Generasi Z dan Pemilu 2024
Pada Pemilu 2019, Generasi Milenial menjadi penentu pilihan mayoritas. Namun, partisipasi pemilih GenZ pada 2024 memungkinkan terjadinya pergeseran preferensi pilihan dan memengaruhi hasil Pemilu 2024. Siapakah "GenZ" ?
Pemilu 2024 akan menjadi pesta demokrasi terbesar di Indonesia, melibatkan jumlah pemilih terbanyak.
Diperkirakan sekitar 205 juta penduduk Indonesia akan memiliki hak pilih di 2024, pertama kali di atas 200 juta pemilih. Pemilu 2024 akan melibatkan pemilih termuda, yaitu Generasi Z (GenZ) yang saat ini generasi mayoritas dalam struktur umur penduduk Indonesia. Preferensi pilihan GenZ tentu memengaruhi hasil Pemilu 2024. Memahami aspirasi dan preferensi GenZ jadi kunci meraih sukses Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sensus Penduduk 2020 (BPS) menunjukkan, dari 270,2 juta penduduk Indonesia, 27,94 persen merupakan GenZ (kelahiran 1997-2012). Secara global, GenZ menyumbang 26 persen penduduk dunia. Proporsi penduduk GenZ Indonesia lebih besar dibanding global. Jumlah GenZ di Indonesia telah melampaui generasi sebelumnya, yaitu Generasi Milenial (kelahiran 1981-1996) dengan proporsi 25,87 persen, dan Generasi X (kelahiran 1964-1980) yang 21,88 persen dari penduduk Indonesia.
Tak semua penduduk GenZ berhak memilih di 2024. Hanya mereka yang lahir antara 1997 hingga 2006 dan sebagian kecil kelahiran 2007, dengan jumlah diperkirakan 47,5 juta. Sebagian dari mereka pemilih pemula (first-time voter). Data proyeksi penduduk Indonesia 2015 -2045 (Supas 2015) menunjukkan, pada 2024 jumlah penduduk usia 17 tahun ke atas 205,3 juta jiwa, di mana 23,1 persen di antaranya pemilih GenZ. Artinya, satu dari empat pemilih adalah GenZ.
Baca juga :Survei Litbang ”Kompas”: Membaca Arah Pilihan Gen Z di Pemilu 2024
Baca juga : KPU dan Parpol Perlu Siapkan Strategi Khusus bagi Pemilih Muda
Pada Pemilu 2019, Generasi Milenial menjadi penentu pilihan mayoritas. Namun, keikutsertaan pemilih GenZ pada 2024 memungkinkan terjadinya pergeseran preferensi pilihan dan memengaruhi hasil Pemilu 2024. Singkatnya, Pemilu 2019 banyak mencerminkan aspirasi Generasi Milenial, sedangkan Pemilu 2024 dipengaruhi pilihan GenZ.
Karakteristik GenZ
Dalam demografi dikenal cohort analysis untuk memahami perilaku penduduk menurut kelompok tertentu, termasuk generasi. Setiap generasi mengarungi kehidupan dalam waktu relatif bersamaan, dipengaruhi kondisi lingkungan di zamannya. Setiap generasi punya aspirasi dan preferensi yang berbeda. Perbedaan terjadi akibat perubahan lingkungan fisik, sosial, dan kultural menurut waktu.
GenZ umumnya anak dari Generasi X. Mereka menjadi generasi pertama yang tak pernah mengenal dunia tanpa internet. Mereka terbiasa memakai perangkat digital seperti laptop, smartphone dan tablet. GenZ berkomunikasi menggunakan medsos dan menghabiskan waktu bersama gadget jauh lebih banyak dibanding generasi sebelumnya. Generasi ini tumbuh dan berkembang di era digital, cenderung online setiap saat.
Infografik Kompas.id Jumat (22/10/2021) Siapa Capres Pilihan Milenial? Grafik 2 Proporsi Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Generasi
Sebagai generasi “digital native”, GenZ menjadi pengguna utama medsos dengan platform berbeda dari generasi sebelumnya. Sebagian mereka menggunakan platform medsos generasi sebelumnya hanya untuk berkomunikasi dengan orangtua, guru, dosen, atau pimpinan. Beberapa penelitian menunjukkan, GenZ cenderung tidak ingin terlalu terbuka dengan identitas dirinya.
GenZ terbiasa dengan perbedaan. Mereka menghargai perbedaan etnis, suku, budaya, agama. Setidaknya ada 2 alasan. Pertama, orangtua GenZ besar dan menikah di saat mobilitas penduduk antar daerah/negara sudah tinggi, sebagai konsekuensi kemudahan transportasi dan komunikasi. Perkawinan campur antar kelompok masyarakat sering terjadi. Banyak GenZ yang memiliki orangtua berbeda latar belakang sosial-budaya.
Kedua, GenZ sangat mudah mencari informasi melalui internet tentang berbagai hal di luar lingkungan kesehariannya seperti kehidupan di negara lain, keragaman suku, etnis maupun budaya. Dampaknya, GenZ cenderung open minded dan menghargai perbedaan. Politik identitas tak sesuai dengan nilai yang mereka yakini.
Menurut penelitian, GenZ cenderung pragmatis dan mempertimbangkan aspek finansial dalam pengambilan keputusannya.
Menurut penelitian, GenZ cenderung pragmatis dan mempertimbangkan aspek finansial dalam pengambilan keputusannya. Penyebabnya, karena GenZ berhadapan dengan situasi persaingan yang semakin rumit. Jumlah penduduk terus bertambah, persaingan terus meningkat. Persaingan untuk memperoleh pendidikan berkualitas, lapangan kerja, perumahan, karier dan sebagainya.
GenZ dituntut mampu memperoleh pendapatan tinggi demi memenuhi biaya hidup yang semakin mahal. Saat Generasi Milenial pertama lahir pada 1981, garis kemiskinan di Indonesia berkisar antara Rp 5.870-Rp 9.700/kapita/bulan.
Saat GenZ pertama lahir di 1997, batas garis kemiskinan tertinggi sekitar Rp 42.000/kapita/bulan. Maret 2022, batas garis kemiskinan Rp 484.000 (desa)-Rp 521.000 (kota)/kapita/bulan. Meski tak bisa diperbandingkan secara langsung ka- rena perbedaan standar perhitungan, data ini menggambarkan beban biaya hidup yang kian besar dari waktu ke waktu.
Berbagai penelitian menunjukkan GenZ cenderung memiliki tantangan kesehatan mental lebih besar dibanding generasi sebelumnya. Selain karena persaingan penduduk, permasalahan timbul akibat banyak mengonsumsi informasi dari medsos. GenZ juga khawatir dengan konsekuensi perubahan iklim global.
Singkatnya, GenZ cenderung rentan secara psikologis, mudah “patah” dan stres. Hal ini perlu menjadi perhatian para kontestan Pemilu 2024 dalam menyusun program. Tingkat pendidikan dan kecerdasan yang tinggi tanpa dibarengi ketahanan mental akan berdampak terhadap rendahnya ketahanan nasional.
Isu strategis GenZ
Setidaknya ada tiga isu strategis terkait GenZ dan pemilu. Pertama, partisipasi GenZ sebagai pemilih. Penyelenggara Pemilu 2024 harus berupaya maksimal menggaet partisipasi GenZ. Karena GenZ mayoritas di struktur penduduk Indonesia, hasil Pemilu 2024 harus merepresentasikan aspirasi dan preferensi mereka.
Ini bisa terwujud jika GenZ berpartisipasi penuh sebagai pemilih. Rendahnya partisipasi GenZ pada Pemilu 2024 akan memperbesar generation gap (kesenjangan antara preferensi GenZ dengan pilihan kebijakan generasi sebelumnya).
Para kontestan Pemilu 2024 harus berdialog bersama GenZ tentang solusi menghadapi masa depan yang mungkin sangat berbeda dengan masa lalu.
Kedua, program yang ditawarkan para kontestan Pemilu 2024 harus mengakomodasi pendapat GenZ. Margaret Mead (1970), profesor antropologi AS, menulis buku Culture and Commitment: A Study of Generation Gap. Dijelaskan, ada tiga jenis proses transfer pengetahuan antar generasi. Satu, postfigurative cultures di mana generasi terdahulu (orangtua) mengajari (transfer pengetahuan) ke generasi yang lebih muda (anak) tentang bagaimana menghadapi masa depan.
Dua, configurative cultures, di mana pengetahuan anak bersumber dari orang -tua dan juga peer group (teman). Tiga, prefigurative cultures diterapkan saat perubahan lingkungan terjadi sangat cepat, orangtua justru belajar dari anak. Pengetahuan yang dimiliki orangtua tak cukup jadi bekal generasi berikut.
Di lingkungan yang sangat cepat berubah, prefigurative cultures memang akan lebih dominan. Para kontestan Pemilu 2024 harus berdialog bersama GenZ tentang solusi menghadapi masa depan yang mungkin sangat berbeda dengan masa lalu. Namun postfigurative cultures juga penting, di mana GenZ harus belajar dari generasi sebelumnya tentang sejarah perjuangan Indonesia dan jati diri bangsa. Agar kesenjangan antargenerasi bisa kita hindari dan memastikan keberlanjutan bangsa ini dengan baik.
Ilustrasi
Ketiga, GenZ cenderung memilih belajar dan berdialog dengan peer group mereka untuk mencari solusi. Karena GenZ banyak menggunakan medsos, makna peer group (teman) belajar diperluas, mencakup belajar dari para figur di dunia maya. Tak mengherankan jika figur yang aktif berdialog di medsos cenderung populer bagi GenZ.
Pemilu 2024 menjadi kesempatan kita untuk mengikis kesenjangan antar generasi, mengajak GenZ terlibat bersama generasi sebelumnya, untuk merancang masa depan Indonesia. Setiap generasi ada masanya, dan setiap masa tentu ada caranya.
Sonny Harry B Harmadi Ketua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia, Pengajar Departemen Studi Pembangunan FDKBD ITS