Konsumsi pangan lokal tidak hanya baik bagi kesehatan dan ekonomi, tapi juga bagi Bumi. Transportasi makanan menyumbang 20 persen emisi dari sektor pangan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Aneka tanaman umbi-umbian dijajakan di pasar tradisional Waingapu, ibu kota Sumba Timur, Kamis (1/2). Keragaman pangan lokal saat ini semakin tergusur oleh kebijakan nasional yang bias beras.
Konsumsi pangan lokal memiliki manfaat yang baik untuk kesehatan tubuh karena bisa lebih segar tanpa harus melalui proses pengawetan sehingga nutrisinya lebih terjaga. Lebih dari itu, memilih pangan lokal juga baik bagi Bumi karena 20 persen emisi dari makanan dihasilkan oleh pengiriman, melebihi dari proses produksi.
Manfaat pangan lokal telah banyak dijelaskan dari aspek nutrisi ataupun sosial ekonomi. Dari aspek nutrisi, makanan lokal, terutama buah dan sayuran, biasanya memiliki kelebihan karena bisa lebih segar. Padahal, sayuran dan buah biasanya memiliki masa simpan yang terbatas sehingga semakin pendek rantai pasoknya, pasti semakin baik.
Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa makanan lokal menciptakan lebih banyak kegiatan ekonomi di suatu daerah daripada makanan yang diproduksi dan diimpor dari sumber nonlokal. Selain memberikan efek pengganda, yang berkontribusi pada peningkatan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat lokal, saat kita membeli makanan lokal, uang kita kemungkinan besar akan terus beredar dalam perekonomian lokal.
Tak hanya dari aspek nutrisi dan ekonomi, makanan lokal ternyata juga sangat baik bagi lingkungan, terutama dalam hal ini menyangkut upaya mitigasi perubahan iklim. Studi terbaru yang dilakukan Mengyu Li dari The University of Sydney dan tim di jurnal Nature Food pada 20 Juni 2022 menunjukkan, memiliki sumbangan sangat besar emisi dari sistem pangan.
Kajian dilakukan dengan menghitung jejak karbon berdasarkan jarak tempuh makanan dengan menggunakan kerangka kerja akuntansi multikawasan global. ”Kami menghitung jarak tempuh makanan berdasarkan negara serta sektor asal dan negara tujuan, dan membedakan jarak transportasi internasional dan domestik yang relevan serta massa komoditas,” tulis Li.
Secara global, makanan bertanggung jawab atas sekitar 16 miliar ton emisi gas rumah kaca setiap tahun atau sekitar 30 persen dari total emisi karbon yang dihasilkan manusia. Sumber emisi makanan termasuk dari transportasi, perubahan penggunaan lahan (seperti menebang pohon), dan proses produksi.
Ketika seluruh rantai pasokan makanan hulu dipertimbangkan, jarak tempuh makanan global setara dengan sekitar 3 gigaton setara CO2. Ini berarti transportasi menyumbang sekitar 19 persen dari total emisi sistem pangan, yang berasal dari transportasi, produksi, dan perubahan penggunaan lahan.
Transportasi kargo global yang terkait dengan konsumsi sayur dan buah menyumbang 36 persen dari emisi jarak tempuh makanan, hampir dua kali lipat jumlah gas rumah kaca yang dilepaskan selama produksinya. Sayuran dan buah memerlukan transportasi yang dikontrol suhu yang mendorong emisi jarak tempuh makanan mereka lebih tinggi.
Sumbangan emisi dari transportasi makanan dalam konteks emisi keseluruhan. Sumber: Universitas Sydney
Dominasi negara kaya
Dalam kajian ini, para peneliti menganalisis jejak emisi yang mencakup 74 negara asal dan tujuan pengiriman makanan. Sedangkan yang dianalisis meliputi 37 sektor ekonomi (seperti sayuran dan buah-buahan; peternakan; batubara; dan manufaktur); jarak transportasi internasional dan domestik; serta massa makanan.
Secara keseluruhan, negara-negara berpenghasilan tinggi merupakan kontributor yang tidak proporsional terhadap emisi mil makanan. Jumlah mereka hanya 12,5 persen dari populasi dunia, tetapi menghasilkan 46 persen dari emisi mil makanan internasional.
Sejumlah ekonomi besar dan berkembang mendominasi perdagangan pangan dunia. China, Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Timur adalah pengimpor bersih besar jarak tempuh dan emisi makanan, menunjukkan permintaan makanan di sana jauh lebih tinggi daripada yang diproduksi di dalam negeri.
Sedangkan pengekspor makanan terbesar adalah Brasil, diikuti Australia, India, dan Argentina. Australia adalah produsen utama berbagai buah dan sayuran yang diekspor ke seluruh dunia. Sebaliknya, negara-negara berpenghasilan rendah dengan sekitar setengah populasi global hanya menyebabkan 20 persen emisi transportasi makanan.
Secara global, makanan bertanggung jawab atas sekitar 16 miliar ton emisi gas rumah kaca setiap tahun atau sekitar 30 persen dari total emisi karbon yang dihasilkan manusia.
Ahli ekologi nutrisi dan anggota tim penulis dari The University of Sydney, David Raubenheimer, dalam keterangan tertulis mengatakan, ”Sebelum penelitian kami, sebagian besar perhatian dalam penelitian makanan berkelanjutan adalah pada emisi tinggi yang terkait dengan makanan yang berasal dari hewan, dibandingkan dengan tanaman.”
Studi ini menunjukkan bahwa transportasi memiliki peran sangat vital untuk menurunkan emisi. ”Untuk mengurangi dampak lingkungan dari makanan, pergeseran ke arah makanan nabati harus digabungkan dengan lebih banyak barang yang diproduksi secara lokal, terutama di negara-negara makmur,” tulis Li.
Para peneliti juga menghitung pengurangan emisi jika populasi global hanya makan lokal mencapai 0,38 gigaton. Meskipun mereka mengakui skenario ini tidak realistis, misalnya, karena banyak daerah tidak dapat swasembada pangan, hal itu dapat diterapkan pada tingkat yang berbeda-beda. ”Misalnya, ada potensi yang cukup besar untuk pertanian pinggiran kota untuk memberi makan penduduk perkotaan,” kata anggota tim penulis, Manfred Lenzen.
Selain itu, negara-negara kaya dapat mengurangi emisi transportasi makanan mereka melalui berbagai mekanisme. Ini termasuk berinvestasi dalam sumber energi yang lebih bersih untuk kendaraan dan memberikan insentif pada bisnis makanan untuk menggunakan metode produksi dan distribusi yang lebih sedikit emisi, seperti pendingin alami.
”Baik investor maupun pemerintah dapat membantu dengan menciptakan lingkungan yang mendorong pasokan makanan berkelanjutan,” kata Lenzen.
Namun, penawaran didorong oleh permintaan. Artinya, konsumen memiliki kekuatan tertinggi untuk mengubah situasi ini.
”Mengubah sikap dan perilaku konsumen terhadap pola makan berkelanjutan dapat menuai manfaat lingkungan dalam skala terbesar,” ucap Raubenheimer.
Salah satu contoh adalah kebiasaan konsumen di negara-negara kaya yang menuntut makanan musiman sepanjang tahun. ”Makan alternatif musiman lokal, seperti yang kita miliki sepanjang sebagian besar sejarah spesies kita, akan membantu menyediakan planet yang sehat untuk generasi mendatang,” katanya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Berbagai jenis buah, baik impor maupun lokal, yang dijual pedagang di Pasar Senen, Jakarta, Rabu (17/7). Buah impor mulai banyak dijual pedagang setelah dibukanya keran impor hortikultura untuk semester II-2013. Hal ini membuat harga buah impor turun. Sedangkan buah lokal, seperti mangga, masih mahal karena pasokan yang masih terbatas.
Tergantung impor
Untuk Indonesia, yang memiliki keberlimpahan sayur-mayur dan musim buah yang berganti-ganti hampir sepanjang tahun, seharusnya bisa memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Faktanya, semakin banyak pasar buah dan sayur kita juga didominasi produk impor.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik September 2019, rata-rata konsumsi buah masyarakat Indonesia hanya 41,95 kkal per kapita per hari atau sekitar 67 gram per kapita per hari. Angka tersebut masih jauh di bawah rekomendasi konsumsi buah oleh WHO, yaitu 150 gram per kapita per hari.
Lebih mengenaskan lagi, dari aspek perdagangan, saat ini neraca perdagangan buah-buahan Indonesia defisit Rp 19,1 triliun. Besarnya defisit ini dipengaruhi terutama oleh impor empat jenis buah-buahan, yaitu anggur, apel, jeruk, dan pir, dengan total nilai impor Rp 16,7 triliun. Sedangkan untuk jenis buah-buahan yang memberikan kontribusi ekspor yang besar adalah manggis, nanas, pisang, salak, dan mangga dengan nilai Rp 986,1 miliar.
Kembali ke manfaat pangan lokal. Perlu dibangun kesadaran bersama bahwa aneka pangan lokal yang bisa dihasilkan petani dan lingkungan sekitar kita, selain sehat untuk tubuh, ekonomi, juga untuk Bumi kita....