Setiap Tahun, Sebanyak Rp 37.284 Triliun Hilang akibat Korupsi
Parlemen wajib turut serta dalam gerakan antikorupsi. Di antaranya dengan menghilangkan hambatan pemulihan aset hasil korupsi dan memperkuat kemauan politik dalam upaya pengembalian aset korupsi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Forum Parlemen Dunia mendorong penguatan peran lembaga legislatif dalam pemulihan aset hasil korupsi. Kemauan politik dibutuhkan untuk menghilangkan semua hambatan yang ada dalam mengembalikan harta hasil korupsi.
Kepala Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon dalam diskusi panel ”Kerja Sama Internasional untuk Penuntutan Korupsi dan Pemulihan Aset” sebagai rangkaian agenda Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-144 di Bali International Convention Center (BICC), Kabupaten Badung, Bali, Selasa (22/3/2022), mengatakan, korupsi transnasional merupakan salah satu kejahatan yang paling kompleks, sistemik, serta berdampak pada negara berkembang.
Setiap tahun, sebanyak 2,6 triliun dollar AS (Rp 37.284,65 triliun dengan kurs berlaku saat ini) atau lebih dari 5 persen dari total produk domestik bruto (PDB) global hilang akibat korupsi. Namun, hingga saat ini, pengembalian aset hasil korupsi itu belum optimal.
Merujuk data Stolen Asset Recovery Initiative, saat ini terdapat aset senilai 12,5 miliar dollar AS yang terdaftar sebagai bagian dari inisiatif pemulihan aset. Akan tetapi, dari total nilai tersebut, baru 1,8 miliar dollar AS yang sudah dikembalikan kepada korban. Sementara itu, 888,7 juta dollar AS masih dalam proses pengadilan dan 10,3 miliar dollar AS masih dibekukan dan menunggu proses finalisasi. Mayoritas ada dalam proses bertahun-tahun.
Dalam konteks tersebut, parlemen memiliki kewajiban moral untuk turut serta dalam gerakan antikorupsi. Tidak hanya dengan menghukum koruptor, tetapi juga mengembalikan setiap aset yang terampas oleh korupsi. ”Banyak yang harus dilakukan parlemen, termasuk menghilangkan hambatan pemulihan aset dan memperkuat kemauan politik untuk mengembalikan aset hasil korupsi dengan benar,” kata Fadli.
Ia menambahkan, hal itu dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, di antaranya memperkenalkan reformasi legislatif dengan penerapan pemulihan aset yang tidak diakui (non-conviction based asset), memberikan dasar hukum kuat untuk berbagai jenis bantuan hukum bersama (mutual legal assistance/MLA), dan meningkatkan komitmen politik untuk memulihkan aset dengan bekerja sama serta memobilisasi dukungan lintas partai.
Selain itu, parlemen juga dapat mengembangkan sistem pemantauan nasional terhadap proses pemulihan dan penggunaan dana atau aset yang dikembalikan ke negara.
”Parlemen juga perlu membentuk satuan tugas atau kelompok kerja khusus di badan legislatif untuk mendukung mekanisme dan pengawasan pemulihan aset,” ujar Fadli yang juga menjabat sebagai pemimpin Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) dan Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC).
Kerja sama internasional
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif yang hadir sebagai pembicara diskusi menambahkan, kerja sama internasional juga perlu diperhatikan untuk memberantas korupsi lintas batas. Sebab, mekanisme yang ada dan pernah dilakukan KPK, misalnya kerja sama antarlembaga, MLA, saluran Interpol, dan mekanisme deportasi, belum mampu menangani kasus korupsi sebagai kejahatan yang bergerak cepat.
Contohnya, dalam pengejaran Nazarudin, mantan terpidana korupsi Wisma Atlet, kerja sama internasional yang dilakukan membutuhkan waktu lama sehingga pengejaran menjadi lebih lambat.
Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar parlemen dunia menginisiasi kerja sama yang riil untuk memberantas korupsi lintas batas. Selain itu, diperlukan pula penghapusan negara-negara surga pajak dan dorongan untuk pembangunan pengadilan antikorupsi internasional.
”Sanksi internasional untuk negara yang tidak kooperatif dalam investigasi korupsi lintas batas dan pemulihan aset juga diperlukan,” ujar Laode.
Namun, lebih dari itu, menurut dia, gerakan antikorupsi harus dimulai dari dalam negeri dengan terus memastikan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif bebas dari korupsi. Perumusan Undang-Undang Perampasan Aset juga perlu dipercepat.
”Selain itu, perlu ada penguatan kapasitas dan independensi dari KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menginvestigasi berbagai kasus korupsi politik,” katanya.
Seusai diskusi, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk terus mendukung pemberantasan korupsi. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa penindakan tindak pidana korupsi harus selalu dilakukan berdasarkan hukum.
Terkait dengan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, ia mengatakan, setiap proses legislasi membutuhkan proses. Semua rancangan undang-undang (RUU) yang akan dibahas harus lebih dulu masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, ia tidak menjelaskan apakah RUU Perampasan Aset akan masuk dalam Prolegnas 2022.