Perekrutan guru PPPK perlu ditata ulang. Pemerintah perlu mengubah seleksi perekrutan PPPK secara berkeadilan yang mengedepankan kompetensi dan menghapus segala bentuk prioritas untuk mendapatkan guru-guru terbaik.
Oleh
J MASRUROH
Β·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Pendaftaran pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja tenaga guru atau guru PPPK dibuka kembali sejak akhir Oktober 2022. Beberapa kriteria pendaftar yang bisa mengikuti seleksi juga telah diumumkan. Tentu banyak guru yang menyambut sukacita setiap kali pendaftaran PPPK dibuka. Harapan mendapatkan kenaikan gaji seakan dekat di depan mata.
Tahun ini merupakan kali kedua pemerintah melakukan perekrutan guru PPPK. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah terus mengupayakan peningkatan gaji guru honorer. Bahkan, sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim juga berjanji akan mengangkat 1 juta guru menjadi PPPK.
Pemerintah mengklaim perekrutan guru PPPK tahun ini akan dilakukan dengan lebih hati-hati daripada tahun sebelumnya. Meski demikian, penulis berpendapat ada hal yang selama ini diabaikan dan tidak sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan. Perekrutan guru PPPK belum sepenuhnya memperhatikan tingkat kompetensi kepribadian, pedagogis, sosial, dan profesional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Problem yang disoroti penulis di sini terkait dengan kriteria guru yang diprioritaskan dalam pendaftaran PPPK. Pada intinya, mulai perekrutan di tahun pertama hingga tahun kedua ini pemerintah selalu memprioritaskan guru dengan kepemilikan sertifikat pendidik dan lama pengabdian.
Ada tiga golongan yang diprioritaskan pemerintah tahun ini. Prioritas I terdiri dari tenaga honorer eks-kategori (THK) II, guru non-ASN, lulusan pendidikan profesi guru (PPG), dan guru swasta yang memenuhi nilai ambang batas seleksi PPPK tenaga guru 2021. Prioritas II terdiri dari THK-II yang tidak termasuk dalam kategori pelamar prioritas I. Prioritas III terdiri dari guru non-ASN di sekolah negeri yang telah terdaftar pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang memiliki masa kerja minimal 3 tahun.
Mulai perekrutan di tahun pertama hingga tahun kedua ini pemerintah selalu memprioritaskan guru dengan kepemilikan sertifikat pendidik dan lama pengabdian.
Sementara itu, pelamar kategori umum terdiri dari lulusan PPG yang terdaftar pada basis data kelulusan PPG Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan pelamar yang terdaftar di Dapodik.
Memang, perekrutan guru PPPK di tahun kedua ini terdapat sedikit perbedaan dengan tahun pertama. Di tahun pertama, pemerintah hanya membuka jalur prioritas, sementara tahun ini pemerintah membuka jalur umum.
Sayangnya, jalur umum ini hanya bisa dilaksanakan apabila masih ada formasi yang tersisa dari jalur prioritas. Jika formasi telah penuh oleh peserta prioritas, peserta jalur umum tidak bisa mengikuti seleksi. Hal ini sama saja dengan mempersempit kemungkinan mendapatkan guru-guru terbaik bangsa.
Kebijakan perekrutan guru PPPK ini tentu diambil dengan harapan, apabila guru sejahtera, akan semakin fokus dalam mengajar di kelas sehingga meningkatkan kualitas pendidikan. Faktanya, peningkatan kesejahteraan guru selama ini tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Contohnya adalah pemberian tunjangan profesi bagi guru yang telah mendapatkan sertifikasi melalui PPG.
Tunjangan profesi merupakan amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.
Hasil penelitian terkait kualitas lulusan PPG prajabatan tidak berbeda dengan guru lulusan S-1 kependidikan. Tes pengetahuan materi dan pedagogi guru PPG memang lebih tinggi dibandingkan non-PPG. Namun, ternyata nilai tes siswa yang diajar guru PPG dan non-PPG tidak berbeda signifikan (Riset Semeru, 2021).
Bisa kita simpulkan bahwa kenaikan gaji atau pemberian tujangan tidak selalu berhasil mengantarkan seorang guru untuk lebih meningkatkan perannya di kelas. Jika hasil riset mengatakan bahwa lulusan PPG tidak signifikan meningkatkan kualitas pembelajaran, sudah tepatkah menjadikan sertifikat PPG sebagai prioritas menjadi PPPK?
Sertifikat pendidik semestinya mampu meningkatkan kompetensi dan juga meningkatkan jiwa kompetitif guru, bukan sebaliknya, menjadi penghalang bagi guru lainnya yang belum bersertifikat. Bahkan, semestinya guru bersertifikat tidak perlu ragu jika harus bersaing dengan para yuniornya.
Masalah selanjutnya terkait masa pengabdian. Tidak salah sebetulnya jika pemerintah ingin memberikan apresiasi kepada para guru yang telah lama mengabdi. Masalahnya, banyak di antara guru ini yang dahulu direkrut sekolah berdasarkan hubungan kekeluargaan dan pertemanan tanpa mempertimbangkan kompetensi.
Sertifikat pendidik semestinya mampu meningkatkan kompetensi dan juga meningkatkan jiwa kompetitif guru, bukan sebaliknya, menjadi penghalang bagi guru lainnya yang belum bersertifikat.
Hal semacam ini banyak terjadi di sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri. Parahnya lagi, ada pula guru yang hanya sekadar menitipkan nama di akun guru (Dapodik maupun Simpatika) dan jarang mengajar. Katakanlah guru tersebut terdaftar memiliki 20 jam pelajaran dalam seminggu, tetapi hanya masuk kelas satu atau dua kali tatap muka.
Bahkan, sering kali guru-guru baru yang tidak dekat dengan pimpinan harus merelakan jumlah jam mereka diambil oleh guru senior. Katakanlah si A yang baru masuk sebuah yayasan pendidikan dan dibebani jam mengajar 24 jam dalam seminggu harus rela terdaftar di akun guru dengan hanya memiliki 6 jam mengajar. Sisanya 18 jam diberikan untuk guru yang dekat dengan pimpinan meski kenyataannya ia hanya mengajar 4 jam dalam seminggu.
Harus diakui bahwa proses perekrutan guru sejak awal memang tidak terbuka dan tidak memiliki standar yang jelas. Jika pemerintah memakai sistem prioritas dalam perekrutan PPPK dan terdapat guru-guru semacam ini, bisakah dibayangkan bagaimana kegiatan proses belajar mengajar di kelas?
Evaluasi dan jalan tengah
Menurut penulis, janji pemerintah mengangkat 1 juta guru terkesan terburu-buru dan tanpa persiapan. Sejumlah pemerintah daerah bahkan dikabarkan enggan mengajukan formasi guru PPPK dengan alasan ketiadaan anggaran. Hal ini membuktikan kurangnya sosialisasi pemerintah kepada pemda. Belum lagi problem penempatan guru PPPK yang mengakibatkan membeludaknya jumlah guru di sekolah negeri, sementara sekolah swasta justru kehilangan guru.
Menimbang hal-hal tersebut di atas, langkah yang sebaiknya dilakukan adalah dengan menetapkan upah minimum agar secepatnya guru-guru honorer mendapatkan kelayakan gaji. Adapun perekrutan guru PPPK perlu ditata ulang dengan petimbangan yang cermat dan matang.
Pemerintah perlu mengubah seleksi perekrutan PPPK secara berkeadilan yang mengedepankan kompetensi dan menghapus segala bentuk prioritas untuk mendapatkan guru-guru terbaik. Tidak ada keberpihakan baik kepada para guru senior ataupun guru yunior yang baru saja bergabung mengabdikan dirinya di dunia pendidikan, bahkan kepada mahasiswa fresh graduate sekalipun.
Dengan perekrutan semacam ini, ke depan pemerintah akan mendapatkan guru-guru berkualitas. Guru yang memiliki kompetensi, berjiwa kompetitif, dan siap menerima perubahan adalah guru yang dibutuhkan bangsa saat ini.
J Masruroh, Guru Madrasah Aliyah Negeri 2 Lamongan, Jawa Timur