Diet Zaman Batu ala Punan Batu
Masyarakat pemburu-peramu Punan Batu di Kalimantan Utara, mengajarkan tentang diet paleo atau pola makan kuno di zaman batu yang sehat, setidaknya bisa menghindarkan dari obesitas.
Tidak dapat disangkal bahwa pola makan memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan kita. Masyarakat pemburu-peramu Punan Batu di Kalimantan Utara mengajarkan tentang paleo diet atau pola makan kuno di zaman batu yang sehat, setidaknya bisa menghindarkan dari obesitas.
Obesitas telah menjadi faktor risiko utama untuk banyak kondisi seperti diabetes, serangan jantung, stroke, hingga kanker. Penyakit terkait diet ini kini menyebar di dunia modern dan insidennya meningkat setiap tahun.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), obesitas di dunia meningkat hampir tiga kali lipat sejak 1975. Pada tahun 2016, lebih dari 1,9 miliar orang dewasa, 18 tahun ke atas, kelebihan berat badan. Dari jumlah tersebut lebih dari 650 juta dikategorikan obesitas.
Padahal, nenek moyang kita tidak pernah menderita gaya hidup dan penyakit terkait pola makan yang menjangkiti kita sekarang. Jadi, apa yang berubah?
Pada tahun 1975, Walter Voegtlin, ahli gastroenterologi Amerika, menerbitkan buku The Stone Age Diet yang dianggap sebagai peletak dasar tentang paleo diet atau diet paleolitik (zaman batu). Voegtlin berargumen bahwa manusia memiliki gigi lebih seperti anjing daripada domba dan karena itu harus mengikuti pola makan karnivora. Voegtlin merekomendasikan lebih banyak makan daging dan menyarankan untuk menghindari produk susu atau garam, serta meminimalkan karbohidrat dari biji-bijian.
Berikutnya, pada akhir 1980-an, radiolog Boyd Eaton dan antropolog Melvin Konner menulis paper tentang manfaat diet kuno berjudul Paleolithic Nutrition di The New England Journal of Medicine. Versi diet paleo ini sebagian besar didasarkan pada diet nenek moyang kita di Afrika Timur.
Diet paleo ini rendah lemak jenuh dengan daging hewan liar, dengan rasio energi 1:1 dari makanan nabati dan hewani. Eaton kemudian bekerja sama dengan Loren Cordain, seorang ahli fisiologi olahraga, yang mengklaim sebagai pendiri Gerakan Diet Paleo. Diet versi Cordain didasarkan pada daging yang diberi makan rumput, unggas, telur, makanan laut, buah-buahan, dan sayuran nontepung.
Cordain mengklaim nenek moyang kita tidak hanya kurus, tetapi juga tidak memiliki penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, kanker, penyakit autoimun, osteoporosis, jerawat, miopia, varises, refluks lambung atau asam urat. Dia mengaitkan hal ini dengan konsumsi biji-bijian, kacang-kacangan, produk susu, dan kentang.
Meski demikian, sebagian peneliti lain berbeda pendapat mengenai cara diet paleo yang tepat. Diet paleo dapat didukung karena kritik mereka terhadap makanan olahan yang kaya gula, lemak jenuh, dan garam yang mendominasi diet Barat modern. Namun, diet ini dianggap mengabaikan manfaat makanan nabati seperti biji-bijian dan kacang-kacangan. Dalam bukunya Paleofantasy, ahli biologi evolusioner Marlene Zuk menyanggah banyak argumen dari pengusung diet paleo.
Baca juga: Punan Batu, Pemburu Terakhir Kalimantan yang Kian Terdesak
Belajar dari Punan Batu
Di tengah kontroversi ini, menjadi menarik untuk belajar dari Punan Batu, kelompok pemburu peramu terakhir di Kalimantan yang masif aktif. Sebagaimana telah dibuktikan Pradiptajati Kusuma dari Mochtar Riyadi Institute for Nano Technology (MRIN) dan sejumlah kolaborator internasional di jurnal di Evolutionary Human Science (2022), pola hidup berburu meramu Punan Batu merupakan suatu tradisi kuno yang diwarisi turun-temurun dari leluhur mereka.
Untuk mengetahui kesehatan dan pola diet Punan Batu ini, peneliti genetik dari MRIN, Safarina G. Malik dan tim, telah mengumpulkan data dari 34 individu Punan Batu. Jumlah ini mencapai 30 persen dari seluruh anggota populasi Punan Batu di Sajau Benau.
Dari jumlah ini, didapatkan body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh rerata 20,65. Angka ini di kisaran BMI normal sebesar 18,5-25. ”Tidak ada orang Punan Batu yang mengalami obesitas. Semuanya langsing,” kata Safarina.
Sementara itu, pengukuran total kolesterol ≥200 mg/dL sebesar 17,6 persen, kolesterol baik atau HDL (high-density lipoprotein) <40 mg/dL sebesar 35.3 persen, trigliserida ≥150 mg/dL sebanyak 29.4 persen, dan LDL (low-density lipoprotein) ≥130 mg/dL sebanyak 17,6 persen.
Secara umum, populasi Punan Batu sangat sehat walaupun ada orang yang kadar kolesterolnya cukup tinggi. (Safarina G. Malik)
”Secara umum populasi Punan Batu sangat sehat walaupun ada orang yang kadar kolesterolnya cukup tinggi. Tetapi ini mungkin karena pemeriksaan kolesterolnya sewaktu dan saat diperiksa sebelumnya tidak puasa, jadi bisa bias,” kata Safarina.
Selain pola makan, menurut Safarina, tidak adanya obesitas di Punan Batu juga karena tingginya aktivitas fisik mereka. Hal ini ditunjukkan oleh Makruf, istri dan enam anaknya hidup berpindah-pindah di hutan hujan sekitar Sajau-Benau.
Hampir setiap hari Makruf dan keluarganya bergerak untuk mencari makanan. Makruf dan anak sulungnya bertugas memburu binatang dengan sumpit beracun dan senapan angin. Bahkan, hingga tengah malam, kerap kali mereka masih berburu binatang atau terkadang mencari ikan dengan tombak di sungai. Istri dan anak-anaknya mencari umbi-umbian, sayur, memancing ikan dan mencari kerang-kerangan di sungai.
Baca juga: Populasi Punan Batu Menurun
Umbi tubong ini merupakan satu dari beragam umbi-umbian hutan yang menjadi sumber karbohidrat kompleks bagi Punan Batu. Beberapa umbi lain yang juga dikonsumsi, di antaranya jaranang, abuk, abat, bahet, baritotung, tahi, tubong, dan ubi sajau.
”Makanan utama kami adalah daging buruan, selain umbi hutan. Dulu, saat masih banyak binatang, kalau dirata-rata porsi daging bisa lebih banyak dari umbi,” kata Makruf.
Ketersediaan daging buruan di populasi Punan Batu ini juga ditopang tradisi mereka untuk selalu berbagi hasil buruan. ”Kalau saya mendapatkan binatang, pasti dibagi ke keluarga dan saudara-saudara lain. Demikian juga, kalau mereka yang dapat, pasti kami mendapat bagian,” tuturnya.
Antropolog Santa Fe Institute yang meneliti Punan Batu, Stephen Lansing, mengatakan, berbagi binatang buruan merupakan salah satu ciri dari budaya pemburu peramu sebagaimana juga dipraktikkan pemburu Hadza di Afrika. Hal ini merupakan tradisi kuno yang memastikan setiap anggota kelompok mendapat asupan daging segar secara lebih rutin. Jika individualis, mereka akan kekurangan protein hewani karena berburu tidak mesti menghasilkan.
Masyarakat Punan Batu juga memiliki sejumlah tabu untuk tidak memburu binatang tertentu. ”Orangutan dilarang untuk diburu, kami anggap itu seperti saudara. Kami juga tidak berburu beruang dan macan dahan, ular berbisa, dan beberapa jenis burung yang menjadi penanda alam,” kata Makruf.
Adapun umbi-umbian hutan yang menjadi sumber karbohidrat kompleks ini kebanyakan merupakan kelompok uwi-uwian atau genus Dioscorea, di antaranya jaranang, abuk, abat, bahet, baritotung, tahi, tubong, dan ubi sajau. Umbi-umbian ini tumbuh di lantai hutan, sebagian di bebatuan, dan daun merambat di pepohonan.
Selain itu, mereka juga mengonsumsi sejenis pohon sagu atau palmae, di antaranya pohon jama, bahak, dan lelihi. Beberapa orang tua, seperti Asut, yang kira-kira sudah 70-an tahun, masih mengenal teknik mengekstrak pati sagu. Dia juga memiliki pengetahuan untuk memanen ulat sagu atau yang di Punan Batu disebut kuset, dengan menebang pohon sagu yang sudah dewasa dan membiarkannya di hutan atau pinggir sungai beberapa minggu.
Namun, anak-anak muda sudah jarang yang mengekstrak pati sagu. Mereka lebih sering memanen pohon sagu saat masih muda dan kemudian membakar umbutnya sehingga bisa langsung dikonsumsi.
Hampir seluruh diet Punan Batu ini bergantung pada hutan atau merupakan pangan liar yang segar, termasuk sayur dan buah-buahan musiman. Mereka tidak mengawetkan makanan atau melakukan fermentasi.
Untuk sayuran yang biasa dikonsumsi adalah pucuk dedaunan hutan, umbut, dan yang paling sering pakis dan daun singkong, tanaman yang mulai ditanam di beberapa lokasi, selain keladi. Sekalipun mereka mengonsumsi daunnya, menurut Makruf, Punan Batu cenderung jarang mengonsumsi umbi singkong.
Selama bergenerasi pola diet kuno ini dipraktikkan oleh populasi Punan Batu. Namun, belakangan mereka juga mulai mengenal beragam makanan dari luar, terutama beras dan gula, yang perlahan mengubah pola diet mereka. Beras dan gula ini biasanya dibeli dengan hasil hutan, terutama dari madu dan sarang walet.
Menyempitnya hutan dan cuaca yang tak menentu menurunkan ketersediaan sumber pangan liar juga mempercepat transisi pola diet Punan Batu. ”Binatang buruan semakin jarang. Beberapa tahun ini ada penyakit yang menyebabkan binatang liar di hutan mati. Umbi-umbian pun semakin kurang karena hutan berkurang,” kata Makruf.
Baca juga: Kerusakan Hutan dan Perubahan Iklim Mengancam Punan Batu
Saat ini Punan Batu memang berada di persimpangan jalan. Pola diet kuno mereka, yang turun-temurun berhasil menopang kesehatan mereka, kini menghadapi ancaman serius. Perubahan lingkungan dan paparan dunia luar memaksa mereka meninggalkan jalan pangan optimal dari leluhur mereka, sementara banyak masyarakat modern yang terobsesi dengan diet paleo mereka.