Budaya adalah kapital yang paling potensial karena sudah ada dalam diri bangsa ini. Karena itu, kebudayaan pun harus menjadi sektor yang diprioritaskan oleh negara, seperti pendidikan dan kesehatan.
Oleh
PANDU WIJAYA SAPUTRA
·4 menit baca
Konferensi Tingkat Tinggi G20 telah selesai dengan menghasilkan kesepakatan penting dari para pemimpin yang hadir. Ada 52 poin deklarasi yang meliputi berbagai isu, mulai dari penguatan kerja sama ekonomi, komitmen perdamaian, ekosistem digital, hingga soal ketenagakerjaan dan korupsi. Dari seluruh deklarasi tersebut, satu yang khusus berbicara tentang budaya, yakni ada poin 45. Menariknya, poin itu menyebut istilah yang jarang diperbincangkan orang, yaitu ekonomi budaya.
Para pemimpin yang hadir mendukung insentif publik dan investasi swasta di sektor ekonomi budaya. Kesepakatan terkait ekonomi budaya ini dapat dikatakan sebagai sebuah kesuksesan dan keuntungan besar bagi Indonesia. Kita berhasil membawa kepentingan lokal-nasional kita ke ranah global hingga menjadi sebuah kesepakatan.
Lalu, kenapa kesepakatan sektor ekonomi budaya ini penting bagi kita?
Saat ini dunia berhadapan dengan berbagai tantangan baru, mulai dari krisis iklim hingga revolusi teknologi digital. Konflik global berkepanjangan dan dampak pandemi pun membuat pemulihan berbagai sektor berlangsung lambat.
Di Indonesia, kita masih dihadapkan kepada masalah sumber daya alam (SDA) yang kian menipis. Minyak, misalnya, cadangan minyak Indonesia diprediksi akan habis pada tahun 2030 jika tidak ditemukan lagi penemuan sumber minyak baru. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang selalu menjadi jargon setiap pemerintah pun masih abu-abu arah dan hasilnya.
Dalam ekonomi dikenal konsep yang disebut sumber daya modal, yaitu segala macam alat yang dimiliki guna terciptanya proses produksi barang dan jasa. Sumber daya modal ini bisa berupa uang, barang, teknologi, infrastruktur, pengetahuan, dan sebagainya. Dalam konsep Schumacher (1987), SDA pun adalah bagian dari sumber daya modal. Semua modal tersebut adalah bahan bakar agar ekonomi bisa bergerak.
Menariknya, Indonesia memiliki modal yang berlimpah, original, dan unik, tetapi tak kita sadari. Modal ini telah ditanam dalam masyarakat selama sekian generasi. Modal ini bernama budaya.
Budaya adalah kapital yang paling potensial karena tidak perlu dicari di mana-mana, ia sudah ada dalam diri bangsa. Modal ini bahkan pernah disebut oleh Presiden Jokowi sebagai DNA bangsa Indonesia.
Apa yang sudah dilakukan oleh sebagian negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan Taiwan sehingga mampu mengakselerasi pembangunan negerinya tak lain karena mereka mampu mengapitalisasi kekayaan budaya mereka. Mereka mampu menciptakan produk kebudayaan baru yang kontekstual dengan modernisasi dan bernilai ekonomi tinggi berbasis potensi budaya lokal yang mereka punya.
Jepang, Korea Selatan, China, dan Taiwan mampu mengakselerasi pembangunan negerinya tak lain karena mereka mampu mengapitalisasi kekayaan budaya mereka.
Dengan kapitalisasi budaya, negara-negara tersebut tak hanya memperoleh keuntungan ekonomi, tetapi juga dapat bercerita pada dunia tentang negaranya, budayanya, dan keunikannya. Lebih dari itu, mereka telah menciptakan ruang untuk mengkampanyekan keragaman budaya, inklusivitas, dan kemanusiaan. Semua itu menjadi value tak ternilai yang merupakan multiplier efek dari ekonomi budaya.
Sebagaimana negara-negara tersebut, kita pun bisa membangkitkan ekonomi dengan modal budaya kita yang bahkan jauh lebih kaya dari mereka.
Barang publik dan terbarukan
Sejak tahun 2012, UNESCO telah mendorong agar kebudayaan menjadi pendorong dan penggerak pembangunan. Kebudayaan diyakini adalah alternatif solusi dari segala pembangunan agar lebih menjamin hidup yang berkelanjutan.
Konferensi dunia UNESCO tentang kebijakan kebudayaan atau Mondiacult yang beberapa waktu lalu diadakan di Meksiko pun menghasilkan perspektif baru dalam melihat kebudayaan, yaitu sebagai barang publik. Sebagai barang publik, kebudayaan pun harus menjadi sektor yang diprioritaskan oleh setiap negara, seperti pendidikan dan kesehatan. Kebudayaan dapat menjadi wahana yang membawa kesepahaman dan penghargaan satu sama lain untuk mewujudkan keberadaban dan perdamaian.
Hilmar Farid dalam tulisannya di Kompas (7/10/2022) menyebut kebudayaan yang diwariskan akan terus diperbaharui dengan inovasi dan akan dapat menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Artinya, kebudayaan sejatinya adalah sumber daya yang sangat mudah diperbarui dan efisien.
Pendanaan
Partisipasi global dapat menjadi akselerator industri budaya Indonesia agar sampai ke level dunia khususnya dengan cara kolaborasi serta pendanaan publik dan investasi swasta.
Meski terkesan oportunis, kita tahu sejak dahulu pemerintah dan swasta di dalam negeri belum mampu memprioritaskan pendanaan yang maksimal untuk sektor seni budaya. Apalagi, sekarang seni budaya menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi sehingga pemulihannya pun harus dilakukan secara ekstra.
Hasil Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) 2018 pun menunjukkan dimensi ekonomi budaya berada pada angka terendah dibandingkan dimensi lain. Artinya, dapat dikatakan bahwa orang sulit mengandalkan sektor seni budaya sebagai sumber ekonomi dibandingkan sektor lain. Maka, pendanaan di bidang ini penting sebagai stimulus dan pendorong bergeraknya ekonomi budaya kita.
Kebudayaan sebagai modal, barang publik, dan sumber daya yang mudah terbarukan menjadi alasan kenapa ia harus menjadi basis pembangunan. Dalam logika ekonomi, hal itu pun sangat rasional untuk diwujudkan. Investasi di bidang ekonomi budaya tergolong aman dan memiliki daya sintas untuk mencapai return of investment. Selain itu, ia menjamin pembangunan yang menunjang hidup berkelanjutan.
Namun, satu hal yang harus disadari bahwa hasil investasi dari kebudayaan tidak pernah cepat. Bahkan, bukan kita yang mungkin menikmati, melainkan anak dan cucu kita. Fakta ini yang barangkali tidak siap dihadapi oleh mereka yang hanya melihat investasi dengan logika kalkulatif dan demi hasil yang instan.
Pandu Wijaya Saputra, Peminat Kajian Sosial dan Budaya