RUU Perampasan Aset dan Agenda Pemberantasan Korupsi
Pendekatan "follow the money" penting untuk diprioritaskan dalam rangka menghilangkan motivasi koruptor dalam melakukan kejahatan dengan cara menghalangi koruptor untuk menikmati hasil kejahatannya.
Oleh
NEFA CLAUDIA MELIALA
·4 menit baca
Pendekatan follow the suspect yang bertujuan menghukum pelaku dengan pidana badan sudah tidak efektif lagi digunakan untuk tindak pidana korupsi yang merupakan white collar crime. Pendekatan model ini dalam praktiknya kerap kali dihadapkan kepada kesulitan dalam membuktikan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban auktor intelektualisnya.
Pendekatan follow the money yang diperkuat melalui Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) muncul karena ternyata aset hasil kejahatan merupakan “darah yang menghidupi kejahatan” dan menjadi titik terlemah dari suatu kejahatan yang paling mudah menghubungkan kejahatan dengan pelakunya. Aset cenderung lebih mudah untuk ditelusuri, disita, dan dirampas untuk negara.
Perubahan dari pendekatan follow the suspect menjadi follow the money penting untuk diprioritaskan dalam rangka menghilangkan motivasi koruptor dalam melakukan kejahatan dengan cara menghalanginya untuk menikmati hasil kejahatan tersebut. Hari Anti Korupsi Sedunia yang diperingati setiap 9 Desember menjadi momen untuk kembali mendiskusikan RUU Perampasan Aset dalam mendukung agenda pemberantasan korupsi.
Secara umum perampasan aset dapat diartikan sebagai tindakan negara untuk mengambil harta kekayaan seseorang yang ilegal karena merupakan hasil kejahatan untuk kemudian menjadi milik negara atau dikembalikan kepada seseorang yang berhak.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sesungguhnya sudah mengatur mengenai perampasan aset baik secara pidana maupun perdata. Perampasan aset secara pidana diatur diantaranya dalam ketentuan Pasal 18, 38 ayat (1), 38 ayat (5), dan 38 B. Sementara itu, perampasan aset secara perdata diatur dalam ketentuan Pasal 32, 33, 34, dan 38 C.
Mekanisme perampasan aset dalam UU Tipikor yang dilakukan baik secara pidana maupun perdata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses peradilan pidana atas seseorang (perampasan aset in personam). Persoalan mendasar yang kemudian muncul adalah sebelum perampasan aset melalui jalur pidana dapat dilakukan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) wajib membuktikan terjadinya tindak pidana.
Demikian pula halnya apabila jalur perdata yang hendak ditempuh, Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan juga wajib membuktikan terjadinya perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara yang timbul. Jelas pembuktian hal-hal tersebut bukan perkara mudah. Kompleksitas pembuktian ini terjadi karena undang-undang memang tidak memisahkan persoalan kepemilikan aset dengan tindak pidana.
Selain UU Tipikor, perampasan aset versi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga menjadi penting untuk dilihat dalam kaitannya dengan agenda pemberantasan korupsi.
Selain UU Tipikor, perampasan aset versi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga menjadi penting untuk dilihat dalam kaitannya dengan agenda pemberantasan korupsi karena sangat mungkin tipikor menjadi tindak pidana asal (predicate crimes) dari TPPU sehingga keduanya dapat di dakwaan secara kumulatif walaupun dalam praktiknya penggunaan UU TPPU dalam kasus korupsi masih belum optimal.
Undang-Undang TPPU memang sudah menggunakan paradigma follow the money. Namun demikian, pengaturan mengenai hal tersebut masih sangat terbatas dalam hal penundaan atau penghentian sementara transaksi yang diketahui atau patut diduga menggunakan atau merupakan harta kekayaan hasil tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal 65-67.
Pengaturan perampasan aset tanpa pemidanaan
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai konsekuensi logis dari ratifikasi tersebut, Indonesia harus menyesuaikan aturan hukum nasionalnya dengan UNCAC yang dalam hal ini diakomodasi dalam RUU Perampasan Aset. Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC pada prinsipnya menegaskan kewajiban negara peserta untuk mengatur mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture/NCB) terhadap harta kekayaan yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana dalam hal terdakwa tidak dapat dituntut karena alasan meninggal dunia, melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya.
Terdapat setidaknya beberapa prinsip mendasar dalam NCB yang membedakannya dengan perampasan aset in personam. Pertama, NCB memisahkan antara kepemilikan aset dengan tindak pidana. Kedua, dalam NCB, yang menjadi fokus utama adalah aset, bukan pelaku.
Ketiga, kesalahan yang ada pada diri pelaku serta perbuatannya bukanlah hal esensial, yang terpenting adalah aset yang akan dirampas merupakan hasil kejahatan atau harta kekayaan yang tidak wajar yang dianggap mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana. Keempat, dalam konsep NCB, penuntut umum cukup mengajukan permohonan secara perdata (in rem) kepada hakim untuk memeriksa dan mengadili permohonan perampasan aset yang diduga kuat diperoleh secara melanggar hukum.
Catatan
Apabila RUU ini disahkan, pelatihan khusus untuk penegak hukum menjadi penting untuk dilakukan mengingat dalam konsep NCB terjadi perubahan paradigma dalam melihat kejahatan. Selain itu, mengingat tipikor merupakan kejahatan trans nasional, agenda pemberantasan korupsi termasuk didalamnya mekanisme perampasan aset juga tentunya harus diperkuat dengan aspek kerja sama internasional.
Nefa Claudia Meliala, Pengajar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan