Jeda Kemanusiaan di Papua
Konflik di Papua terus berlangsung. Upaya melakukan jeda kemanusiaan telah dilakukan oleh Komnas HAM, United Liberation Movement for Papua, dan Majelis Rakyat Papua. Apakah jeda kemanusiaan efektif membangun perdamaian ?
Sebuah ikhtiar damai dengan bungkusan kemanusiaan telah dirajut pada 11 November 2022 di Swiss.
Tiga pihak, Komnas HAM, United Liberation Movement for Papua, dan Majelis Rakyat Papua (MRP), telah menandatangani sebuah naskah yang diberi nama ”jeda kemanusiaan”. Tujuannya, menyediakan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Papua, menyiapkan kepastian tentang hak-hak dasar para tahanan dan narapidana.
Tujuan utama semua ini adalah untuk merambah jalan damai di Papua. Sebuah keinginan yang sangat luhur kendati pelik untuk mewujudkannya.
Maklum, di tanah Papua hingga kini kekerasan seolah enggan pergi. Kekerasan demi kekerasan telah menelan korban nyawa begitu banyak. Kekerasan yang merobek-robek keharmonisan hidup dan dengan tegas membuat garis demarkasi antara ”kami” di satu pihak dan ”kalian” di pihak lain.
Baca juga : Selesaikan Akar Masalah Papua
Baca juga : Papua dan Pembangunan
Kekerasan tersebut memperhadapkan antara Pemerintah Indonesia dan sekelompok orang yang ingin memisahkan diri dari pangkuan Republik Indonesia. Bara konflik ini sudah terlampau lama berlangsung.
Lalu, kita pun bertanya, apakah yang hadir di Swiss dan membubuhkan tanda tangan itu pihak-pihak yang bertikai? Apabila mereka bukan pihak yang berperang, ikhtiar yang dilakukan di Swiss itu hanyalah ikhtiar yang surplus dengan imbauan moral belaka. Perwujudan dari keinginan luhur masih terlampau jauh dari harapan.
Khusus Komnas HAM, lembaga ini memang organ negara, tetapi apakah lembaga ini telah memperoleh mandat dari Pemerintah Indonesia yang menjadi pihak dalam konflik bersenjata dengan kelompok orang yang melawan pemerintah itu?
Apabila ia memperoleh mandat, ini isyarat jelas bahwa pemerintah memang memiliki keinginan serius untuk merambah jalan bagi terwujudnya perdamaian di Papua. Tentu jalan pikiran pemerintah menggunakan Komnas HAM adalah testing the water. Kalau gagal, itu adalah misi Komnas HAM.
Pengalaman dari Aceh
Tatkala Aceh masih digelayuti awan kelabu lantaran konflik kekerasan, Presiden Abdurrahman Wahid mengambil langkah spektakuler, jeda kemanusiaan, pada 12 Mei 2000. Gencatan senjata dimaklumatkan ketika itu. Namun, kurang dari setahun, jeda kemanusiaan itu diakhiri pada 16 Januari 2001.
Selama masa jeda kemanusiaan berlangsung, justru pada saat itulah nilai-nilai kemanusiaan kian termarjinalkan. Angka penculikan kian naik, termasuk penculikan hakim. Pengungsi kian membanjir. Pemerintahan kian lumpuh. Kekerasan kian merebak.
Singkat kata, jeda kemanusiaan sangat tak efektif. Gagal mencapai tujuan. Semua itu terjadi karena, selama masa jeda kemanusiaan berlangsung, pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) justru kian efektif membangun otot kekuatan bersenjata.
Penyelundupan senjata kian masif. Mobilisasi pasukan penggempur kian sulit dikontrol. Keleluasaan bergerak kian longgar. Pasokan logistik ke pasukan mereka kian lancar. Jeda kemanusiaan dimanfaatkan betul sebagai momen paling efektif menggempur pasukan pemerintah.
Selama masa jeda kemanusiaan berlangsung, justru pada saat itulah nilai-nilai kemanusiaan kian termarjinalkan.
Pengalaman traumatis itulah yang jadi dasar mengapa di perundingan damai Aceh di Helsinki tahun 2005 ide dan tuntutan jeda kemanusiaan atau ceasefire sebagai prasyarat dimulai atau dilanjutkannya perundingan sama sekali ditepikan. Sebagai Wakil Presiden RI ketika itu, Jusuf Kalla (JK) tegas menolak ide dan prasyarat itu.
Penolakan JK dibungkus dengan retorika yang sangat menawan: jeda kemanusiaan ataukah gencatan senjata itu hanya sebuah tahapan untuk memasuki meja perundingan.
Buat apa lagi membuat tahapan lain, sementara kita sudah memasuki tahapan perundingan damai, katanya. Jeda kemanusiaan, ceasefire, atau apa pun istilah yang dipakai semuanya hanyalah jembatan untuk duduk berunding mencapai perdamaian. Perundingan Aceh tidak lagi berbicara tentang proses dan tahapan, tetapi sudah langsung berbicara substansi, kata JK ketika itu.
Prinsip itulah yang menjadi pegangan kami sebagai perunding, mewakili pemerintah. Bagaimana dengan posisi GAM yang menuntut ceasefire sebagai prasyarat untuk melanjutkan perundingan? Kami temukan sebuah formula yang sangat jitu menjembatani kepentingan dua pihak yang berbeda, yaitu self-restraint (membatasi diri).
Maknanya adalah, selama perundingan berlangsung, kedua belah pihak, Pemerintah RI dan GAM, harus mengontrol atau membatasi diri untuk tak menggunakan kekerasan karena penggunaan kekerasan akan memengaruhi jalannya perundingan damai, di mana damai itu jadi tujuan kedua pihak.
Formula tersebut ternyata sangat efektif. Tak ada yang kehilangan muka dan perundingan berlanjut hingga mencapai titik temu, yang selanjutnya melahirkan perdamaian. Aceh pun kini sungguh-sungguh menjadi darussalam (pondok kedamaian).
Inisiatif pemerintah
Bagaimana kelanjutan ikhtiar perdamaian di Papua? Dalam konflik domestik yang bersifat vertikal di mana pun, termasuk di Aceh, pemerintah memang seharusnya selalu mengambil inisiatif untuk memulai mencari jalan mewujudkan perdamaian.
Kami temukan sebuah formula yang sangat jitu menjembatani kepentingan dua pihak yang berbeda, yaitu self-restraint (membatasi diri).
Tentu sebagian orang menganggap mengambil inisiatif berarti pemerintah mengalah kepada kelompok perlawanan. Mengambil inisiatif justru ingin memenangi pertempuran, yakni mewujudkan perdamaian. Ujung sebuah perang adalah damai. Perspektif ini sebaiknya pemerintah pegang menyikapi Papua. Ego harus disisihkan.
Beberapa bulan lalu, JK dan penulis banyak didatangi orang yang ingin mengambil inisiatif untuk mewujudkan damai di Papua. Kami sudah memiliki hubungan dengan pihak-pihak yang mengangkat senjata melawan pemerintah di Papua. Mereka berada di luar negeri. Penulis pun siap menemui mereka. Kendalanya hanya satu, bagaimana dengan pemerintah?
JK tak mau bergerak sebelum dapat restu Presiden Joko Widodo karena pemerintah adalah pihak dalam konflik ini. JK datang menemui Presiden dan memaparkan rencana itu. Hingga kini, jawaban Presiden belum pernah disampaikan ke JK. Bisa saja Presiden berpendapat penyelesaian Papua tak perlu melibatkan orang/individu di luar pemerintahan. Itu sah-sah saja.
Namun, tak pernah ada konflik yang bisa diselesaikan tanpa adanya mediator yang efektif. Dan, mediator itu bukan pihak dalam konflik sehingga bisa dinilai obyektif. Saya pun teringat sebuah petuah yang sumbernya sudah kabur dalam ingatan saya: ”Dalam keadaan damai, anak-anak memakamkan orangtua mereka. Dalam konflik atau perang, orangtua memakamkan anak-anak mereka.”
Semoga petuah ini segera berakhir di tanah Papua.
Hamid Awaludin Mantan Menteri Hukum dan HAM RI, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hassanudin