Tantangan Bagi Partai-partai
Beberapa kebijakan dikritik dinilai tak aspiratif, salah sasaran, atau tak relevan. Sebagian kebijakan lainnya dinilai tak menopang hakikat demokrasi dan semangat reformasi. Elite politik mau bawa ke mana negara kita ?
Salah satu tantangan terbesar yang tengah dihadapi partai-partai kita saat ini adalah mengembalikan demokrasi kita ke arah yang benar.
Sebagaimana kita pahami bersama, kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini tengah disoroti. Demokrasi kita dipandang masih belum berada dalam bentuk terbaiknya dan bahkan seperti jalan di tempat. Konsolidasi demokrasi berjalan parsial. Di satu sisi ada geliat demokrasi yang terasakan, terutama di momen-momen elektoral. Namun, setelah dan sebelum momen itu, kehidupan politik seolah kembali ke tangan para elite.
Hal ini memperlihatkan bahwa substansi penyelenggaraan kekuasaan dan praktik-praktik turunannya tak konsisten dengan hakikat demokrasi meski lembaga-lembaga demokrasi, termasuk parpol, telah berdiri.
Karena itu, persoalan paling mencolok dalam pengelolaan negara dan praktik kekuasaan kita saat ini adalah tendensi elitisme yang kian menguat. Terbukti berbagai kajian kekinian tentang demokrasi kita menempatkan masalah partisipasi politik, kebebasan berekspresi, hingga kontrol atas kekuasaan sebagai hal-hal yang belum benar-benar sehat di Indonesia.
Imbasnya adalah hadirnya kebijakan dan juga proses pembuatan kebijakan yang eksklusif. Beberapa kebijakan dikritik dianggap tak aspiratif, salah sasaran, atau tak relevan. Sementara sebagian kebijakan lainnya dinilai tak menopang hakikat demokrasi dan semangat reformasi. Maraknya judicial review menjadi indikasi bagaimana kebijakan itu dirasa melenceng dari aspirasi rakyat banyak.
Baca juga : Saat Konsolidasi Demokrasi Berpacu dengan Konsolidasi Oligarki
Baca juga : Dari Negara Loket ke Bebotoh Politik
Hal ini diperburuk dengan keterlibatan invisible hand, yakni kalangan oligarki yang terus mendekat dan menjadi partner kekuasaan. Korelasi demokrasi dan oligarki sudah sangat jelas dijabarkan oleh banyak akademisi maupun praktisi. Meski demikian, eksistensi oligarki itu bukan satu-satunya faktor mengingat lingkungan politik yang tak sehat, pelemahan masyarakat sipil, dan ketakpedulian rakyat terhadap politik kerap juga berkontribusi bagi tendensi penguatan elitisme itu.
Situasi semacam itu merupakan paradoks dari semangat konstitusi dan reformasi kita. Meski hakikat keberadaan negara ini adalah menjadi negara yang berkedaulatan rakyat, saat ini berbagai pakar politik menilai justru ada tendensi otoritarian atau setidaknya kecenderungan ”meminggirkan demokrasi” terjadi dalam kehidupan politik kita saat ini (Power & Warburton 2020, Mujani & Liddle 2021, Setiawan & Tomsa 2022).
Parpol sebagai episentrum
Dengan situasi ini sebenarnya pantas kalau kita bertanya mau dibawa ke mana negara kita ini oleh para elite politik kita? Pertanyaan ini pada dasarnya juga berarti ditujukan kepada partai-partai politik.
Hal yang pasti, elitisme berkedok demokrasi saat ini tak muncul dengan sendirinya. Banyak faktor penyebabnya. Namun, pada dasarnya itu semua pada akhirnya memiliki ikatan dengan parpol. Hal ini karena parpol merupakan institusi yang berkenaan langsung dengan praktik politik yang berkembang hingga saat ini.
Parpol di era reformasi sejatinya sumber harapan. Semaraknya Pemilu 1999 adalah bukti besarnya harapan rakyat pada partai-partai yang ada. Namun, seiring perjalanan waktu harus diakui bahwa parpol adalah salah satu sumber persoalan (episentrum) yang cukup klasik.
Meski beragam upaya perbaikan coba dilakukan oleh partai-partai, kenyataannya sebagian besar parpol masih terlibat dalam pusaran kekuasaan elitisme. Muncullah kemudian apa yang disebut Richard Katz dan Peter Mair (1995) sebagai model partai politik kartel.
Politik kartel adalah ekspresi elitisme yang merasa puas jika semua pihak yang berkhidmat pada pemilik kekuasaan mendapat imbalan yang pantas.
Tak peduli jika itu dibayar dengan keterjarakan bahkan keterasingan yang semakin kuat dengan rakyat dan tentunya spirit demokrasi itu sendiri. Dengan kondisi seperti itu, parpol sebenarnya berpotensi mengalami stagnasi dan bahkan kebangkrutan substansial.
Fenomena ini terjadi karena partai belum benar-benar membulatkan tekad sebagai pembawa ide-ide besar dan petarung yang tangguh untuk mewujudkannya. Dalam model partai politik kartel, ideologi memang memainkan peran pariah.
Mudahnya sebagian besar partai tergiring mendukung dan mereproduksi kepentingan ”King Maker”, baik tersirat maupun tersurat, membuktikan bahwa demi kekuasaan partai-partai rela berperan seperti kerbau dicucuk hidungnya.
Kesibukan partai dalam membangun kedekatan pada akar rumput ternyata lebih bersifat seremonial saja.
Selain itu, secara internal, masih lemahnya demokrasi internal dan tendensi oligarki ataupun politik dinasti menjadi problem yang terus mengancam sebagian besar partai kita. Tidak heran jika pada akhirnya sebagian partai belum cukup berhasil menjadi media penguatan mentalitas dan praktik demokrasi yang utuh.
Stagnasi demokrasi yang terjadi saat ini jelas tak dapat dilepas dari hadirnya cara pandang dan sikap permisif terhadap hal-hal non-demokratik yang meluas di kalangan elite dan kader partai, elemen-elemen partai, simpatisan, hingga masyarakat awam.
Kesibukan partai dalam membangun kedekatan pada akar rumput ternyata lebih bersifat seremonial saja. Edukasi politik belum dijalankan sungguh-sungguh dan sistematis.
Kedekatan itu akhirnya lebih sekadar mengukuhkan eksistensi individu politisi, bukan pendewasaan politik rakyat. Akibatnya, rakyat kembali berkali-kali jadi korban dari tendensi post-truth, praktik politik populisme, dan penyebaran ide-ide yang berujung pada polarisasi dan pembodohan politik.
Di sisi lain, karakter kritis anak bangsa ditumpulkan dengan gaya pendekatan stick and carrot agar terus takjub dan patuh (jera) pada para elite politik dan skema kepentingan kekuasaan.
Kembali ke khitah
Apa yang harus dilakukan partai-partai saat ini dan ke depan sebenarnya sederhana, yakni menjadikan dirinya sebagai institusi demokratik yang setia dengan nilai-nilai dan praktik demokrasi. Demokrasi tak bisa hidup tanpa parpol, tetapi memang bisa dikhianati oleh parpol. Namun, mengkhianati demokrasi bukan tujuan dari bangsa dan negara kita ini didirikan dan diperjuangkan.
Untuk itu, hal utama yang harus diingat bahwa parpol harus mampu membangun demokrasi internal hingga mapan. Ini berarti parpol harus mampu mendekonstruksi segenap cara pandang, mentalitet, maupun tata kelola internal partai yang tidak kondusif bagi penguatan internal demokrasi.
Partai harus membangun pelembagaan partai, di mana tidak saja ini berarti komitmen pembangunan karakter demokratik bagi kader, tetapi juga membangun ”kemerdekaan partai” dari jeratan-jeratan politik dinasti, oligarki, dan personalisasi partai. Seberapa relevan, kontekstual, dan dibutuhkannya hal-hal itu dalam praktik politik, tetapi sejatinya kesemuanya tetap tidak kompatibel dalam kamus demokrasi.
Partai harus membangun pelembagaan partai, di mana tidak saja ini berarti komitmen pembangunan karakter demokratik bagi kader, tetapi juga membangun ”kemerdekaan partai” dari jeratan-jeratan politik dinasti, oligarki, dan personalisasi partai.
Selain itu, partai-partai ke depan harus jadi motor penggerak penguatan kedaulatan rakyat dengan menjalankan pendidikan politik demokratik rasional-substansial. Selain itu, partai harus ambil peran serius sebagai peredam polarisasi dan segenap kebodohan politik, yang membuat kualitas demokrasi tak kunjung naik kelas.
Dalam hal ini, kader-kader partai harus menunjukkan sikap sebagai pendidik dan negarawan, bukan malah mencontohkan beragam bentuk manipulasi politik, mulai dari korupsi hingga terus memelihara segenap kedengkian politik demi sebuah kemenangan.
Semoga partai-partai politik yang ada, khususnya yang telah lolos verifikasi, dapat menjadi pejuang demokrasi yang tangguh agar hakikat kedaulatan rakyat dapat kembali menguat.
Firman Noor Peneliti pada Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)