Punan Batu, Pemburu Terakhir Kalimantan yang Kian Terdesak
Sekitar 800 kilometer dari calon ibu kota baru, suku Punan Batu masih tinggal berpindah-pindah di hutan Bulungan. Namun, masa depan pemburu dan peramu terakhir Kalimantan itu terancam karena hutan yang menghilang.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Kompas/Ahmad Arif
Rombongan suku Punan Batu tengah berjalan menyusuri hutan di sekitar hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Kamis (19/10/2018). Suku pemburu dan peramu ini terancam oleh perusakan hutan dan perkebunan sawit yang menggusur ruang hidup mereka.
Ketika Presiden Joko Widodo berkemah di titik nol kilometer Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sekitar 800 kilometer dari sana ada populasi Punan Batu yang masih tinggal di hutan Bulungan. Untuk pertama kalinya, keberadaan pemburu terakhir Kalimantan ini dipublikasikan di jurnal ilmiah. Namun, komunitas ini terancam tidak bertahan lama lagi jika hutan terus menyusut.
Selama ini, keberadaan Punan Batu yang masih hidup berpindah-pindah di dalam hutan Kalimantan seolah hanya mitos. Bahkan, eksistensi populasi ini juga belum diakui negara. Nama Punan Batu pun tidak masuk dalam daftar Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial.
Meski demikian, penelitian genetika dan antropologi membuktikan bahwa Punan Batu merupakan komunitas yang berbeda dengan populasi lain di sekitarnya. ”Punan Batu bukan hanya memiliki budaya sendiri, melainkan juga genetika yang berbeda,” kata Pradiptajati Kusuma, peneliti genetika populasi, yang dulu bekerja di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman.
Keberadaan Punan Batu sebagai pemburu dan peramu terakhir di Kalimantan ditulis Pradiptajati dan tim di jurnal Evolutionary Human Science yang diterbitkan Cambridge University Press edisi Februari 2022. ”Ini publikasi pertama tentang Punan Batu di jurnal ilmiah. Semoga bisa membantu merekognisi dan menyelamatkan populasi yang sekarang terancam ini,” kata Pradiptajati.
Laporan penelitian itu ditulis bersama antropolog J Stephen Lansing dari Complexity Science Hub Vienna; Guy S Jacobs dari Departemen Arkeologi, University of Cambridge; Safarina G Malik dan Herawati Supolo Sudoyo dari LBE Eijkman; serta sejumlah peneliti lain.
Jejak Punan Batu awalnya diketahui tim peneliti LBM Eijkman yang dipimpin Herawati saat penelitian lapangan di Kalimantan Utara pada 2018. Dari orang-orang Punan Tubu Respen, yang sudah menetap di Kabupaten Malinau, mereka mendapatkan informasi tentang Punan Batu yang hidup berpindah-pindah di hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Kompas mengikuti perjalanan Pradiptajati dan tim saat melacak keberadaan Punan Batu ini dan untuk pertama kalinya akhirnya bisa ditemui di dalam hutan di hulu Sungai Sajau pada Oktober 2018. Dibutuhkan waktu sehari naik perahu menyusuri jeram-jeram Sungai Sajau dan sehari jalan kaki untuk sampai ke susunan goa karst yang menjadi tempat hunian mereka.
Setelah melalui beberapa kali perjumpaan, tim peneliti berhasil mengumpulkan data genetik Punan Batu. ”Secara genetik, Punan Batu berbeda dengan kelompok etnik Dayak di Kalimantan yang sudah kami teliti,” katanya.
Menurut Pradiptajati, Punan Batu tidak memiliki bauran DNA Austronesia yang umumnya ditemukan pada orang Dayak. ”Punan Batu memiliki ciri genetik Pra-Austronesia, yang sekitar 8.000 tahun lalu leluhur mereka kemungkinan sudah tiba di Kalimantan,” katanya.
Leluhur Punan Batu ini berasal dari Asia daratan (mainland Asia), sebagaimana orang Aslian di Malaysia, yang jika dirunut juga berbagi leluhur dengan orang Andaman yang bermigrasi puluhan ribu tahun lalu dari Afrika. Punan Batu kemudian mendapatkan tambahan bauran genetik dari leluhur Pra-Austronesia dari Asia Timur.
Selain dari sisi genetik, ciri khas Punan Batu juga bisa dilihat dari bahasa. Dalam percakapan sehari-hari, mereka memang menggunakan bahasa Punan Sajau, masuk dalam kelompok bahasa ”Central Sarawakan Austronesian” yang juga dipakai Punan atau Dayak. Meski demikian, Punan Batu juga memiliki bahasa kuno yang disebut bahasa Latala.
Bahasa Latala ini tidak dipahami kelompok Dayak lain atau bahkan Punan lain, biasanya dituturkan dalam nyanyian. Lansing, yang merupakan antropolog dan ahli bahasa, mengatakan, bahasa Latala ini merupakan kunstsprache, yaitu bahasa kuno yang pernah dipakai leluhur, tapi sekarang digunakan secara eksklusif untuk ekspresi tertentu, mirip dengan bahasa Yunani Homer, Latin, atau Jawa Kuno.
”Bahasa Latala di Punan Batu merupakan warisan budaya kuno, bukti lebih lanjut untuk sejarah demografis mereka yang berbeda,” tulis Lansing.
Kekhasan lain dari Punan Batu adalah teknik komunikasi menggunakan ranting dan dedaunan sebagai cara adaptasi tinggal dalam kelompok-kelompok kecil di hutan. Guy Arnold dalam laporannya di jurnal Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society pada 1958 telah mendokumentasikan, orang Penan di Sarawak juga menggunakan ranting untuk berkomunikasi dengan sesama di tengah hutan.
Misalnya, jika ada orang yang sakit, di jalan menuju goa tempat tinggal mereka akan ditaruh ranting dengan daun yang telah diberi lubang yang menandai identitas pasien guna memperingatkan kelompok mereka agar tidak mendekat.
Cara yang sama, dengan simbol berbeda, dibuat jika mereka membutuhkan bantuan, khususnya makanan. Jika kekurangan makan, mereka akan membuat tanda daun digulung sehingga kelompok lain bisa mengirim bantuan makanan. Salah satu ciri khas dari budaya pemburu dan peramu, sebagaimana juga dilakukan suku Hadza di Afrika, adalah berbagi hasil buruan.
A. Lokasi tempat tinggal Punan Batu di pedalaman hutan Kalimantan. B. Pergerakan Punan Batu di dalam hutan, berpindah-pindah untuk mengumpulkan makanan. Sumber: Stephen Lansing dkk. (Evolutionary Human Science, 2022).
Hidup dari hutan
Pradiptajati mengatakan, Punan Batu bisa dikatakan sebagai pemburu peramu terakhir di Kalimantan yang hidup mati mereka bergantung pada kelestarian hutan. Berbeda dengan Dayak yang memiliki budaya bertani, Punan Batu tidak memiliki budaya bercocok tanam. Mereka hidup sehari-hari mengandalkan hewan buruan, ikan sungai, serta umbi-umbian di hutan.
Sekalipun beberapa keluarga Punan Batu mulai belajar bercocok tanam, seperti menanam singkong dan pisang, jumlahnya sangat terbatas. Sebagian besar masih menganggap tabu bercocok tanam karena hal itu dianggap menyalahi budaya leluhur mereka.
Berdasarkan data genetik, populasi Punan Batu yang saat ini tinggal sekitar 100 orang menyusut secara drastis dalam 20 generasi terakhir.
Selain berburu dan meramu, sebagaimana masyarakat adat lain di Kalimantan, Punan Batu juga mengumpulkan hasil hutan tradisional untuk diperdagangkan, seperti sarang burung walet, gaharu, dan madu. Seabad yang lalu, Kesultanan Bulungan mendapat hak eksklusif atas sarang burung walet di kawasan yang dihuni Punan Batu ini dari Belanda.
Sejak itu, Punan Batu diwajibkan menjual hasil hutan ini kepada Kesultanan Bulungan. Hingga saat ini, Punan Batu masih berhubungan dengan para datuk keturunan Kesultanan Bulungan, yang menjadi penghubung mereka dengan dunia luar. Dari para datuk ini, Punan Batu mendapatkan berbagai peralatan, juga gula, garam, dan beras.
Masyarakat Punan Batu masih tinggal berpindah-pindah di goa-goa karst dan hutan di pedalaman Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, seperti terlihat pada Senin (15/10/2018). Mereka merupakan penghuni awal Kalimantan yang kini semakin terdesak oleh pembukaan hutan yang masif, terutama untuk penambangan dan konversi perkebunan sawit.
Untuk mengetahui pergerakan Punan Batu di hutan, Pradiptajati dan tim menitipkan GPS portabel dan akselerometer kepada beberapa kepala selama tiga periode yang masing-masing berlangsung sekitar empat minggu. Data pergerakan ini menunjukkan, orang Punan Batu rata-rata berpindah kamp setiap 8-9 hari, dengan jarak antarkamp rata-rata 4,5 kilometer.
Dibandingkan dengan pergerakan populasi pemburu peramu dalam dataset ”Binford Hunter Gatherer” yang menyimpan 332 kelompok populasi pemburu dan peramu di sembilan ekoregion, Punan Batu menunjukkan mobilitas yang sangat tinggi, tetapi jarak tempuh lebih pendek, yaitu 4,56 km dibandingkan dengan 8,58 km.
Data Binford menegaskan bahwa pergerakan jarak pendek yang sangat sering merupakan perilaku khas dari sebagian masyarakat pemburu-peramu hutan tropis. Dalam konteks ini, Punan Batu terus bergerak untuk mencari makanan di hutan, khususnya protein hewani.
”Hidup dan mati kami bergantung pada hutan,” kata Sandi, anak muda Punan Batu yang kami temui pada 2018. Dalam perjumpaan itu, Sandi mengeluhkan tentang menyempitnya hutan karena didesak oleh perkebunan sawit. Dia juga menitip pesan kepada Presiden Indonesia agar hutan yang menjadi tempat buruan mereka tetap dijaga. Sebab, tanpa hutan, Punan Batu tidak akan bertahan.
Kegelisahan Sandi ini beralasan. Pradiptajati mengatakan, berdasarkan data genetik yang dianalisis timnya, populasi Punan Batu yang saat ini tinggal sekitar 100 orang, menyusut secara drastis dalam 20 generasi terakhir. Tanpa ada intervensi, hanya soal waktu para pemburu dan peramu terakhir di Kalimantan ini tinggal cerita....