Bagaimana masalah Myanmar diatasi rasanya cukup menentukan bagaimana ASEAN menghadapi isu yang lebih luas, yakni persaingan di antara dua kekuatan utama dunia yang kini bersaing.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Didirikan dalam situasi Perang Dingin dan pertarungan ideologi pada 1967, ASEAN kini menghadapi tantangan yang lebih kurang sama.
Tentu saja bukan lagi komunisme versus kapitalisme yang dihadapi ASEAN. Bukan pula perlombaan senjata nuklir di antara dua negara adidaya, seperti pada 55 tahun silam. Meskipun demikian, ada kesamaan situasi yang dihadapi ASEAN, yakni pertarungan dua kekuatan raksasa: pemilik ekonomi sekaligus empunya kekuatan militer besar di dunia.
Ancaman pecahnya perang terbuka, terutama di Asia Pasifik (tempat ASEAN berada), di antara dua kekuatan raksasa yang bersaing pun tak lebih kecil. Ketegangan di Selat Taiwan setelah Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi berkunjung ke Taipei menunjukkan konflik bersenjata dapat terjadi setiap saat jikalau kedua belah pihak yang bersaing tidak mampu menahan diri.
Di tengah situasi mutakhir itu, dalam rangka ulang tahun ke-55 ASEAN, perlu kita melihat kembali mengapa organisasi itu berdiri. ASEAN pertama-tama hadir guna mewujudkan kemakmuran bersama, lewat kerja sama dan penciptaan stabilitas. Apa yang diinginkan itu rasanya dapat dikatakan tercapai. Di antara anggota ASEAN tak terjadi konflik berlarut-larut yang mengganggu perdamaian dan stabilitas hingga menyebabkan pembangunan terhambat. Perdagangan, industri, dan jasa berkembang di Asia Tenggara.
Namun, pekerjaan tetap menanti ASEAN. Kondisi di Myanmar, salah satu anggota ASEAN, menguji organisasi kawasan itu untuk bertindak lebih tegas. Ada beberapa kalangan menilai komunike bersama para menteri luar negeri ASEAN, pekan lalu, cukup tegas karena menyuarakan kekecewaan terhadap Myanmar. Junta militer negara tersebut dinilai lambat dalam mewujudkan Lima Butir Konsensus yang dihasilkan tahun lalu oleh para pemimpin ASEAN sebagai respons atas kudeta pada Februari 2021.
Bahkan, ada keprihatinan yang mendalam karena junta menjalankan eksekusi terhadap empat aktivis. Myanmar pun diberi waktu hingga beberapa bulan ke depan. Setelah itu, kondisi akan dinilai kembali oleh para pemimpin ASEAN.
Di sisi lain, beberapa kalangan menilai komunike tak cukup tegas. Dilaporkan AP, keinginan sejumlah anggota ASEAN agar dikeluarkan pernyataan yang lebih keras terkait Myanmar tak dapat terwujud. Ada kompromi yang akhirnya diambil.
Bagaimana masalah Myanmar diatasi rasanya cukup menentukan bagaimana ASEAN menghadapi isu yang lebih luas, yakni persaingan di antara dua kekuatan utama dunia yang kini bersaing. Isu Myanmar tak ubahnya salah satu ujian bagi ASEAN dalam merumuskan sikap bersama yang tetap menghormati prinsip organisasi kawasan itu, tetapi menawarkan kemajuan serta solusi efektif.
Perjalanan 55 tahun ASEAN rasanya telah memberi bekal yang memadai untuk mengarungi lautan penuh tantangan di masa-masa mendatang.