Filsafat Pendidikan Islam: Refleksi Gagasan Buya Syafii
Menurut Buya Syafii, filsafat pendidikan Islam harus menyelaraskan antara tuntunan otak dan tuntunan hati, yaitu menyelaraskan antara persepsi rasionalitas dan persepsi moralitas.
Ahmad Syafii Maarif atau dikenal dengan sebutan Buya Syafii sangat memperhatikan dinamika umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Dalam karya-karyanya, sering kali beliau menyinggung mengenai kuantitas umat Islam dunia yang terus meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas.
Bahkan dalam konteks Indonesia, beliau menyebutnya sebagai fenomena ”mayoritas minus kualitas”. Menurut beliau, salah satu akar permasalahan umat Islam di Indonesia terletak pada pendidikan.
Ketertinggalan umat Islam hampir dialami di semua bidang, baik itu ilmu, teknologi, maupun ekonomi. Harapannya, para pemimpin Islam di setiap negara sensitif terhadap kemunduran ini.
Baca juga: Inovasi Pendidikan dan Otoritas Islam Kontemporer
Mayoritas minus kualitas, khususnya, hanya menjadi beban sejarah bagi umat Islam Indonesia. Sebab, Islam merupakan agama yang menyerukan untuk membangun peradaban. Sekali lagi, akar permasalahannya terletak pada kualitas pendidikan kita hari ini.
Masalah yang dihadapi pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam, adalah biaya yang sulit terjangkau. Kebijakan pemerintah terkait pendidikan belum menemui titik prioritas. Begitu pula dengan satuan pendidikan swasta yang kurang dilirik pemerintah. Kualitas guru yang masih begitu-begitu saja. Tidak lupa pula, orientasi pendidikan hari ini sangat bersifat materialistis.
Mayoritas minus kualitas, khususnya, hanya menjadi beban sejarah bagi umat Islam Indonesia.
Bagi Buya Syafii, kita perlu mengapresiasi peran pemerintah untuk terus memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, otokritik harus tetap dilakukan untuk mengawasi dan mengingatkan pemerintah sebagai pemangku kebijakan.
Apakah Buya Syafii sepesimistis itu terhadap pendidikan di Indonesia? Tentu saja tidak. Buya Syafii memang sangat keras mengkritik sistem pendidikan Indonesia yang masih jauh dari yang semestinya. Namun, Buya Syafii sebagai guru bangsa selalu menanamkan optimisme kepada anak bangsanya.
Kesatuan pengetahuan
Buya Syafii memandang, dalam pendidikan Islam masih terjadi dikotomisasi atau pemisahan antara keilmuan umum dan keilmuan agama. Keilmuan umum masih dipandang sebagai keilmuan sekular yang berasal dari ”non-Muslim”, sedangkan keilmuan agama wajib dipelajari.
Konsekuensinya, keilmuan umum seperti sains dianggap tidak penting oleh umat Islam. Akhirnya, hanya membawa kemunduran yang nyata bagi umat Islam. Keilmuan agama memang sangat penting. Namun, jika tidak dibarengi dengan keilmuan umum, itu sama saja menolak ciptaan Allah SWT.
Saat ini, sekolah ataupun madrasah Islam telah mengajarkan keilmuan umum. Namun, paradigma atau keyakinan yang umum di kalangan umat Islam masih memisahkan antara keilmuan umum dan agama. Secara teknis memang menyatu, tetapi secara filosofis terpisah.
Baca juga: Jalan (Sunyi) Pencerahan Buya Syafii
Buya Syafii memperkenalkan apa yang disebut ”the unity of knowledge” atau kesatuan pengetahuan. Akar masalah dalam pendidikan Islam ialah masih memisahkan antara keilmuan umum dan keilmuan agama.
Umat Islam secara umum masih meyakini adanya dikotomisasi tersebut. Buya Syafii memperkenalkan konsep kesatuan pengetahuan sebagai solusi atas adanya dikotomisasi tersebut. Argumentasi tersebut terdapat dalam ayat-ayat Al Quran yang sama sekali tidak memisahkan antara keilmuan umum, terutama sains, dan keilmuan agama. Semua merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Konsep pengetahuan dalam Al Quran
Dalam Al Quran, ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyyah sama sekali tidak dipertentangkan. Dua ayat Allah tersebut saling mendukung satu sama lain. Kalaupun ingin mengislamkan sains atau keilmuan umum, sebagaimana yang dikenal dengan konsep islamisasi pengetahuan, menurut Buya Syafii, itu tidak perlu.
Sebab, yang perlu diislamkan bukan ilmunya, melainkan pusat kesadaran manusia yang terdapat di otak dan di hati. Senada dengan konsep pengilmuan Islam Kuntowijoyo, ilmu-ilmu kealaman atau sains tidak perlu diislamisasi.
Sebab, yang perlu diislamkan bukan ilmunya, melainkan pusat kesadaran manusia yang terdapat di otak dan di hati.
Menurut Buya Syafii, Al Quran setidaknya tertarik pada tiga tipe ilmu pengetahuan untuk kepentingan manusia. Pertama, ilmu-ilmu alam yang dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh manusia. Kedua, ilmu sejarah dan geografi yang urgensinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ketiga, ilmu pengetahuan tentang diri manusia atau humaniora yang disebut ilmu insaniyyah.
Bagi Buya Syafii, Al Quran menegaskan bahwa keilmuan yang dipelajari harus ditujukan untuk mengetuk akal dan hati manusia. Penekanan atas persepsi moral oleh Al Quran menjadi rambu-rambu bagi manusia untuk tidak menggunakan ilmu tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan duniawi.
Atas dasar ini, Buya Syafii sependapat dengan gurunya, Fazlur Rahman, bahwa ”pengetahuan ilmiah dan teknologis dapat menjadi berbahaya tanpa dibarengi dengan persepsi moralitas”.
Keseimbangan rasionalitas dan moralitas
Dalam neraca Al Quran, manusia merupakan makhluk ciptaan terbaik. Ia diwariskan menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Potensi manusia menjadi wakil Allah di muka bumi menjadikannya sebagai makhluk yang mulia di hadapan Allah.
Namun, manusia itu sendiri sering kali berbuat semena-mena untuk memuaskan hawa nafsunya. Di sinilah, dalam keyakinan Buya Syafii, pendidikan berperan untuk memaksimalkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia dan menekan sifat-sifat jahatnya.
Pendidikan merupakan sebuah proses memanusiakan manusia. Pendidikan harus mampu menyeimbangkan persepsi rasionalitas dan moralitas dalam diri manusia agar mampu menjadi makhluk yang bernilai di hadapan Tuhan.
Baca juga: Meneguhkan Gerakan ”Tajdid”
Aspek rasionalitas pada zaman modern saat ini memang sangat ditekankan oleh pendidikan. Namun, pendidikan juga harus mampu memperkuat landasan keimanan kepada Tuhan sebagai keamanan ontologis yang berlandaskan Al Quran dan As-sunnah sehingga manusia tidak mempunyai mentalitas ugal-ugalan, amoral, dan biadab.
Sebagaimana Buya yang kita kenal, Buya Syafii mendaku tidak mempunyai kemampuan untuk menuliskan filsafat pendidikan Islam. Biarpun begitu, kita telah mengetahui banyak sekali karya beliau yang berserakan di mana-mana membahas tentang filsafat pendidikan Islam.
Namun, mungkin yang dimaksud oleh Buya Syafii adalah belum mensistematisasi pemikiran-pemikiran filsafat pendidikan Islam yang menyebar di karya-karya beliau. Menurut saya, ini tugas kaum muda selanjutnya untuk merumuskan secara sistematis pemikiran filsafat pendidikan Islam Buya Syafii.
Menurut Buya Syafii, filsafat pendidikan Islam harus menyelaraskan antara tuntunan otak dan tuntunan hati.
Menurut Buya Syafii, filsafat pendidikan Islam harus menyelaraskan antara tuntunan otak dan tuntunan hati. Jika dibahasakan lebih jauh, menyelaraskan antara persepsi rasionalitas dan persepsi moralitas sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.
Jika berhasil memenuhi tuntutan tersebut, dapat dipastikan proses pendidikan yang terarah itu akan melahirkan manusia-manusia yang beragam dan saling memperkaya satu sama lain. Nilai inklusivitas pendidikan dapat terwujud.
Peran guru dan intelektual Muslim
Dalam proses pendidikan yang terarah ini, peran guru sangatlah penting. Buya Syafii telah menceritakan kepada kita melalui otobiografinya, Titik-titik Kisar di Perjalananku, bahwa betapa guru sangat vital dalam membimbing seorang murid untuk mencapai kematangannya sebagai seorang manusia. Dalam hal ini, Buya Syafii sangat dipengaruhi oleh gurunya, yaitu Fazlur Rahman, bahwa dinamika pemikiran beliau sangat dipengaruhi oleh kemajuan berpikir gurunya.
Buya Syafii sangat keras mengkritik budaya pendidikan Barat saat ini yang sangat mendewakan rasionalitas. Kultur Barat telah lama sepi dari kearifan. Modernitas yang dibahasakan oleh Buya Syafii sebagai antroposentrisme megalomaniak adalah hasil kesombongan pendidikan Barat dewasa ini.
Baca juga: Harapan pada Pendidikan
Tidak hanya di Barat, mayoritas orientasi pendidikan hari ini sedang mengarah ke sana. Oleh karena itu, filsafat pendidikan Islam bertugas untuk mengembalikan persepsi moralitas sebagai nilai kemuliaan yang dimiliki oleh manusia. Filsafat pendidikan Islam harus membangun relasi yang seimbang antara Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Refleksi mendalam dari Buya Syafii ini sekiranya perlu dipertimbangkan untuk membangun paradigma pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam, yang menjadi gawang terakhir untuk mencegah keruntuhan peradaban.
Buya Syafii menaruh harapan besar kepada intelektual Muslim generasi yang akan datang untuk merumuskan sebuah filsafat pendidikan Islam yang tersistematis agar dapat diterapkan dalam dunia pendidikan.
AR Bahry Al Farizi, Peneliti di Pegiat Pendidikan untuk Indonesia (Pundi )