Beras merupakan bahan pangan utama masyarakat Indonesia. Karena itu, terlalu riskan menggantungkan ketersediaan beras di dalam negeri dari pasar dunia yang terbatas.
Oleh
ERIZAL JAMAL DT TUMANGGUANG
·5 menit baca
Salah satu kado istimewa bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo, saat ulang tahun kemerdekaan tahun ini, diterimanya Certificate of Acknowledgement dari International Rice Research Institute (IRRI), atas keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada beras. IRRI memberikan pengakuan terhadap sistem pertanian dan pangan yang tangguh, serta swasembada beras tahun 2019-2021.
Apabila merujuk batasan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO (1999), konsep swasembada atau food self-sufficiency is generally taken to mean the extent to which a country can satisfy its food needs from its own domestic production (sejauh mana suatu negara dapat memenuhi kebutuhan pangannya dari produksi dalam negerinya sendiri).
Konsep ini digunakan sejak era tahun 1970-an, setelah terjadi krisis pangan hebat pada masa itu. Upaya pencapaian swasembada mendapat dukungan berbagai forum kebijakan internasional, seperti Konferensi Pangan Dunia II tahun 1974.
Kebijakan swasembada agak meredup selama tahun 1980-an sampai tahun 2000. Hal ini karena murahnya harga pangan dunia dan banyak negara mengembangkan komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif di pasar ekspor. Peningkatan harga pangan dunia tahun 2007-2008, dan pada saat bersamaan gerakan untuk pencapaian kedaulatan pangan banyak disuarakan, maka pencapaian swasembada kembali banyak dilirik di berbagai belahan dunia.
Kenapa perlu swasembada
Pemerintah Indonesia sejak era Orde Lama telah mencanangkan pencapaian swasembada sebagai tujuan pembangunannya. Pada masa itu, ada program Kesejahteraan Kasimo dan pengembangan Program Padi Sentra. Program Kesejahteraan Kasimo disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan IJ Kasimo. Program ini berupa rencana produksi tiga tahun (1948-1950) untuk mencapai swasembada pangan.
Ada lima unsur dari rencana Kasimo ini, salah satunya berupa upaya menanami tanah kosong di Sumatera Timur seluas 281.277 hektar. Pada 1959, muncul program Padi Sentra yang menargetkan pencapaian swasembada beras pada 1963. Karena ketidakstabilan situasi dan pemerintahan saat itu, semua upaya ini belum membuahkan hasil.
Didukung dengan upaya intensifikasi besar-besaran, melalui program Bimbingan Massal (Bimas), akhirnya pada 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Pemerintahan Orde Baru melanjutkan upaya pencapaian swasembada. Upaya ini bersamaan dengan gerakan revolusi hijau, yang ditandai ditemukannya varietas unggul baru padi yang responsif terhadap pemupukan. Didukung dengan upaya intensifikasi besar-besaran, melalui program Bimbingan Massal (Bimas), akhirnya pada 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Keberhasilan ini diakui oleh FAO dan Presiden Soeharto menerima langsung plakat From Rice Importer to Self Sufficiency dari Dirjen FAO pada 14 November 1985. Menariknya lagi, itu pertama kali FAO memberikan penghargaan untuk suatu negara yang mencapai swasembada.
Bahan pangan utama
Pertanyaannya sekarang, kenapa kita menargetkan pencapaian swasembada beras? Beras merupakan bahan pangan utama masyarakat Indonesia saat ini. Bersamaan dengan gencarnya upaya pencapaian swasembada beras, maka terjadi juga gerakan beras-nisasi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Persentase masyarakat yang menjadikan beras sebagai sumber pangan utama meningkat, termasuk di wilayah yang secara historis pangan pokoknya bukan beras, seperti Maluku dan Papua. Saat ini, kebutuhan beras untuk konsumsi sekitar 30 juta ton per tahun atau 2,5 juta ton per bulan.
Kebutuhan beras di dalam negeri tercukupi dari produksi padi di areal seluas 10,9 juta hektar, yang diusahakan 13,1 juta rumah tangga pertanian. Produksi padi Indonesia termasuk tiga besar di dunia, setelah China dan India.
Secara keseluruhan, menurut data IRRI (2019), produksi padi dunia mencapai 750 juta ton atau setara beras 500 juta ton. Dari jumlah ini, yang diperdagangkan di pasar dunia hanya sekitar 45 juta ton atau sekitar 9 persen dari total beras yang ada, jauh lebih kecil dari kedelai yang diperdagangkan mencapai 43,6 persen dan gandum yang diperdagangkan sekitar 20 persen.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, beras termasuk pangan pokok tertentu. Komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi sebagian masyarakat Indonesia, di mana kalau ketersediaan dan harganya terganggu akan memengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Ini merupakan alasan utama kenapa kita perlu swasembada beras.
Alasan lain perlunya swasembada beras, ditinjau dari ketersediaan beras di pasar dunia. Terlalu riskan menggantungkan ketersediaan beras di dalam negeri dari pasar dunia yang terbatas. Selain alasan di atas, secara frontier penguasaan teknologi padi di tingkat petani kita relatif baik, yang ditandai dengan produktivitas petani. Saat ini di tingkat ASEAN, produktivitas kita hanya sedikit di bawah Vietnam. Kondisi ini membuat petani yang mengusahakan padi, masih memiliki keunggulan komparatif dalam budidaya padi.
Dasar penetapan swasembada
Selain beras, pemerintah menargetkan swasembada untuk beberapa komoditas lainnya, seperti cabai, bawang merah, bawang putih, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Untuk cabai dan bawang merah, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia sudah swasembada. Sementara untuk gula, kedelai, dan daging sapi telah ditetapkan swasembada beberapa kali dan sampai saat ini kita belum mampu mencapainya.
Gula konsumsi ditargetkan swasembada pada 2007, kemudian direvisi menjadi 2009, ditetapkan lagi tahun 2014, tahun 2019, dan terakhir menurut Kompas (1 Oktober 2022), pemerintah tengah menyusun peraturan presiden untuk pencapaian swasembada gula lagi pada tahun 2025. Untuk kedelai pencapaian swasembada ditargetkan mulai 2011, kemudian dicanangkan lagi pada 2014, 2017, 2020, dan 2026. Hal yang sama untuk daging sapi, ditargetkan untuk swasembada pada tahun 2005, 2010, 2014, 2019, dan 2026.
Apabila kita cermati dari tahun penetapan pencapaian swasembada, umumnya ditargetkan pada akhir masa pemerintahan lima tahunan. Evaluasi terhadap pencapaian target belum dilakukan dengan baik,dan tidak punya konsekuensi apa pun pada pihak yang menetapkan target. Padahal, kita tahu, dari penetapan swasembada, ada dana khusus yang dialokasikan pemerintah dalam berbagai bentuk kegiatan.
Ke depan, penetapan suatu komoditas untuk swasembada, selain karena masuk kategori pangan pokok tertentu, maka harus memperhatikan empat hal berikut. Pertama, dilihat dari ketersediaan dan keterjangkauan komoditas tersebut di pasar dunia, serta adanya komoditas substitusi di dalam negeri.
Kedua, juga perlu memperhatikan tingkat penguasaan teknologi petani dan keunggulan komparatifnya. Untuk kedelai, misalnya, produktivitas di tingkat petani rendah dan secara komparatif selalu kalah dari komoditas seperti jagung, yang bersaing untuk ditanam di lahan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, penetapan swasembada kedelai jelas tidak mendukung ke arah efisiensi dan efektivitas pemanfaatan anggaran pembangunan pertanian, yang jumlahnya terbatas.
Ketiga, proses penetapan swasembada harus didasarkan suatu perencanaan yang baik dan peluang pencapaiannya dapat terukur dari sisi penerapan teknologi dan keberlanjutan di tingkat petani. Terakhir, swasembada merupakan suatu proses perencanaan yang berkesinambungan dalam jangka panjang, yang bersifat akumulatif dari waktu ke waktu.
Erizal Jamal Dt Tumangguang, Profesor Riset BRIN; Ketua Perhepi