Paus Benediktus XVI ”Auf Wiedersehen”
Semasa hidup, Paus Benediktus XVI mengingatkan umat manusia untuk mengelola alam semesta sebagai kebun Sang Pencipta sehingga setiap manusia menghormati dan menghargai alam semesta dengan semestinya.
Rencana Paus Emeritus Benediktus XVI untuk ”hidup tersembunyi” setelah mengundurkan diri (11/2/2013) akhirnya terpenuhi pada 31 Desember 2022 pukul 09.34 di Biara Mater Ecclesiae Vatikan. Kendati karyawan kebun anggur yang rendah hati itu telah tiada, buah-buah pemikiran yang cerdas dan cemerlang tetap mencerahi situasi dunia dewasa ini.
Paus milineal dengan dua sisi sorotan
Jaringan telepon genggam di lapangan St Petrus Roma terhenti kala terdengar seruan ”Habemus Papam” (Kita mempunyai Paus). Setelah lima abad, seorang putra Jerman, Joseph Ratzinger, terpilih sebagai Paus, dan memilih nama Benediktus XVI pada 19 April 2005.
Pada malam yang sama, buku-buku Ratzinger meraih empat urutan pertama dari deretan judul buku tertop Amazon. Editor harian-harian dunia menempatkan berita tentang Paus Benediktus XVI pada halaman-halaman terdepan. ”Seorang Jerman terpilih sebagai Paus?”, ”Seorang Paus yang berasal dari negara Reformasi yang memecah Gereja, dan Holocaust, sedang menduduki kursi seorang nelayan?”, ”Seorang ilmuwan besar sebagai Wakil Kristus?”.
Baca juga: Kehilangan Besar Umat Katolik, Paus Emeritus Benediktus XVI Meninggal
Pemilihan Paus pertama dalam Milenium III ini mengundang sorotan dari dua sisi berbeda (Seewald, 2021). Pertama, tanggapan positif muncul dari insan pers dan tokoh agama Katolik. Seorang kolumnis Spectator dan editor Daily Telegraph, Charles Moore, berkomentar bahwa pemilihan seorang Paus berkebangsaan Jerman memacu penyesalan Jerman dalam perjalanan sejarah mereka dan merajut perbaikan citra Jerman di tengah-tengah dunia.
Paus Benediktus XVI terkenal terutama karena kesantunannya, keinginannya untuk mengetahui pikiran-pikiran baru, dan keterbukaannya yang ramah dan bahkan terkadang ”cerewet” untuk menanggapi setiap pertanyaan. Dari satu sisi dia bahagia, tetapi dari sisi lain dia dicengkam oleh kesedihan tentang keadaan dunia sekarang.
Lalu, Jean-Marie Lustiger, Uskup Paris, menafsirkan pemilihan Kardinal Ratzinger sebagai pemulihan kembali dan ”tanda penyelenggaraan ilahi” bagi Jerman dan gereja di Jerman yang pernah kehilangan banyak anggota gereja dalam kamp konsentrasi selama Perang Dunia II (Dachau, Auschwitz, Mauthausen, Buchenwald, Neuengamme, Ravensbrueck).
Sementara itu, Uskup Agung Jean-Pierre Ricard, Ketua Konferensi Uskup Perancis, memandang Paus Benediktus XVI sebagai seorang sahabat Perancis yang fasih berbahasa ”Molière”.
Paus Benediktus XVI terkenal terutama karena kesantunannya, keinginannya untuk mengetahui pikiran-pikiran baru, dan keterbukaannya yang ramah dan bahkan terkadang ”cerewet” untuk menanggapi setiap pertanyaan.
Kedua, tanggapan negatif muncul dari mereka yang mengkritisi rekam jejak dan sikap Ratzinger sebelum terpilih sebagai Paus. Ini tampak dari tanggapan yang muncul dari sayap kiri Liberation. Tulisan yang berjudul ”Seorang Paus yang Menoleh ke Belakang” dalam sebuah media massa di Inggris mengecap Paus Benediktus XVI dalam bahasa Jerman sebagai ”Kardinal Panzer”.
Lalu, Le Figaro menganggap konservatisme Paus Benediktus XVI yang sulit dipahami. Banyak pengamat membandingkannya dengan Paus Yohanes Paulus II. Harian Tageszeitung, Tagesspiegel, Berliner Zeitung, dan Der Spiegel menurunkan tanggapan pedas terhadap Paus Benediktus XVI.
Terlepas dari tanggapan dan kritik oleh Eropa Barat, Paus Benediktus XVI tetap dipuji oleh belahan dunia lain. Tentu, untaian spekulasi prematur tentang Paus Benediktus XVI tidak bisa dilontarkan begitu saja tanpa melihat kebijakannya sebagai pemimpin baru dalam Gereja Katolik Roma.
Seruan moral Paus Benediktus XVI
Penampilannya yang berbudi bahasa halus dan berpikiran cerdas dan jernih menarik perhatian dunia. Dia hadir lewat untaian kata-kata yang berbobot dan mendalam. Keteraturan sangat menonjol dalam pribadinya.
Pertama kali dalam sejarah bahwa ensiklik seorang Paus dibeli jutaan orang, sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan. Edisi pertama dalam bahasa Latin di Italia harus dicetak ulang hingga 450.000 eksemplar. Tulisannya menjangkau semua lapisan masyarakat, baik dari kalangan cendekiawan maupun kaum beriman yang sederhana.
Setiap Minggu dan Rabu, 60.000 umat ingin menjumpainya di Lapangan St Petrus. Bahkan pada awal Mei, jumlah pengunjung mencapai 100.000 orang berkumpul untuk mendoakan ”Regina Coeli”.
Baca juga: Obituari Paus Emeritus Benediktus XVI: ”Saya Hanyalah Seorang Peziarah”
Dalam tahun pertama kepausannya, dia menghimpun sekitar empat juta umat di sekelilingnya. Melalui momentum magis ini, Sri Paus menyampaikan seruan moral kepada kaum muda supaya mereka memiliki “sikap pengharapan yang tak kenal putus asa”.
Dalam semangat ekumenis dia muncul sebagai Sri Paus yang menegaskan bahwa Gereja Katolik dipanggil untuk mewujudkan toleransi, sikap hormat, persahabatan, dan damai antarbangsa, kebudayaan-kebudayaan, dan agama-agama. Tak heran sebagai Paus pertama yang mengunjungi sinagoga di Jerman, dia menyerukan Shalom alechem (Damai kiranya menyertaimu).
Ibarat seorang kakek yang mendongeng, Sri Paus melukiskan hidup manusia sebagai pencarian ”bintang kebijaksanaan”. Setelah itu, manusia mengalami perubahan dan perbaikan batin yang tak terlukiskan.
Pesan moral Paus Benediktus XVI menjunjung moralitas normatif yang membela norma-norma moral absolut dalam kaitannya dengan keluhuran martabat manusia. Tak pelak lagi kalau pendekatan moral situasional yang mendewakan relativisme ditolak.
Pesan moral Paus Benediktus XVI menjunjung moralitas normatif yang membela norma-norma moral absolut dalam kaitannya dengan keluhuran martabat manusia.
Soalnya, relativisme membuka peluang lebar bagi manusia untuk menggeser peran kaidah-kaidah moral dalam hidup karena manusia dicengkam oleh akuisme dan kepentingan-kepentingan terselubung. Seseorang membiarkan diri terombang-ambing dan mengikuti tiupan angin yang arahnya tidak tentu-rudu. Pandangan hidup kehilangan pegangan. Nilai-nilai yang tersirat dalam norma-norma moral atau etis tidak mendapat tempat dalam hidup seorang penganut paham relativisme.
Nilai-nilai dasar kemanusiaan menjadi titik tolak dan orientasi dalam menganalisis gejala-gejala yang sedang melanda manusia, seperti euthanasia, perkawinan, dan seksualitas. Dia memotret manusia dalam dimensi kerohanian.
Diskursus tentang manusia dan problematikanya tak terlepas dari kehadiran Sang Pencipta. Kerukunan dan damai dalam persaudaraan menjadi sebuah usaha bersama dalam membangun dunia sebagai rumah bersama. Pelayanan dalam bidang rekonsiliasi dan harmoni antarumat manusia dalam mewujudkan perdamaian adalah tugas utamanya (27/4/2005).
Sumbangan pemikiran
Paus Benediktus XVI mengemukakan pandangan tentang humanisme dalam Milenium III. Kesatuan dengan cinta Allah menjadi jantung ciptaan dan sejarah keselamatan sebagai landasan humanisme dan visi ekologis fransiskan tentang cinta kasih terhadap ciptaan yang terungkap dalam ”Kidung Mentari”.
Dewasa ini diperlukan keseimbangan antara iman akan Sang Pencipta dan saling ketergantungan antarmakhluk ciptaan. Humanisme monastik dapat menolong manusia untuk mengembangkan humanisme dalam milenium baru (Guerriero, 2018).
Kepedulian Paus Benediktus XVI tentang lingkungan hidup dituangkan dalam tiga dokumen penting, yaitu (1) Creator Spiritus (3/6/2006); (2) Caritas in veritate (7/7/2009); dan (3) Hari Damai Dunia 2010. Ketiga dokumen itu menekankan bahwa masalah ekologis sangat mendesak dan kurang diperhatikan umat manusia.
Dia mendukung ekologi yang berkelanjutan, pendekatan kosmik penuh kebajikan, dan bukan sekadar menggarap alam sebagai tempat tinggal dan rumah manusia.
Dia mengoreksi tinjauan alkitabiah yang keliru tentang Genesis terkait dengan posisi manusia dalam penciptaan. Manusia tidak diperkenankan untuk berperan sebagai penguasa yang dapat sewenang-wenang menyikapi dan mengelola kandungan alam semesta tanpa menghormati dan menjunjung martabat makhluk ciptaan.
Penghancuran sumber alam tanpa tanggung jawab dikritik tajam. Dia mendukung ekologi yang berkelanjutan, pendekatan kosmik penuh kebajikan, dan bukan sekadar menggarap alam sebagai tempat tinggal dan rumah manusia.
Dia mengingatkan umat manusia untuk mengelola alam semesta sebagai kebun Sang Pencipta sehingga setiap manusia menghormati dan menghargai alam semesta dengan semestinya. Sikap mencintai alam termasuk perilaku hakiki setiap manusia. Ini tampak dari pengelolaan dunia pertanian dengan rasa penuh hormat. Manusia tidak boleh dengan sembarangan mengelola alam.
Fransiskus dari Assisi (1181/2-1226), seorang pentobat asal Italia Tengah, yang memiliki hubungan mistik dengan anasir-anasir alam, seperti bumi, air, matahari, hewan, dan tetumbuhan. Namun, dewasa ini keadaan berubah. Kesombongan dan kotoran manusia telah menumpuk di Bumi sehingga manusia sulit melihat keindahan yang dihasilkan oleh Roh Pencipta.
Baca juga: Penghormatan Terakhir untuk Sang Pelayan di Ladang Tuhan
Sikap mengasihi yang berada di bawah ciptaan dan keindahan dunia menuntun manusia untuk melindungi alam semesta dan menghargai sumber-sumber alam sebagai warisan leluhur. Dalam Simposium VI tentang Agama, Ilmu, dan Lingkungan (13-20/7/2006) di Brasil yang disponsori oleh Gereja Ortodoks, dengan judul ”Sungai Rio dari Amazon, Sumber Hidup”, Paus Benediktus XVI mengutus Roger Kardinal Etchegaray untuk menyampaikan pesan kepada Patriarkh Bartolomeus I bahwa kawasan yang begitu luas sebagai sumber harmoni dan kelimpahan yang dapat diibaratkan dengan sebuah buku terbuka yang lembaran-lembarannya menyingkapkan misteri hidup.
Baik sebagai individu maupun komunitas, para pemimpin nasional dipanggil untuk menyadari pentingnya keputusan-keputusan untuk melindungi lingkungan. Jika manusia sungguh mempromosikan perdamaian, manusia akan melindungi dan merawat lingkungan hidup. Perbenturan-perbenturan sosial akan muncul kala manusia mulai merusak lingkungan hidup dan saling merebut kekayaan alam. Dunia sungguh ingin damai? Hormati dan lindungilah alam semesta!
Paus Benediktus XVI, Auf Wiedersehen! Paus Benediktus XVI, sampai jumpa lagi!
William Chang, Rektor Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus dan Guru Besar Etika Sosial di Universitas Widya Dharma Pontianak