Narasi Mematikan
Kelompok pengusung radikalisme memilih melakukan perang narasi sebagai upaya sistematis untuk melakukan perlawanan terhadap narasi yang beredar di media massa dan media daring. yang mengutuk tindakan kekerasan mereka.
Di balik setiap aksi terorisme, seperti bom bunuh diri di Bandung oleh bekas narapidana terorisme baru-baru ini, ada satu hal yang cenderung lepas dari perhatian pemerintah dan masyarakat, yaitu adanya ”perang narasi”.
Perang narasi itu, misalnya, ”teroris dipelihara untuk mengalihkan isu”, atau ”ini proyek untuk menaikkan anggaran aparat keamanan”, atau ”aparat kecolongan”, dan lain-lain. Lalu, apa itu narasi? Apa bedanya dengan cerita atau kisah? Tidak ada definisi tunggal yang diterima semua sarjana pengkaji narasi.
Dalam buku karya Ajit K Maan dan Paul L Cobaugh, Introduction to Narrative Warfare (2022), cerita dibedakan dari narasi. Cerita didefinisikan sebagai sebuah peristiwa masa lalu yang terkait dengan banyak karakter. Dan, narasi diartikan sebagai tafsir, interpretasi, atau cara baca yang digunakan narator atau penutur narasi terhadap peristiwa masa lalu. Dengan kata lain, narasi adalah proses yang tak bebas nilai dalam pemberian makna atas sebuah peristiwa.
Media yang dipakai narator bisa berbentuk verbal, seperti diskusi, bedah buku, ceramah, kisah, cerita, kesaksian doa, dan lagu, atau nonverbal, seperti tulisan, poster, pamflet, gambar, dan video. Melalui media inilah proses radikalisasi menjadi lebih meluas, bahkan melewati batas negara bangsa.
Baca juga : Gelombang Baru Terorisme
Baca juga : Waspadai Serangan Teroris di Tahun Politik
Seperti halnya narasi, tak ada definisi tunggal radikalisme. Namun, tulisan ini mengamini definisi radikalisasi dalam Friction, How Radicalization Happens to Them and Us yang ditulis McCauley dan Moskalendko. Kedua sarjana psikologi sosial ini mengartikan radikalisme sebagai ”sebuah proses perkembangan keyakinan, perasaan, dan aksi dalam mendukung sebuah kelompok atau tujuan politik dalam sebuah konflik”.
Dengan kata lain, radikalisme tidak hanya terjadi pada ”orang lain” nun jauh di sana, tetapi juga bisa terjadi pada siapa saja. Hal ini karena radikalisme adalah sebuah proses psikologi yang jika mendapatkan pemantik yang tepat akan terjadi pada semua orang, kelompok, dan bahkan negara. Sebagai sebuah proses, radikalisme bukan ”salah” atau ”benar”, melainkan bisa terjadi pada hal yang baik dan buruk.
Sebaran narasi
Dari pengalaman sebagai peneliti dan praktisi masalah radikalisme dan terorisme, penggunaan narasi berkembang dan tumbuh subur bersama meluasnya kepemilikan telepon pintar di awal 2000-an. Terlebih pada 2007 ketika iPhone diluncurkan, disusul jenis Android dengan harga yang kian murah dan terjangkau.
Dari lima miliar telepon seluler yang dimiliki penduduk di dunia, separuhnya berjenis telepon pintar, yang menjadi media penyebaran narasi di seluruh dunia. Indonesia surga pasar telepon pintar. Jika diasumsikan separuh penduduk negeri ini menggunakannya, setidaknya ada 140 juta orang yang, tanpa meminta atau menghendaki, mendapat narasi tentang apa saja, termasuk soal radikalisme.
Melalui telepon pintar, narasi serupa itu dengan mudah beredar nyaris tanpa filter dan diterima oleh siapa pun yang melek huruf: lelaki, perempuan, anak-anak, berideologi radikal ataupun tidak.
ilustrasi
Di negara-negara dengan kecenderungan otoritarian, di mana informasi selalu memiliki versi resmi dan tak resmi, narasi mendapat tempat yang subur. Apalagi, ketika masyarakat sedang terbelah seperti jelang hajatan politik pilpres atau pilkada. Dengan memanfaatkan situasi itulah narasi digunakan kelompok teror untuk menjalankan ”taktik perang” secara tersembunyi dan bergerilya. Serangan dilakukan tanpa aturan main sebagaimana layaknya perang fisik. Mereka bertahan sekaligus menyerang untuk memengaruhi pemikiran dan kesadaran seseorang.
Selain teknologi media yang tak membutuhkan modal dan biaya besar, modal bagi keberhasilan kedua gerakan ini juga adalah kemahiran dalam memilih, memilah, dan mengolah grand narrative atau narasi induk yang tepat dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
Narasi induk dan teknik ”reframing”
Narasi induk adalah narasi yang telah diyakini kebenarannya oleh orang kebanyakan dalam budaya tertentu. Dalam Islam, narasi induk biasanya diambil dari kisah-kisah dalam Al Quran, hadis, ataupun sirah—sejarah perjuangan Islam, seperti Perang Badar, peristiwa hijrah, Isra Mikraj, dan masa kekhilafahan Islam menjelang era penjajahan ”Barat”.
Oleh para naratornya, narasi induk dihubungkan dengan isu tertentu yang hendak diangkat pada masa kini dengan teknik reframing. Reframing adalah teknik membingkai ulang peristiwa sejarah tertentu tanpa menggunakan metodologi keilmuan rumit dengan tujuan memancing emosi penerima narasi atau audiens dalam bentuk analogi atau metafora.
Oleh para naratornya, narasi induk dihubungkan dengan isu tertentu yang hendak diangkat pada masa kini dengan teknik reframing.
Contoh penggunaan metafora ini adalah kisah Fir’aun dalam Al Quran. Sosok Fir’aun sering dipakai untuk menggambarkan penguasa yang zalim dan diktator. ”Saya telah membunuh Fir’aun,” teriak Khalid al-Islambouli setelah berhasil menembak mati Presiden Mesir Anwar Sadat dalam parade militer pada 1981.
Kekuatan narasi yang mereka produksi itu memiliki dimensi dunia-akhirat dan segmentatif. Untuk kalangan muda, misalnya, narasi induknya dibangun dalam konteks gairah kaum muda, seperti konsep hurun in atau ”bidadari bermata jelita” yang dipetik dari Surah Al-Waqiah Ayat 22.
Ayat ini dibingkai sedemikian rupa sebagai janji Tuhan kepada para pemuda pemberani yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk sebuah aksi jihad. Sementara untuk segmen perempuan atau keluarga, digunakan narasi ”masuk surga sekeluarga” dengan mengutip Surah Al-Mu’min Ayat 8, seperti dalam kasus bom bunuh diri sekeluarga di Surabaya.
Untuk segmen perempuan biasanya disajikan pesona ketabahan Fatimah, putri Rasulullah, atau narasi tentang Ummu Mutiah, perempuan muda yang dikisahkan dalam sebuah hadis sebagai perempuan pertama yang akan masuk surga karena senantiasa menjaga dirinya dari fitnah dengan tak menemui laki-laki yang bukan muhrimnya. Dikisahkan bahwa putri Nabi pun sangat terpesona oleh Ummu Mutiah, yang senantiasa berdandan rapi, harum, dan menutup aurat.
Dalam konteks Indonesia, melalui narasi pula kelompok teror memengaruhi seseorang untuk jadi sukarelawan ”jihad” di wilayah konflik, seperti Suriah, Irak, dan Filipina Selatan, serta melakukan aksi bom bunuh diri di tempat-tempat yang dianggap representasi musuh Tuhan.
Ketika mati akibat bom bunuh diri, mereka dinarasikan sebagai martir atau syuhada oleh kedua kelompok itu. Mereka dinarasikan mati syahid dengan bahagia karena tak harus melalui proses hisab atau pengadilan akhirat yang akan menimbang amal baik dan buruknya. Sebaliknya, terhadap korban yang tewas akibat ulah jahat mereka, dihadirkan narasi bahwa itu merupakan balasan atau hukuman dari Tuhan karena korban dianggap kafir dan musuh Tuhan.
Tergambar sudah, betapa narasi itu kini menjelma menjadi senjata mematikan bagi siapa saja. Narasi itu sanggup merenggut nyawa dan akal sehat. Bahkan, setelah terjadi ledakan bom di tempat ibadat yang merampas nyawa orang-orang tak bersalah atau setelah penangkapan pelaku, narasi mereka muncul dan mereka melakukan perang narasi di tengah masyarakat. Hal ini menandakan tindakan mereka diamini dan dibenarkan oleh orang yang termakan narasi mereka.
Tergambar sudah, betapa narasi itu kini menjelma menjadi senjata mematikan bagi siapa saja.
Tampaknya, perang narasi mereka pilih sebagai upaya sistematis untuk melakukan perlawanan terhadap narasi yang beredar di media massa, seperti televisi, koran, dan media daring (online) tepercaya, yang mengutuk tindakan kekerasan mereka. Perang narasi dilakukan karena tak jarang tersangka teroris yang ditangkap adalah tokoh publik, misalnya pendakwah agama, pekerja profesional seperti dokter, dan ASN. Mereka memiliki citra baik di tengah komunitasnya dan narasi itu digunakan sebagai modal dalam perang narasi.
Perbedaan persepsi tentang sosok seorang teroris pada akhirnya juga menghambat upaya kontraterorisme, khususnya implementasi program deradikalisasi, rehabilitasi, serta reintegrasi mantan teroris dan keluarga di masyarakat. Jebakan narasi yang mereka mainkan mampu mengelabui masyarakat.
Bukan hal baru
Sesungguhnya, penggunaan narasi induk seperti hadis untuk mendukung agenda politik bukanlah fenomena baru dalam sejarah gerakan radikal Islam.
Para peneliti gerakan Darul Islam di Jawa Barat mencatat bagaimana Kartosoewirjo menggunakan narasi hijrah dengan memberikan makna ulang pada narasi hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah dalam konteks perjuangan kemerdekaan RI. Kartosoewirjo yang kemudian mendirikan Darul Islam menolak pengertian hijrah yang digunakan pasukan Siliwangi dan para pejuang kemerdekaan yang berpindah dari Jawa Barat ke Yogyakarta sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville, Januari 1948.
Bagi Kartosoewirjo, makna hijrah adalah bertahan dan berjuang sekuat tenaga (jihad) untuk menjalankan ajaran Islam dengan mendirikan negara Islam atau Darul Islam (C van Dijk, 1988).
Mungkin hari ini orang lupa, tempat paling suci bagi umat Islam, yaitu Masjidil Haram di Mekkah, pernah diduduki sekelompok umat Islam ekstrem pimpinan Juhaiman al-Uteybi. Peristiwa berdarah itu terjadi pada 20 November 1979.
ilustrasi
Mengusung narasi tentang kedatangan Imam Mahdi pilihan kelompok ini, Mohammad Abdullah, mereka ingin mengembalikan kejayaan Islam dengan melakukan penyanderaan terhadap umat Islam dari sejumlah negara yang sedang berhaji. Dengan hampir 100.000 orang terjebak di dalam kompleks suci itu, pengepungan berdarah Mekkah itu berlangsung selama dua minggu.
Peristiwa itu kemudian memicu demonstrasi. Demonstran menyerbu dan membakar Kedutaan Besar AS di Pakistan dan Libya. Orang-orang Saudi yang putus asa akhirnya minta bantuan pasukan komando Perancis pimpinan Kapten Paul Barril. Dialah yang mempersiapkan serangan terakhir dan memasok gas beracun untuk melumpuhkan para pemberontak. Kisah dramatis dan sangat penting dalam sejarah gerakan Islam garis keras ini ditulis Yaroslav Trofimov dalam buku The Siege of Mecca (2007).
Tentu saya tak sedang membayangkan skenario maut yang berangkat dari narasi-narasi ngawur teks keagamaan di Indonesia yang membuat orang nekat melakukan hal serupa di tempat umat Islam berkumpul, misalnya masjid. Namun, alasan untuk melakukan itu bukanlah hal yang mustahil, misalnya karena rezim yang sedang berkuasa dituding tunduk pada kekuatan asing serta tidak berhukum pada Al Quran dan hadis.
Oleh karena itu, sangat penting membangun kesadaran kembali para pemangku kepentingan bahwa manusia itu homo narrans atau makhluk yang gemar bercerita—apalagi dalam budaya dan tradisi oral serta sangat kecilnya minat literasi, seperti membaca buku. Tak terhindarkan, proses komunikasi antarmanusia selalu dibungkus melalui story atau narasi.
Narasi sering sulit dibuktikan secara logika rasional karena terkait dengan masa lampau yang tidak butuh pembuktian, tetapi hanya memerlukan ruang iman (percaya). Meski kerap ”tak masuk akal”, narasi yang datang dari tradisi agama sering dipakai sebagai afirmasi atau validasi yang mampu memberikan jawaban atas pertanyaan hidup dari penerima narasi. Dalam konteks inilah peran credible voice—suara mantan pelaku yang telah tobat—yang dibungkus dalam cerita yang humanis dapat menjadi penting dalam upaya pencegahan agar masyarakat tidak terlibat aksi kembali.
Noor Huda Ismail Executive Director Yayasan Prasasti Perdamaian (Institute For International Peace Building)