Kerusakan Hutan dan Perubahan Iklim Mengancam Punan Batu
Masyarakat Punan Batu yang telah hidup ribuan tahun di hutan Kalimantan saat ini terancam keberadaannya. Kerusakan hutan yang menjadi sumber makanan dan ruang hidup menjadi penyebab utamanya, selain perubahan iklim.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
AHMAD ARIF
Makruf, salah seorang anggota komunitas Punan Batu yang masih hidup secara berpindah-pindah di hutan sekitar Gunung Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Sabtu (3/9/2022). Punan Batu merupakan kelompok pemburu peramu terakhir yang masih aktif di Kalimantan, tetapi kehidupan mereka semakin terancam oleh menyempitnya hutan yang menjadi sumber makan dan tempat hidup.
BULUNGAN, KOMPAS — Kombinasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat Punan Batu, kelompok pemburu dan peramu yang masih aktif berpindah tempat di hutan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Menyempitnya hutan dan cuaca yang tak menentu menurunkan ketersediaan sumber pangan liar.
Menurunnya ketersediaan makanan itu disampaikan semua Punan Batu yang ditemui di sekitar Gunung Benau dan hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan, Kamis (1/9/2022) hingga Sabtu (3/9/2022). ”Sekarang umbi sudah berkurang, binatang buruan semakin sulit lagi. Terakhir makan daging bulan lalu,” kata Makruf, salah satu kepala keluarga Punan Batu.
Protein hewani merupakan komponen diet yang utama bagi Punan Batu. Di masa lalu, menurut Makruf, konsumsi daging bisa tiap hari. Namun sekarang rata-rata sebulan sekali atau bisa lebih jarang lagi. ”Sekarang lebih banyak ikan dari sungai,” kata Makruf.
Dalam setahun bisa tiga kali panen. Sekarang tidak ada hasil. Burung waletnya banyak yang pergi.
Mereka juga memakan dedaunan dan umbut atau tunas tanaman muda sebagai sayur, serta buah-buahan hutan. ”Dulu minimal setahun sekali ada musim buah. Tapi beberapa tahun ini tidak ada buah. Musim tak menentu,” kata Makruf.
Asut, salah seorang yang dituakan di Punan Batu, juga mengatakan, saat ini cuaca tidak menentu. Beberapa tahun ini tidak ada kemarau karena hujan terjadi terus-menerus. Hal ini menyebabkan tidak ada musim bunga dan buah. ”Madu hutan sudah berkurang,” katanya.
AHMAD ARIF
Masyarakat Punan Batu hidup berpindah-pindah di kawasan hutan sekitar Gunung Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, seperti terlihat Sabtu (3/9/2022). Komunitas pemburu dan peramu terakhir di Kalimantan ini biasanya tinggal di ceruk batu atau gubuk yang terbuat dari kayu. Mereka aktif berpindah selama 2-4 minggu dalam kelompok kecil, mengikuti ketersediaan makanan.
Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, selama tiga tahun terakhir telah terjadi La Nina di perairan Samudra Pasifik dan anomali memanasnya suhu perairan di Indonesia. Hal ini berdampak pada meningkatnya intensitas hujan dan kemarau yang lebih basah dari biasanya di berbagai wilayah Indonesia (Kompas, 22 Agustus 2022).
Perubahan lingkungan
Menurut Asut, perubahan lingkungan di sekitar tempat hidup mereka juga disebabkan berkurangnya hutan. ”Sekitar sini banyak perusahaan kayu dan sawit,” katanya.
Punan Batu biasa memakan aneka umbi hutan, seperti tubong, keriting, jaranang, serta keladi atau talas. Aneka tanaman umbi ini biasanya tumbuh di lantai hutan yang sehat dan butuh waktu bertahun-tahun sebelum umbinya bisa dikonsumsi.
Mereka juga mengolah pati sagu dari beberapa keluarga palmae antara lain dari pohon bahak, lelihi, jama. ”Kalau pohon sagu memang masih ada, tapi jarang yang mengolahnya, karena butuh waktu lama sampai bisa dimakan,” kata Asut.
Sejak beberapa dekade terakhir, Punan Batu juga mulai mengenal beras, yang dibawa para pedagang dari Bulungan, untuk ditukar dengan madu dan sarang burung walet yang banyak ditemukan di goa-goa karst, di sekitar tempat tinggal Punan Batu. Secara tradisional, sarang burung waret ini dikelola oleh keturunan Kesultanan Bulungan.
KOMPAS/AHMAD ARIF
Rombongan suku Punan Batu berjalan menyusuri hutan di sekitar hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara Kamis (19/10). Suku pemburu dan peramu ini terancam dengan perusakan hutan dan perkebunan sawit yang menggusur ruang hidup mereka.
Datuk Abdul Karim, salah seorang pewaris Kesultanan Bulungan yang sejak tahun 1970-an telah berinteraksi dan berdagang dengan Punan Batu, mengatakan, hasil madu dan sarang burung walet dari Punan Batu semakin berkurang. ”Dulu zaman nenek saya, sekali panen di Goa Benoa bisa dapat 25 kg sarang walet putih. Padahal dalam setahun bisa tiga kali panen. Sekarang tidak ada hasil. Burung waletnya banyak yang pergi,” katanya.
Karim menambahkan, di saat musim panen madu masyarakat Punan Batu bisa menghasilkan lebih dari 1.000 liter dari hutan di sekitar hulu Sungai Sajau dan Goa Benau ini. Namun, saat ini jumlahnya hanya dalam kisaran 100 liter. ”Tahun ini hasil panen madu lebih sedikit lagi,karena tidak ada bunga, tidak ada kemarau,” katanya.
Menurut Karim, kerusakan hutan telah berkontribusi terhadap penurunan hasil hutan. ”Kami berharap pengakuan masyarakat hukum adat untuk Punan Batu bisa dipercepat dan hutan di sini bisa dilindungi,” kata Karim, yang juga pengusul penetapan ini.
Sebelumnya dalam lokakarya yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Bulungan pekan lalu, tim peneliti dari MRIN, Santa Fe Institute, dan University of Cambridge telah memaparkan bukti sains mengenai genetika dan antroplogi Punan Batu yang berbeda dengan komunitas lain di Kalimantan. Pradiptajati Kusuma, peneliti MRIN, menyebutkan, Punan Batu tidak memiliki bauran genetika penutur Austronesia, yang membawa budaya bertani di kalangan masyarakat Dayak ataupun berbagai etnis lain di Indonesia.
Menurut Pradiptajati, ketiadaan gen penutur Austronesia ini membuat masyarakat Punan Batu tidak memiliki budaya membudidayakan tanaman. Kehidupan mereka tergantung pada ketersediaan pangan dari hutan, serta dari hasil hutan yang ditukar dengan makanan, terutama beras. Berdasarkan pemetaan yang dilakukannya, jumlah populasi Punan Batu yang masih ada di sekitar Gunung Benau sekitar 35 keluarga atau sekitar 103 jiwa. ”Punan Batu telah ada di Kalimantan sebelum kedatangan Austronesia. Setidaknya mereka sudah di sini sejak 7.000 tahun lalu atau lebih awal,” katanya.
Bupati Bulungan Syarwani telah menjanjikan tengah menyiapkan peraturan untuk mengakui masyarakat hukum adat Punan Batu, sekaligus wilayah adat di sekeliling Gunung Benau seluas 18.497 hektar.