Afirmasi dan Solusi Guru PPPK
Butuh afirmasi yang lebih berkeadilan kepada guru honorer yang mengikuti seleksi guru PPPK. Ini sebagai bentuk penghargaan kepada guru honorer yang selama ini menopang pendidikan di Indonesia.
Pemerintah mengumumkan sebanyak 173.329 guru honorer lulus seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK tahap pertama pada 8 Oktober 2021. Jumlah ini masih jauh di bawah formasi guru PPPK yang diajukan pemerintah daerah yang sebanyak 506.252 formasi.
Bahkan, jika dibandingkan kuota nasional, formasi guru PPPK yang tersedia sebanyak 1.002.616, angka itu baru memenuhi sekitar 17 persen formasi nasional. Janji Mendikbudristek merekrut 1 juta guru belum terpenuhi.
Kesempatan guru honorer menjadi PPPK masih terbuka lebar. Kita terus mendorong, tiap organisasi profesi guru memfasilitasi guru honorer calon peserta PPPK terus belajar meningkatkan kompetensi, mengikuti bimbingan belajar/tes, persiapan seleksi PPPK tahap II dan III.
Rekrutmen guru PPPK menjadi solusi sementara atas kekurangan guru aparatur sipil negara (ASN) di sekolah negeri. Kontrak guru PPPK maksimal 5 tahun minimal 1 tahun. Walaupun kontrak itu dapat diperpanjang, potensi pemutusan kontrak tetap besar. Ini kontras dengan guru PNS yang durasi pengabdiannya relatif lama, sampai pensiun 60 tahun.
Baca juga: Paradoks Pengangkatan Sejuta Guru
Data kekurangan guru ASN sekolah negeri hingga 2021 berjumlah 1.090.678 orang. Faktor angka guru pensiun, jika diakumulasi sampai 2024, kita kekurangan 1.312.759 guru ASN. Kebutuhan guru paling banyak ada di jenjang SD-SMP, yaitu sebanyak 823.383 guru (Kemdikbudristek dan Kemenpan RB, 2021).
Keberadaan guru honorer sekolah negeri sangat membantu proses pembelajaran. Data Kemdikbudristek menunjukkan, jumlah guru berstatus PNS yang mengajar sekolah negeri sebanyak 1.236.112 atau 60 persen, sedangkan yang berstatus bukan PNS (honorer) sebanyak 742.459 atau 36 persen (2021). Sepertiga roda pembelajaran sekolah negeri ditopang guru honorer, meski dengan minimnya apresiasi dan proteksi, baik dari sekolah maupun negara selama ini.
Klasifikasi guru honorer
Guru honorer sekolah terbagi tiga. Pertama, honorer daerah, mendapatkan surat keputusan (SK) dari pemda dan upahnya dari APBD, dengan skema insentif daerah (tak semua daerah melakukan). Mereka dikontrak per tahun, dievaluasi, jika performa baik, diperpanjang setahun, begitu seterusnya.
Namun, tak semua guru honorer daerah mendapatkan upah layak setara upah minimum provinsi (UMP) seperti di Jakarta yang sebesar Rp 4,4 juta per bulan. Di Kabupaten Karawang, guru honorer daerah jenjang SD negeri diupah Rp 1,2 juta per bulan, lebih rendah dari UMK buruh yang sebesar Rp 4,7 juta Rp 4,8 juta per bulan. Begitu pula di Kabupaten Blitar, guru honorer senior eks K-2 diupah Rp 1 juta per bulan, sedangkan besaran UMK di wilayah itu Rp 2 juta per bulan.
Kedua, guru honorer murni atau guru komite sekolah adalah guru honorer yang direkrut dan diangkat oleh kepala sekolah. Sumber upah dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Karena pencairan BOS dari pemerintah tiga kali setahun, upah guru honorer pun mengikuti turunnya BOS.
Baca juga: Guru Honorer, Pahlawan Nyata Tanpa Tanda Jasa
Nasib miris dan tragis bagi guru honorer tipe ini. Besaran upah tak terstandar, tiap sekolah berbeda tergantung ”kebaikan hati” kepala sekolah. Rata-rata upah di bawah Rp 1 juta per bulan, bahkan banyak di bawah Rp 500.000. Sudahlah kecil, upah pun diberikan rapelan mengikuti jadwal pencairan BOS. Padahal, mereka butuh makan dan pemenuhan kebutuhan pokok setiap hari.
Di Sumatera Barat, UMP/UMK buruh Rp 2,4 juta per bulan, tetapi upah guru honorer jenjang SD negeri di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar hanya Rp 500.000-Rp 800.000 per bulan. Di Kabupaten Aceh Timur, upah guru honorer juga hanya Rp 500.000 per bulan, bahkan ada yang hanya Rp 400.000, lagi-lagi bergantung kebijakan kepala sekolah dan jumlah murid atau rombongan belajar.
Di Kabupaten Ende, upah guru honorer di SMK negeri sekitar Rp 700.000-Rp 800.000 per bulan. Di Kabupaten Blitar, upah guru honorer baru Rp 400.000, sedangkan yang sudah lama Rp 900.000, tergantung lama mengabdi. Secara nasional, upah guru honorer jauh di bawah upah buruh.
Ketiga, guru honorer sekolah swasta. Sekolah swasta mempunyai klasifikasi tersendiri, dilihat dari besaran biaya sekolah, yang melahirkan ketegori: swasta elite/kaya, swasta menengah, dan swasta bawah/pinggiran. Swasta bawah/pinggiran umumnya berbiaya rendah, tergantung kemampuan orangtua, bahkan gratis sesuai ekonomi peserta didik. Kebutuhan sekolah sangat bergantung pada BOS, bukan sumbangan orangtua. Dampaknya, upah guru honorer pun sangat rendah, sekitar Rp 400.000-Rp 700.000.
Tak ada standar upah minimum guru honorer, sesuai komponen kebutuhan hidup layak seperti profesi buruh. Padahal Pasal 14 ayat 1 (a) UU Guru dan Dosen berbunyi: ”Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.”
Kita berharap pemerintah pusat membuat regulasi mengatur standar upah layak minimum guru honorer, bisa berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Ini mendesak, sebab tak semua guru honorer (negeri dan swasta) yang berjumlah 1,5 juta orang akan terserap menjadi guru PPPK.
Kita tidak bisa lagi membiarkan daerah/sekolah menggaji guru honorer secara tidak manusiawi.
Kita tidak bisa lagi membiarkan daerah/sekolah menggaji guru honorer secara tidak manusiawi. Pengupahan yang inkonstitusional, bertentangan dengan UU Guru dan Dosen, serta jauh dari semangat penghargaan harkat martabat profesi guru yang mulia. Jika PP/perpres ini lahir, saya yakin Presiden Jokowi akan dikenang sejarah, punya legacy sebagai Presiden yang betul-betul berpihak pada guru.
Pencapaian gerakan serikat buruh adalah berhasil mendesak negara mengeluarkan standar UMP/UMK. Lahirnya lembaga kerja sama tripartit antara pengusaha, pemerintah, dan buruh dengan relasi setara: duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Sebagai implementasi perintah UU Ketenagakerjaan.
Lain cerita profesi guru harus puas diumbuk lewat jargon: pahlawan tanpa tanda jasa. Motivasi guru honorer ikut PPPK tak lain demi meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, perlindungan, kompetensi, dan karier. Jadi dalam konteks inilah urgensi kebijakan afirmasi bagi guru honorer.
Afirmasi guru PPPK
Kebijakan afirmatif guru honorer peserta PPPK yang diberikan Kemdikbudristek patut diapresiasi. Namun, afirmasi berdasarkan kategori usia rasanya belum sepenuh hati. Seharusnya afirmasi diprioritas untuk penuntasan guru honorer eks Kategori-2 (K-2) dan afirmasi berdasarkan lama mengabdi.
Guru K-2 yang merupakan produk kebijakan pemerintah, sampai sekarang yang belum diangkat ASN sebanyak 121.954 guru (BKN, Desember 2020). Dengan komposisi sebanyak 40.796 orang usia 30-40 tahun, 54.977 orang usia 40-50 tahun, 25.915 orang usia 50-60 tahun, dan 266 orang berusia di atas 60 tahun.
Baca juga: Oh Guru Honorer Tua, Nasibmu...
Afirmasi khusus eks K-2 yang diberikan Mendikbudristek hanya tambahan nilai 10 persen. Ini ternyata tidak banyak membantu kelulusan, khususnya yang berusia di bawah 50 tahun. Alhasil guru eks K-2 belum semua terakomodasi, apalagi ada sistem pemeringkatan (ranking) di sekolah dan prioritas guru sekolah induk.
Sementara afirmasi untuk semua peserta di atas 50 tahun cukup besar, 100 persen dari nilai maksimal kompetensi teknis dan 10 persen dari nilai maksimal kompetensi manajerial, sosiokultural, dan wawancara. Meskipun demikian, banyak guru di atas 50 tahun tak lolos PPPK.
Afirmasi pengabdian mestinya dibedakan berdasarkan range lama mengabdi, bukan dipukul rata seperti sekarang. Afirmasi sebesar 15 persen bagi guru yang sudah mengajar minimal tiga tahun dan yang berusia di atas 35 tahun. Semestinya dibuat interval lama pengabdian karena rasanya tidak adil menyamakan guru baru mengabdi 3-5 tahun dengan yang sudah di atas 10 tahun. Ada juga yang berusia di bawah 35 tahun, tetapi sudah mengabdi 10 tahun lebih. Prinsip proporsionalistas, berkeadilan, dan nondiskriminasi harus menjadi pedoman kebijakan afirmatif.
Menambah formasi
Sebagai evaluasi seleksi guru PPPK tahap I, banyak hasil nilai tesnya di atas ambang batas kelulusan (passing grade), tetapi tidak ada formasi di sekolah tempat mereka mengajar, atau mereka tak lolos karena bukan berasal dari sekolah induk. Potret yang memilukan.
Dalam Kepmenpan RB Nomor 1169 Tahun 2021 diktum kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas membuat kategori sekolah induk yang utama. Bahkan, jika formasi di sekolah induk belum terisi karena pesertanya tak mencapai ambang batas, guru pendaftar dari sekolah lain tidak bisa mengisi.
Banyak guru honorer yang terpaksa mendaftar PPPK di sekolah lain karena tak ada formasi di sekolahnya. Inilah akibat dari minimnya pengajuan formasi oleh pemda kepada pusat yang disebutkan di awal tulisan.
Banyak guru honorer yang terpaksa mendaftar PPPK di sekolah lain karena tak ada formasi di sekolahnya.
Contoh kasus Kabupaten Garut, formasi yang disetujui pemda hanya 196 formasi, sedangkan jumlah kebutuhan guru honorer mencapai 8.801 formasi. Dalam tes PPPK Tahap I, yang lulus nilai passing grade diperkirakan lebih 1.000 orang. Mereka tak bisa menjadi guru PPPK karena minimnya ketersediaan formasi.
Mendikbudristek dan Menpan RB bersama pemda mestinya berkoordinasi, sinergi dibutuhkan di tengah kondisi begini. Mendorong pemda menambah jumlah formasi guru PPPK. Sedapat mungkin disesuaikan angka kebutuhan riil di daerah agar dapat mengakomodir semua guru honorer.
Perlu dicermati, pemerintah pusat harus merekalkulasi dan membuat road map guru honorer lulus PPPK. Bagaimana penempatan dan lama kontrak berdasarkan surat keputusan pemda. Sebab keberadaan guru PPPK berpotensi menggeser keberadaan guru honorer lain yang ada di sekolah tersebut. Guru honorer lain bisa terbuang, tentu masalah baru. Mesti diatur bahkan dibuat regulasi khusus.
Baca juga: Sengkarut Anggaran Guru PPPK
Termasuk seleksi tahap II dan III, dibuka bagi guru swasta dan umum. Diperlukan regulasi khusus mengatur apakah guru swasta lolos PPPK akan ditempatkan di sekolah swasta atau negeri. Keduanya mengandung konsekuensi.
Mengajar di sekolah swasta akan berdampak terhadap penghasilan ganda, dari negara sebagai ASN sekaligus dari yayasan swasta. Tentu menimbulkan kecemburuan sosial bagi guru swasta non-PPPK maupun guru PPPK sekolah negeri.
Sebaliknya, jika guru PPPK dari sekolah swasta mengajar di sekolah negeri, keberadaan mereka akan menggeser guru honorer lain yang tak lulus PPPK. Menjadi ketidakadilan baru bagi guru honorer lain.
Seleksi PPPK tahap II dan III mendorong guru sekolah swasta kelas pinggiran menjadi ASN PPPK. Jika motivasi menjadi PPPK makin besar, patut dikhawatirkan migrasi besar-besaran guru swasta. Kemdikbudristek, Kemenag, dan pemda perlu melakukan pemetaan secara komprehensif sebagai langkah antisipatif, dampak kekurangan guru di sekolah swasta kemudian hari.
Realitas guru honorer berlomba menjadi PPPK hanya karena satu alasan, mendambakan kehidupan layak sesuai martabat kemanusiaan. Inilah yang belum tuntas dipenuhi negara. Maka, sudah sepatutnya mereka diberi kemudahan dan afirmasi yang lebih berkeadilan.
Satriwan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)