Pemburu-pengumpul Kalimantan: Hidup Membersamai Alam
Kesinambungan antara alam dan masyarakat Punan Batu, pemburu-pengumpul aktif terakhir di Kalimantan, menjadi kunci kelestarian hutan dan keberlanjutan hidup manusia dan hewan di dalamnya.
Oleh
PRADIPTAJATI KUSUMA
·6 menit baca
”Harapan kami untuk anak-anak kami, ya hutan ini,” kata Maruf, salah satu anggota masyarakat Punan Batu di Bulungan, Kalimantan Utara, seraya mengeluh tentang kondisi hutan masyarakat Punan Batu saat ini. Deforestasi menjadi momok bagi kelangsungan hidup masyarakat Punan Batu.
Punan Batu Sajau Benau adalah kelompok pemburu-pengumpul aktif terakhir di Kalimantan yang masih memilih untuk hidup di bawah liang-liang karst dan pondok-pondok kayu di hutan. Mereka aktif berburu menggunakan tombak dan anjing, kadang juga senapan angin. Mata mereka tajam dalam mengamati jejak hewan buruan yang sangat susah dilihat dengan mata telanjang seorang awam.
Selain itu, mereka pengumpul makanan hutan yang ulung, dari berbagai jenis ubi hingga pohon buah-buahan. Bagai memiliki ”radar ubi”, mereka bergerak di tengah-tengah hutan belantara dari satu titik ke titik lain secara tepat ke tempat di mana ubi-ubi itu berada. Adaptasi penglihatan dan daya ingat visual masyarakat Punan Batu terhadap lingkungan hutan terasah dengan sangat baik.
Sebagian besar dari mereka masih hidup mengembara dan berpindah-pindah. Saat ketersediaan ubi, buah, dan hewan buruan menipis di area sekitar suatu liang, mereka akan berpindah ke liang lain. Hasil penelitian kami yang terbit di jurnal Evolutionary Human Sciences pada Maret lalu menunjukkan bahwa mereka berpindah-pindah setiap 8-9 hari dengan rerata jarak garis lurus 4-5 kilometer. Tentu, jarak tempuh di hutan lebih jauh dari itu karena jalur rintisan hutan yang meliuk-liuk.
Aktivitas berburu mereka lakukan lebih dari 8 jam dalam sehari. Itu pun belum tentu mereka mendapatkan hewan buruan. Babi hutan, hewan buruan utama mereka, sudah teramat sangat jarang ditemukan. Dalam satu tahun terakhir ini, salah satu kelompok Punan Batu hanya mendapat babi hutan sebanyak empat kali.
Selain itu, jejak rusa pun jarang terlihat. Hanya hewan-hewan kecil, seperti pelanduk dan kijang, yang masih relatif mudah dicari. Burung, ikan, ayam hutan, tupai, dan monyet, serta musang, bahkan binturong pun menjadi alternatif sumber protein hewani mereka. Namun, tidak setiap hari masyarakat Punan Batu bisa menikmati daging.
”Weih, sudah seminggu ini kami tidak dapat daging,” kata Maruf saat saya bertanya kabar kala berkunjung awal November lalu.
Aktivitas pencarian ubi hutan juga tidak kalah melelahkan. Ini biasa dilakukan oleh perempuan Punan Batu, ibu dan anak perempuannya, saat bapak dan anak lelakinya pergi berburu. Saya mengamati, mereka berangkat dari pondok sekitar pukul 08.00 dan baru sampai kembali di pondok pukul 17.00. Gawong (tas punggung terbuat dari rotan) yang mereka bawa terisi penuh dengan beberapa jenis ubi hutan sambil memikul kayu bakar yang besar. Tubuh mereka benar-benar teradaptasi dengan aktivitas fisik yang tinggi.
Favorit mereka ubi kariting dan jaranang. Ubi yang biasa tumbuh di dekat area batuan karst. ”Ini dibakar bisa, direbus juga bisa,” kata Bu Kadodew, salah satu perempuan Punan Batu di kelompok yang saya temui.
Saat ini ubi masih mudah ditemukan di dalam hutan, tetapi perlu upaya ekstra untuk mendapatkannya dibandingkan dekade lalu.
Ada juga ubi paritotung, jenis ubi yang lebih mudah didapatkan di pinggir sungai tetapi rasanya lebih pahit. Makan sedikit saja, bagi saya sudah sangat mengenyangkan. Bagi mereka, dua hingga tiga potong besar ubi pada sarapan pagi hari sudah cukup untuk menjadi bekal energi untuk berburu seharian.
Saat ini ubi masih mudah ditemukan di dalam hutan, tetapi perlu upaya ekstra untuk mendapatkannya dibandingkan dekade lalu. Apakah degradasi hutan yang menjadi penyebabnya? Ya, sangat mungkin. Tak jarang saya mendengar keluhan tentang berkurangnya area hutan tempat tinggal mereka akibat penebangan massal dan invasi perkebunan sawit.
Perilaku pro-sosial
Dalam perjalanan saya ke hulu Sungai Sajau, saya mengunjungi Pak Siuk yang berumur lebih kurang 65 tahun. Beliau adalah salah satu kepala keluarga dalam kelompok masyarakat Punan Batu. Ia bercerita bahwa ia berburu sendiri pada malam hari tepat sebelum saya datang dan mendapatkan seekor rusa yang cukup besar. Mungkin karena usia, ia sudah tak sanggup menggendong hewan buruannya kembali ke pondoknya seorang diri. Lantas ia memanggil anak lelakinya, Rita, yang tinggal tidak jauh untuk membantunya membawa rusa buruannya kembali.
”Kalau bisa, semua dibagi. Semua harus dapat. Itulah,” kata Rita sambil memotong-motong daging rusa yang akan dibagi ke kelompok lain.
Hal tersebut menjadi ”hukum” bagi masyarakat Punan Batu. Jika satu keluarga mendapat daging buruan, keluarga yang tinggal di dekatnya pasti akan mendapat bagian. Jika hewan yang didapat cukup besar, seperti babi hutan, banteng, atau rusa, hampir semua keluarga Punan Batu yang bisa mereka temui mendapat bagian. Ini yang membuat masyarakat Punan Batu terlihat guyub. Hangat.
Begitu juga ubi hutan yang didapatkan oleh Bu Kadodew dan anaknya, ia membagikan potongan-potongan ubi hutan yang didapatnya untuk keluarga Punan Batu lain yang tinggal berdekatan dengan pondoknya. Mereka bersama-sama merebus dan membakar ubi-ubi tersebut. Makan malam itu mereka tutup dengan kehangatan dan canda tawa anak-anak Punan Batu yang berlarian di sekitar pondok dengan ubi hangat di genggaman dan sedikit ikan kecil hasil memancing di sore hari.
Membersamai
Di pekan terakhir sebelum saya kembali ke kota, Magus, salah satu pemuda Punan Batu, mendapatkan monyet sebagai hasil buruan malam. Meski monyet yang ia temukan dalam gerombolan, ia hanya memburu satu ekor saja.
”Satu saja cukup untuk makan hari ini dan dibagi dengan saudara-saudara kami. Besok ada waktu untuk cari lagi,” katanya. Pantang bagi mereka memburu hewan lebih dari yang dibutuhkan untuk makan.
Banyak pantangan dalam ”adat” Punan Batu yang selaras dengan keharmonisan alam. Ubi yang dikumpulkan dari hutan tidak diperbolehkan untuk diambil semua dengan merusak tanamannya. Sulur akar tanaman ubi harus dibiarkan utuh supaya akar lekas besar kembali menjadi ubi sehingga kelompok lain bisa mengambil ubi hutan dari tanaman tersebut pada tahun berikutnya.
Banyak pantangan dalam ’adat’ Punan Batu yang selaras dengan keharmonisan alam.
Selain itu, mereka tidak boleh menebang kayu sembarangan. Hanya kayu-kayu tertentu yang sudah memiliki anakan di sekitarnya dan pohon-pohon yang tidak memiliki bunga dan buah, itulah yang boleh ditebang. Kalau dilanggar, maka penyakit akan hinggap ke tubuh yang melanggar atau ke tubuh anak keturunannya.
Begitulah yang mereka percayai sebagai aturan dari Latala, Tuhan mereka. Banyak pantangan lain yang senada, yang jika direnungi, membentuk kearifan budaya agar bisa hidup berkesinambungan bersama alam.
Kadang dengan kesoktahuan kita, kita merencanakan program pengembangan di suatu daerah dengan alasan modernisasi tanpa mengindahkan sejarah, budaya, dan kearifan lokal. Alih-alih berkembang tetapi justru menjadi rusak.
Bukankah negara ini berawal dari keragaman? Bhinneka Tunggal Ika. Tidak adil memaksakan kesatuan tanpa mempelajari unit-unit yang membentuk keragamannya. Kesinambungan antara alam dan Punan Batu, salah satu unit keragaman tersebut, menjadi kunci kelestarian hutan dan keberlanjutan hidup manusia dan hewan di dalamnya. Tak salah jika Maruf menaruh harap kepada hutan, rumah bagi anak-anaknya di masa mendatang.
Pradiptajati Kusuma, Peneliti Postdoctoral di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology, Tangerang