Dunia belum bisa keluar dari tekanan krisis pangan karena perkiraan harga makanan masih akan meningkat. Kenaikan harga pangan ini juga dirasakan di negara-negara maju.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
ROMA, JUMAT – Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau FAO mengeluarkan indeks pangan dunia. Perkiraannya, harga pangan global pada tahun 2023 masih akan terus meningkat, setidaknya untuk setengah tahun pertama. Krisis energi dan hambatan rantai pasok menjadi penyebab paling berpengaruh atas inflasi ini.
Laporan dikeluarkan oleh FAO secara daring di kantor utama mereka di Roma, Italia, Jumat (6/1/2023). Mereka membagi-bagi pangan menjadi lima kategori, yaitu daging, susu beserta produk turunannya, gandum beserta biji-bijian, minyak goreng, dan gula. FAO mencatat, harga pangan dunia tahun 2022 naik 14,3 persen dibandingkan tahun 2021.
FAO menjelaskan, di pertengahan tahun 2022 kenaikan harga drastis akibat pengaruh perang Rusia dengan Ukraina. Konflik ini menjadi penyebab krisis energi di Eropa dan krisis pangan di negara-negara Afrika serta sejumlah negara di Asia. Apalagi, keran ekspor gandum, pupuk, dan minyak biji bunga matahari dari Rusia dan Ukraina sempat terhenti karena jalur Laut Hitam ditutup.
PBB dan Turki berusaha melobi dan menjembatani permasalahan ini sehingga menjelang akhir tahun 2022 ekspor gandum dan pupuk kembali berjalan. Berkat terbukanya keran ekspor ini, harga minyak goreng, gandum, dan beberapa jenis daging menurun. Akan tetapi, harga gula dan susu beserta produk turunannya, antara lain mentega, naik.
”Di tengah inflasi ini, sungguh penting kesadaran setiap negara untuk memastikan keamanan dan ketahanan pangan global. Kita harus saling membantu memenuhi kebutuhan pangan sesama, terutama jenis-jenis bahan makanan pokok,” kata Ekonom Utama FAO Maximo Torero, dikutip oleh surat kabar TheWall Street Journal.
Kenaikan harga pangan ini juga dirasakan di negara-negara maju. Departemen Pertanian Amerika Serikat melaporkan, sepanjang tahun 2022 harga telur ayam meningkat 30 persen, daging ayam potong 15 persen, sayuran 6-7,5 persen, dan buah-buahan 8 persen.
Media CNET melaporkan, sejumlah daerah di AS berusaha membantu masyarakat kecil dengan mengembangkan kulkas komunitas. Ini adalah kulkas yang diletakkan di tempat-tempat publik dan bisa diakses bebas oleh warga. Mereka bisa melakukan barter makanan dengan cara mengambil makanan atau minuman yang mereka butuhkan dari kulkas, tetapi juga memberi makanan berlebih yang mereka miliki.
Beberapa daerah yang menerapkan sistem ini adalah di Bronx, New York dan Boston, Massachusetts. ”Dulu, kulkas komunitas ini fokus untuk melayani warga termiskin di daerah sekitar. Akan tetapi, sekarang permintaannya meningkat drastis dan kami sendiri kesulitan memenuhinya karena harga makanan mahal sekali,” kata Jamie Siracusa, pengelola kulkas komunitas di Brookline, salah satu wilayah di kota Boston.
Konsorsium Retail Inggris (BRC), dilansir oleh BBC, melaporkan bahwa harga pangan di Inggris tahun 2022 naik 13,3 persen dari tahun 2021. Ini harga termahal sejak tahun 2005. Faktor penentu kenaikan ini ialah mahalnya harga pakan ternak, pupuk, dan energi.
Ketua BRC Helen Dickson menjelaskan, contoh yang paling kentara ialah belanja Natal 2022. Masyarakat menerapkan prinsip memilah dan memilih. Ada sejumlah hidangan Natal yang dikorbankan. Daging dan kue-kue tetap menjadi prioritas karena secara tradisi merupakan hidangan khas hari raya. Akan tetapi, sayur dan buah mengalami penurunan pembelian hingga 48 persen.
Di Kanada, harga makanan pokok rata-rata naik 10,3 persen. Faktor penyebabnya ialah mahalnya biaya memproses makanan. Sebagai negara empat musim dengan musim dingin yang ekstrem, Kanada tidak bisa bergantung pada bahan-bahan segar. Buah, sayur, daging, dan susu harus diproses menjadi makanan kalengan ataupun makanan beku.
Belum terlihat tanda-tanda penurunan harga. Bahkan, sampai dengan Juli 2023 perkiraannya harga akan naik 5-7 persen jika suplai pangan global tidak menguat.
Kepada media CTV, pakar distribusi pangan Universitas Dalhousie, Sylvain Charlebois, memaparkan, biaya mengolah makanan ini naik akibat krisis energi. Pengaruhnya merembet hingga ke biaya distribusi, transportasi, dan pergudangan. Akibatnya, satu keluarga beranggotakan empat orang di Kanada rata-rata harus mengeluarkan biaya 1.000 dollar Kanada (Rp 11,4 juta) lebih banyak di tahun 2022 untuk belanja makanan.
”Belum terlihat tanda-tanda penurunan harga. Bahkan, sampai dengan Juli 2023 perkiraannya harga akan naik 5-7 persen jika suplai pangan global tidak menguat,” tutur Charlebois.
Di Asia, Jepang melalui Teikoku Databank yang dikutip oleh harian Japan Times memperkirakan per Februari 2023 ada 12.000 jenis makanan dan minuman yang naik harga. Jumlah produk pangan yang berisiko semakin mahal ini meningkat 60 persen dari daftar tahun 2021. Bahkan, jenis-jenisnya mencakup ikan beku dan sake yang merupakan konsumsi sehari-hari masyarakat Jepang. (Reuters)