Sesuai semangat otonomi daerah, organisasi perangkat daerah idealnya lebih banyak ditentukan oleh strategi lokal, tetapi tetap dengan standar pengawasan yang jelas dari Jakarta.
Oleh
IRFAN RIDWAN MAKSUM
·5 menit baca
Pencopotan sekretaris daerah (sekda) oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta dan penolakan sekda terpilih oleh Gubernur Sulawesi Tengah menjadi catatan tersendiri di ujung akhir 2022 dalam khazanah praktik pemerintahan daerah di Indonesia. Ini berkaitan secara luas dengan rumusan perangkat daerah dalam pemerintahan daerah.
Perangkat daerah adalah instrumen untuk mewujudkan kewenangan mengurus dalam otonomi daerah sebagai kelanjutan dari adanya kewenangan mengatur. Otonomi daerah ditandai oleh kedua kewenangan yang melekat dan diwujudkan adanya organ-organ pemerintah daerah yang terdiri dari organ politik dengan adanya DPRD beserta kepala daerah/wakil kepala daerah, dan organ administratif dengan adanya kepala daerah/wakil kepala daerah beserta perangkat daerahnya.
Rumusan tersebut idealnya berlanjut kepada mulusnya manajemen pemerintahan daerah. Oleh karena itu, pengisian jabatan tinggi dalam pemerintahan daerah serupa sekda idealnya harus turut harmonis.
Dalam peraturan perundangan terkait rumusan organisasi perangkat daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 18/2016 jo PP No 72/2019 tentang Perangkat Daerah, dikatakan bahwa menetapkan besaran dan banyaknya jenis organisasi perangkat daerah harus mempertimbangkan juas wilayah, jumlah penduduk, kemampuan sumber daya keuangan, dan beban tugas yang terkait jumlah urusan pemerintahan yang diemban.
Dalam peraturan tersebut sama sekali tidak muncul aspek strategi kepala daerah sebagai komandan pemerintahan untuk turut menentukan. Akibatnya, organisasi perangkat daerah seolah given dari hasil penilaian atas daerah otonom di mana pun di Indonesia berdasarkan peraturan tersebut tanpa terkait apa yang sedang dan akan dilakukan komandan pemerintahannya terkait janji kampanye, terlebih saat ini melalui pilkada langsung.
Sebetulnya jika dirinci ada sejumlah pertimbangan yang dapat digunakan untuk merumuskan organisasi perangkat daerah. Pertama, tentu strategi. Dalam pertimbangan ini tidak terlepas dari visi misi kepala daerah serta tanggung jawab yang diemban terkait jumlah urusan yang mampu dikelola menjadi kewenangan daerahnya. Ini harus sinkron.
Faktanya dalam soal ini, masih juga ditambahkan kemungkinan tekanan dari kementerian/lembaga (K/L) di Jakarta yang ingin proyeknya jalan di daerah dengan mendorong unit organisasi yang relevan supaya dikembangkan. Pembengkakan organisasi sering kali terjadi di sini. Belum lagi bahwa aspek strategi kepala daerah sama sekali tidak disebutkan dalam peraturan perundangan ini. Seolah daerah otonom bergerak tanpa otonomi. Celakanya pimpinan dari unit lokal tertentu pun diatur sedemikian rupa supaya diputus dari Jakarta.
Kedua, sumber daya keuangan yang lebih kuat dan fleksibel dengan ruang diskresi yang besar tentu berbeda desain organisasi perangkat daerahnya jika lemah, lebih terikat dengan diskresi yang amat kecil. Organisai perangkat daerah harus mengikuti pola dalam keterikatan tersebut. Faktanya sumber daya keuangan dalam praktik pemerintahan daerah saat ini dikunci dari Jakarta. Ini menjadi berlawanan dengan gegap gempita pilkada langsung yang seolah terpilihnya seseorang menjadi kepala daerah dapat melakukan apa saja yang diimpikan.
Faktanya sumber daya keuangan dalam praktik pemerintahan daerah saat ini dikunci dari Jakarta. Ini menjadi berlawanan dengan gegap gempita pilkada langsung.
Ketiga, dalam merancang organisasi perangkat daerah harus bertapak kepada kondisi lokal fisik-nonfisik. Dalam hal ini catchment area daerah otonom harus menjadi pertimbangan. Di sini muncul paradigma yang dapat saja menjadi bagian dari strategi kepala daerah.
Dalam hal ini, apakah banyak mengandalkan basis fungsional untuk memperkuat unit sektoral di pusat pemerintahan atau paradigma teritorial yang ditujukan untuk memperkuat unit-unit lebih kecil terintegrasi lintas sektor di penjuru daerah otonom. Peraturan perundangan hanya menyebutkan aspek luas wilayah dan jumlah penduduk. Pertimbangan catchment area lebih luas dari sekadar itu.
Keempat, untuk beberapa daerah seperti Jakarta terdapat pertimbangan kekhususannya. Bagi daerah-daerah tanpa kekhususan, karakter kekhususan lebih banyak ditampung dalam pertimbangan ketiga di atas.
Jakarta sebagai contoh, jika pilihan kekhususannya menjadi dua tingkat yang berbeda dari kondisi eksisting tentu organisasi perangkat daerahnya menjadi berbeda. Jika kekhususan satu tingkat dipertahankan pun masih perlu dipikirkan, apa makna kekhususan ke depan karena bukan sebagai ibu kota lagi kelak. Tentu berbeda dari kekhususan eksisting yang didasari sebagai ibu kota.
Atur strategi
Bagaimanapun strategi perumusan organisasi perangkat daerah, yang seharusnya lebih banyak menyangkut diskresi lokal, dalam sebuah negara bangsa terdapat strategi nasional yang berpengaruh. Setidaknya soal strategi nasional dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, strategi dasar yang eksplisit dalam peraturan perundangan nasional. Kedua, strategi nasional yang implisit yang sering kali malah dominan, menyangkut matra kekuasaan (politik nasional).
Hal pertama mudah terbaca adalah yang tertuang dalam UU Pemerintahan Daerah. Hal ini bahkan dapat disebut sebagai strategi bangsa. Ini terkait pilihan model pemerintahan kita yang berbasis adanya wakil pemerintah di pundak gubernur pada level provinsi. Pilihan ini dikenal sebagai model prefektur terintegrasi yang diacu peraturan-perundangan yang berlaku sekarang.
Organisasi perangkat daerah kelak, idealnya lebih banyak ditentukan oleh strategi lokal, tetapi tetap dengan standar pengawasan yang jelas dari Jakarta.
Strategi nasional ini seharusnya dipahami oleh para perumus kebijakan di level nasional, terutama presiden sebagai kepala pemerintahan. Desain pemerintahan bahwa gubernur adalah wakil pemerintah membawa konsekuensi logis adanya sinkronisasi dan kesesuaian yang lebih rigid di tingkat provinsi, terutama sehubungan gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi adalah wakil pemerintah pusat.
Celakanya, strategi ini diikuti desain peraturan perundangan yang mengunci otonomi menjadi cenderung seragam secara nasional. Dimanfaatkannya secara keliru asas dekonsentrasi yang menjadi basis pengembangan wakil pemerintah juga telah mengebiri otonomi. Ditambah sektor tertentu memandang perangkat daerah adalah juga instrumen bagi pekerjaan-pekerjaan di daerah tanpa memahami asas pemerintahan.
Fenomena kekeliruan asas juga menjadi strategi implisit yang diikuti secara sistematis semua unit K/L. Tampak kompak bahwa otonomi daerah di sejumlah urusan pemerintahan, di tengah gegap-gempita pilkada langsung harus diikat secara seragam dalam berbagai pekerjaan yang menjadi tanggung jawab K/L terkait.
Akhirnya merembet strategi kedua yang bersifat implisit tak tertulis di benak para politisi dalam soal kekuasaan. Otonomi daerah adalah instrumen untuk melanggengkan kekuasaan. Dampaknya organisasi perangkat daerah diintervensi sedemikian rupa untuk kepentingan politik. Dalam hal ini, dianutnya prefektur terintegrasi di tangan gubernur, akibatnya kini mengandung ambiguitas tinggi, sehingga konflik mudah terjadi antara kepentingan pusat dan kepentingan daerah.
Sudah saatnya dipertegas garis batas/ruang sebagai kepala daerah dan sebagai wakil pemerintah. Menyambut pilkada langsung yang terus dipastikan menjadi bagian dari sistem pemerintahan kita, sangat mungkin dihapus sistem wakil pemerintah ini sehingga merumuskan organisasi perangkat daerah pun lebih mudah memperjelas ruang diskresinya, dan akhirnya nanti mudah melakukan pengawasan. Organisasi perangkat daerah kelak, idealnya lebih banyak ditentukan oleh strategi lokal, tetapi tetap dengan standar pengawasan yang jelas dari Jakarta.
Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik dan Chairman Klaster DeLOGO FIA UI