turut menyuburkan institusi ASEAN. Jejak yang ditinggalkan pun masih awet. Pada 1976, misalnya, Indonesia sukses menyelenggarakan KTT Ke-1 ASEAN di Bali.
Baca Juga: ASEAN untuk Siapa
Melampaui seremonial belaka, keketuaan Indonesia saat itu sukses menghasilkan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC) yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan kedaulatan, prinsip non-interferensi, dan upaya penyelesaian secara damai. Dengan adanya ikatan semacam itu, ASEAN memberikan jaminan bahwa kepentingan nasional dan regional tidak akan terbentur.
Kesinambungan keketuaan Indonesia dari tiga kesempatan sebelumnya tampak pada terbentuknya komitmen untuk mencapai Komunitas ASEAN. Cikal bakal komunitas ini ditumbuhkan pada keketuaan pertama Indonesia melalui Bali Concord I dengan sejumlah program di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, informasi, dan keamanan.
Lalu, pada keketuaan kedua tahun 2003, bidang kerja sama yang luas itu diformulasikan melalui Bali Concord II sehingga terbentuklah tiga pilar Komunitas ASEAN, yaitu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya. Terakhir, dalam keketuaan ketiga pada 2011, dibangun suatu pandangan optimistis untuk membawa Komunitas ASEAN ke panggung global. ASEAN bertransformasi dari biji menjadi buah sehingga menemukan arti pentingnya di level global.
Memetik buah matang
Ada tiga agenda yang akan diusung pada keketuaan Indonesia kali ini. Pertama, penguatan Komunitas ASEAN. Kedua, penguatan peranan ASEAN di tingkat kawasan dan global. Ketiga, pemanfaatan ASEAN bagi masyarakat. Ketiga agenda ini mesti dipahami di bawah visi untuk menjadikan ASEAN menjadi tangguh, adaptif, dan inklusif dengan prioritas untuk mencapai kestabilan politik dan keamanan kawasan.
Bagaimanapun, Indonesia mesti mampu menerjemahkan agenda-agenda tersebut menjadi sesuatu yang dapat memberi dampak signifikan sehingga langkah-langkah yang ditempuh akan menjadi jejak emas dalam sejarah ASEAN di masa depan.
Tak ada opsi lain bagi ASEAN selain bersikap tegas terhadap anggota yang tengah dikucilkan agar Naypyidaw kembali dapat dirangkul dengan nilai-nilai organisasi.
Mendahulukan yang pertama, demokrasi Myanmar mesti segera direstorasi. Tak ada opsi lain bagi ASEAN selain bersikap tegas terhadap anggota yang tengah dikucilkan agar Naypyidaw kembali dapat dirangkul dengan nilai-nilai organisasi. ASEAN dan Indonesia akan selalu menghormati prinsip tidak campur tangan terhadap masalah domestik, tetapi tidak ada larangan untuk menempuh langkah keperantaraan (intercession) melalui negosiasi yang gigih untuk menyuguhkan kepada junta Myanmar betapa menarik demokrasi.
Indeks Demokrasi Indonesia meningkat dari 6,30 pada 2020 menjadi 6,71 tahun 2021, sedangkan Myanmar anjlok dari 3,04 ke 1,02 untuk rentang waktu yang sama. Indonesia juga mampu mengolah potensi perpecahan, terutama akibat perbedaan sikap politik bangsa dalam dua pemilu sebelumnya serta meningkatnya ekstremisme beragama, menjadi persatuan melalui kepemimpinan nasional yang kuat, ideologi Pancasila yang kembali dihayati, serta perbedan yang diterima sebagai rahmat. Dengan segudang pengalaman ini, Indonesia dengan hati terbuka siap membantu Myanmar untuk pulang kembali pada persatuan apabila Naypyidaw bersedia menjulurkan tangannya yang kuat untuk bersama-sama membangun perdamaian.
Jejak kedua yang harus ditinggalkan Indonesia adalah menciptakan perdagangan intrakawasan yang seimbang. Pasar ASEAN tumbuh mencapai 2,3 triliun dollar AS dengan populasi mencapai 600 juta jiwa. Semua anggota terikat dengan perdagangan bebas bersama sejumlah negara mitra.
Baca Juga: Saatnya ”Merakyatkan” ASEAN
Selain itu, dua mitra dagang terbesar ASEAN, yaitu China dan AS, saat ini tampak serius membesarkan blok ekonomi baru: Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang diikuti China dan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) yang digagas AS. Indonesia bagian dari kedua blok tersebut dan sebagai ketua ASEAN turut bertugas agar pasar bebas tersebut tidak menjadi arena tarung pengaruh kedua kekuatan, tetapi mampu menumbuhkan perdagangan di kawasan, terutama intra-ASEAN.
Mengingat semakin kompleks dan tingginya konflik kepentingan negara-negara besar di kawasan, barangkali sudah saatnya Indonesia beranjak dari pembangun jembatan (bridge builder) menjadi pembangun simpang susun (interchange builder). Tujuannya supaya alur kepentingan itu lebih mulus, tidak macet, dan tidak bertabrakan.
Naldo Helmys, Diplomat Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri
IG: naldohelmys