Mengapa para penulis memakai dialek Jakarta meski kata-kata yang semakna tersedia dalam bahasa Indonesia?
Oleh
Pamusuk Eneste
·3 menit baca
Tanpa kita sadari, dialek Jakarta (= bahasa Betawi) ternyata sering menyusup ke dalam karya para penulis kita. Perhatikanlah contoh-contoh berikut.
Penyair Joko Pinurbo dalam bukunya, Berguru kepada Puisi (2019), menulis, ”Selain itu, perasaan keki yang cukup mengganggu. Ketika membicarakan karya sesama penulis, siapa pun niscaya akan menjadikan visi dan selera pribadinya sebagai tumpuan”.
Perhatikan, Joko tidak menggunakan kata kesal atau jengkel (bahasa Indonesia standar), tetapi memakai kata keki yang merupakan dialek Jakarta.
Begitu pula dengan cerpenis Gde Aryantha Soethama. Dalam cerpen ”Belukar Pantai Sanur” (Kompas, 15/11/2020), Gde menulis, ”Jawaban itu tak membuat dua pecalang tersinggung, malah tersenyum, pemancing juga tersenyum. Tapi senyum itu ngumpet di balik masker. Cuma dahi dan alis mata mereka tampak sedikit bergerak-gerak”.
Gde tidak memakai kata bersembunyi (bahasa Indonesia standar), tetapi menggunakan kata ngumpet (dialek Jakarta).
Hal serupa dilakukan cerpenis Eko Darmoko. Dalam cerpen ”Malaikat Pencabut Nyawa” (Kompas, 17/1/2021), Eko menulis, ”Vika langsung nyelonong keluar kamar, dia menuju pasar modern yang letaknya tak jauh dari rumah sakit”. Di bagian lain cerpen, Eko juga menulis, ”Herpes ngacir dari tubuh Bella tiga hari setelah insiden semburan gula merah dan kelapa muda”.
Eko tidak menggunakan kata-kata dengan tiba-tiba masuk atau masuk tanpa memberi salam (bahasa standar), tetapi memakai kata nyelonong dari dialek Jakarta. Eko juga tidak memakai berjalan dengan cepat tanpa menoleh ke belakang atau pergi tanpa izin (bahasa standar), tetapi memakai kata dialek Jakarta, ngacir.
Tidak hanya dalam fiksi, dalam tulisan non-fiksi pun menyusup dialek Jakarta. Dalam tulisan ”Bukan Katak” (Kompas, 21/11/2020), Ariel Heryanto menulis, ”Trump ogah membayar pajak, tetapi rajin mengobral hoaks. Twitter berkali-kali menghapus twit-nya karena melanggar etika”.
Perhatikan, Ariel tidak memakai kata tidak mau (bahasa Indonesia standar), tetapi menggunakan kata ogah dari dialek Jakarta.
Keki, ngumpet, ogah, nyelonong, ngacir…. Itulah dialek Jakarta atau bahasa Betawi yang menyusup ke tulisan Joko, Gde, Eko, dan Ariel. Karena hanya satu atau dua kata, kehadiran dialek Jakarta itu tidak terasa mengganggu. Kata-kata itu justru terasa menyegarkan.
Timbul pertanyaan, mengapa Joko, Gde, Eko, dan Ariel menyelipkan dialek Jakarta dalam tulisan mereka? Mengapa para penulis memakai dialek Jakarta meski kata-kata yang semakna tersedia dalam bahasa Indonesia?
Jawaban yang pasti kita tidak tahu. Mungkin para penulis hanya ber-”eksperimen” dengan dialek Jakarta. Boleh jadi mereka hanya ingin ada variasi bahasa dalam tulisan mereka.
Namun, pada tataran yang lebih luas, perlulah kita cermati pendapat Harimurti Kridalaksana (2009). Menurut penyusun Kamus Linguistik ini, ”Sudah sejak lama pengaruh dialek Jakarta terasa dalam pemakaian bahasa Indonesia di Jakarta”.
Lantas, ”Asal muasal meningkatnya pengaruh itu tidak sulit dicari. Bahwa Jakarta sebagai ibu kota negara lebih dominan dan lebih berwibawa dari daerah lain adalah keadaan yang wajar. (…) Karena orang Jakarta mempunyai gaya khas dalam cakapnya, maka cakap Jakarta ini pun ditiru sehingga tersebarlah dialek Melayu Jakarta”. Begitu.
Pamusuk Eneste, Pengajar di Teknik Grafika dan Penerbitan PNJ Depok