Inflasi Tinggi, Temporer atau Permanen?
Menurut ahli lonjakan inflasi yang terjadi dewasa ini lebih bersifat permanen dan akan berlangsung dalam waktu jangka panjang. Apakah kecenderungan peningkatan inflasi global tersebut akan berlaku sama untuk Idonesia ?
Hampir semua orang sepakat, inflasi yang terjadi sekarang lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor dari sisi penawaran ketimbang sisi permintaan.
Yang menjadi perdebatan pada akhir 2021, saat akselerasi kenaikan harga mulai terjadi, adalah apakah kenaikan tingkat inflasi ini lebih bersifat temporer atau permanen?
Beberapa ekonom besar, seperti Profesor Paul Krugman dalam beberapa kolomnya di New York Times, pada awalnya berada di kubu yang sama dengan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menganggap inflasi yang terjadi dewasa ini bersifat temporer.
Dengan demikian, The Fed tak perlu menaikkan suku bunga karena kenaikan suku bunga dianggap akan menimbulkan mudarat lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya.
Di kubu lain, Profesor Larry Summers (2022)—mantan Menteri Keuangan AS era Presiden Bill Clinton dan Ketua Tim Penasihat Ekonomi Presiden Barack Obama—berada di kubu lain, menganggap inflasi ini bersifat permanen.
Summers mendorong The Fed segera menaikkan suku bunga agar titik keseimbangan inflasi jangka panjang tak terlalu tinggi dan proses penyesuaian menuju keseimbangan ini tidak memakan waktu yang terlalu lama dan tidak terlalu berat dirasakan masyarakat.
Faktor-faktor yang lebih fundamental dan struktural memacu akselerasi kenaikan harga secara global ini.
Sementara pemenang Nobel ekonomi, Profesor Michael Spence (2022), dan Profesor Nouriel Roubini (2022) dalam buku terbaru Megathreats; berpendapat lonjakan inflasi yang terjadi dewasa ini lebih bersifat sekuler (permanen) dan akan berlangsung dalam waktu jangka panjang. Faktor-faktor yang lebih fundamental dan struktural memacu akselerasi kenaikan harga secara global ini.
Keduanya mengingatkan kepada pengambil keputusan, termasuk di bank sentral, bahwa tanggapan kebijakan yang harus dilakukan akan berbeda dengan jika inflasi bersifat temporer.
Faktor-faktor fundamental
Apa saja faktor-faktor fundamental yang dapat meningkatkan dan mengurangi risiko peningkatan inflasi jangka panjang di masa mendatang?
Dari sisi positif, kita akan melihat teknologi, khususnya digitalisasi, akan terus mengurangi harga dan fluktuasi harga, baik untuk barang manufaktur maupun barang pangan dan pertanian. Digitalisasi akan menurunkan biaya transaksi dan berbagai ketidakpastian serta memungkinkan perusahaan meminimalkan biaya persediaan (inventory) dan bisa mengambil keputusan lebih tepat.
ilustrasi
Namun, baik Spence maupun Roubini menunjukkan sejumlah faktor yang lebih dominan mendorong inflasi jangka panjang. Selama beberapa dekade, harga barang-barang manufaktur mengalami penurunan akibat dari ekspansi industri manufaktur di China dan beberapa negara emerging markets (EM) lain yang memanfaatkan upah buruh murah.
Globalisasi yang menurunkan inflasi global sejak awal 1980-an dimungkinkan pula oleh penurunan biaya transportasi dan telekomunikasi secara persisten.
Tren ini sudah berhenti dan kecenderungannya akan berbalik karena beberapa hal. Pertama, transisi demografi di China—sebagian akibat kebijakan satu anak dan struktur penduduk yang makin tua (aging population)—mengakibatkan tambahan pasokan tenaga kerja di China berkurang dan memacu kenaikan upah secara signifikan.
Upah di China meningkat enam kali lipat dalam tujuh tahun terakhir. Kenaikan upah ini berakibat pada kenaikan harga barang manufaktur secara persisten di China. Sebagian industri manufaktur menyiasati kenaikan upah ini dengan memindahkan pabriknya ke negara lain yang upahnya masih rendah. Sebagian lagi melakukan otomatisasi dengan menggunakan robot.
Upah di China meningkat enam kali lipat dalam tujuh tahun terakhir.
Respons ini secara keseluruhan tetap tidak akan mengembalikan harga-harga barang manufaktur kembali seperti sediakala. Perubahan struktur penduduk yang makin tua ini tak hanya terjadi di China, tetapi telah terjadi di negara maju, seperti Jepang, AS, dan Eropa.
Di sejumlah negara EM pun, transisi demografi ini hampir mencapai puncaknya dan akan segera sampai pada tahapan di mana persentase penduduk produktif terhadap total penduduk mengalami penurunan. Transisi demografi semuanya akan mendorong peningkatan upah dan biaya yang pada saatnya akan meningkatkan tingkat harga umum.
Kedua, migrasi di negara maju yang sebelumnya mengisi kekurangan tenaga kerja juga mengalami hambatan sehubungan dengan meningkatnya sentimen anti-migran di negara maju. Faktor ini menyebabkan upah juga meningkat.
Faktor ketiga berkaitan dengan gejala deglobalisasi, proteksionisme dan kebijakan inward looking yang bertujuan untuk memproteksi pekerja dalam perusahaan lokal akan bersifat detrimental terhadap perekonomian. Harga barang impor akan meningkat, peningkatan produktivitas faktor total akan melambat, biaya produksi akan meningkat dan pada gilirannya akan menyebabkan dampak yang bersifat detrimental terhadap pertumbuhan ekonomi.
ilustrasi
Keempat, reshoring (relokasi industri manufaktur ke negara asal) mungkin akan mengamankan rantai pasok, tetapi memindahkan sentra produksi dari low-cost emerging economies seperti China ke ”negara yang bersahabat” akan menyebabkan biaya dan harga meningkat, begitu pula dengan fluktuasi harga.
Kompetisi intensif AS dan China juga sudah berubah menjadi perang dagang. Perang dagang yang diikuti restriksi perdagangan dan tarif dua arah akan diikuti pula dengan restriksi dalam teknologi, investasi, data, dan informasi. Perluasan restriksi akan menyebabkan biaya perkembangan produktivitas menjadi naik dan pada gilirannya akan meningkatkan harga dan fluktuasi harga (inflasi).
Guncangan geopolitik yang berasal dari perang dingin China dan sekutu efektifnya, seperti Rusia, Iran, dan Korea Utara, dengan negara-negara Barat akan mendorong kenaikan harga. Invasi Rusia ke Ukraina telah meningkatkan harga energi dan pangan serta inflasi dunia.
Eskalasi masalah geopolitik ini dapat terjadi dengan munculnya sumber ketegangan baru, seperti antara China-Taiwan (mendorong campur tangan AS); Iran-Israel dan negara-negara Timur Tengah lainnya; serta Korea Utara versus Korea Selatan dan Jepang (lagi-lagi akan mendorong campur tangan AS).
Kompetisi intensif AS dan China juga sudah berubah menjadi perang dagang.
Semua ini akan meningkatkan ketidakpastian sebagian besar negara yang terlibat dalam potensi konflik yang merupakan pabrik manufaktur dunia, produsen pangan dunia dan/atau sumber energi dunia. Akibatnya, harga cenderung naik, begitu pula dengan fluktuasinya.
Tren perubahan iklim global juga berpotensi meningkatkan harga dan fluktuasi harga lewat beberapa cara.
Pertama, ketidakpastian iklim akan mengancam produksi pertanian dan peternakan. Kekeringan telah melanda beberapa bagian dunia, seperti Afrika Utara dan sebagian wilayah AS. Akibatnya, terjadi lonjakan harga pangan dan fluktuasi harga diperkirakan meningkat frekuensinya di masa mendatang.
Kedua, tren ke arah dekarbonisasi akan menyebabkan rendahnya investasi (underinvestment) di kegiatan ekstraksi fosil, tanpa diikuti pertambahan yang cukup dalam hal pasokan energi hijau. Harga energi akan meningkat dan berfluktuasi, sepanjang ketidakpastian ini terus berlangsung. Langkah untuk menutupi kesenjangan ini dalam 10 tahun mendatang tak mudah direalisasikan.
Ketiga, bencana alam yang makin sering terjadi di semua belahan dunia akan menginterupsi pasokan dan produksi barang-barang vital. Banyak pabrik terpaksa berhenti berproduksi ketika cuaca ekstrem, seperti banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan, terjadi.
Pandemi yang bersifat global, seperti Covid-19, diperkirakan akan semakin sering terjadi dan dampaknya tidak dapat diperkirakan. Kehidupan manusia yang dekat dengan satwa yang membawa patogen (karena ekosistem satwa rusak akibat perubahan iklim), lelehnya tanah beku abadi (permafrost) di Siberia, berkembang biaknya bakteri dan virus, bisa menyebabkan pandemi jadi hal rutin.
Rantai pasokan akan tergantung pada manusia yang sehat yang menyediakan barang dan jasa. Setiap gangguan yang terjadi (slowdown/breakdown) akan merusak tahapan produksi, terutama saat inventori tergantung pada proses yang sifatnya tepat waktu (just-in-time). Seperti saat pandemi, banyak negara cenderung menghentikan ekspor dan berusaha mencapai swasembada barang farmasi, pangan dan barang pertanian, walau harus dibayar sangat mahal.
Baca juga : Komoditas Impor Berpotensi Dorong Inflasi Tahun Ini
Baca juga : Harga Pangan Dunia 2023 Diperkirakan Meningkat
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan telah mendorong pendulum regulasi atau legislasi ke arah pro-labor (pro-buruh), pro-wage (pro-upah), atau pro-union (pro-serikat pekerja) dan kebijakan fiskal yang bisa ”memukul balik” seperti yang terjadi pada 1970-an.
Kebijakan stimulus fiskal yang bertujuan memproteksi pekerja dan penganggur akan mengakselerasi kenaikan upah yang ujungnya akan berdampak pada kenaikan inflasi dalam bentuk spiral upah-harga (wage-price spiral).
Peningkatan frekuensi serangan siber (cyber attack) juga akan mendisrupsi rantai pasokan. Infrastruktur vital, seperti jaringan listrik, akan memengaruhi keamanan pasokan listrik dan energi serta infrastruktur keuangan. Investasi di bidang keamanan siber (cybersecurity) akan memakan dana yang besar dan membuat biaya produksi meningkat.
Langkah weaponization dollar AS yang digunakan untuk menghukum negara lawan, seperti dilancarkan kepada Rusia menyusul invasi ke Ukraina, akan mengurangi peran dollar AS sebagai mata uang utama global, baik sebagai alat pertukaran maupun cadangan devisa bank sentral negara-negara di dunia.
Penggunaan mata uang alternatif akan menyebabkan fragmentasi dan disrupsi dalam perdagangan dan investasi global untuk sementara (AMRO, 2019). Disrupsi ini menimbulkan ketakpastian yang pada gilirannya akan meningkatkan harga dan fluktuasi harga (inflasi).
Implikasi untuk Indonesia
Apakah kecenderungan peningkatan inflasi global tersebut akan berlaku sama untuk Indonesia?
Indonesia berbeda dengan kondisi di negara maju atau China dalam beberapa hal. Pertama, Indonesia menikmati periode bonus demografi (demographic dividend) hingga 2036. Periode penduduk tua (aging population) akan terjadi secara bertahap di beberapa provinsi.
Pada 2045 persentase penduduk tua pun baru 15 persen. Gambaran ini memungkinkan dampak spiral upah-harga terhadap inflasi bisa dihindari dalam beberapa tahun mendatang.
Kedua, posisi netral Indonesia memungkinkan Indonesia untuk ”friend sharing” (berbagi teman) di kedua sisi sehingga ekspansi kapasitas perekonomian masih bisa terjadi.
Ketiga, pembangunan infrastruktur yang dilakukan 10 tahun terakhir ini memungkinkan interkoneksi antardaerah makin lancar dan memungkinkan biaya transportasi menurun.
Indonesia berbeda dengan kondisi di negara maju atau China dalam beberapa hal.
Penurunan biaya transportasi ini dapat berlangsung lebih lama jika perbaikan manajemen tarif pada infrastruktur, seperti pelabuhan dan pergudangan, dapat diwujudkan sehingga dapat menekan biaya logistik.
Keempat, sepanjang Indonesia tetap tidak menerapkan kebijakan proteksionisme dan inward looking dalam perdagangan dan investasi, pertumbuhan total produktivitas akan bisa diakselerasikan melalui penerapan teknologi terkini dan terbaru.
Keempat faktor ini diperkirakan akan dapat mengompensasi pengaruh perubahan iklim yang hampir dipastikan akan dialami pula oleh Indonesia.
Sepanjang pemerintah bisa merealisasikan komitmen ekonomi terbuka, saya yakin ekspektasi inflasi pelaku ekonomi di Indonesia akan turun dan rendah. Dengan demikian, tingkat inflasi jangka panjang Indonesia masih bisa dipertahankan di 2-4 persen hingga 10 tahun mendatang.
Mohamad IkhsanGuru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia