Setelah menayangkan perhelatan tahunannya secara daring selama dua tahun, Jakarta Fashion Week kembali hadir di depan pemirsa terpilih tahun ini di lokasi baru di Jakarta, lokasi keempat dalam 15 tahun usianya.
Bisnis ritel mode terpukul selama pandemi karena bukan kebutuhan utama. Hampir semua desainer dan pengusaha mode Indonesia harus jumpalitan, beberapa tak bertahan. Bahwa hanya ada 30-an pergelaran tahun ini, lebih sedikit dibandingkan dengan Jakarta Fashion Week (JFW) prapandemi, menyiratkan realita bahwa sebagian jenama mode Indonesia belum siap meramaikan pekan mode. Namun, dari segenap yang kembali, beberapa garis merah bisa ditarik.
Isu sustainability atau mode lestari yang mulai diangkat JFW tujuh tahun lalu dengan kehadiran jurnalis Lucy Siegle berikut pemutaran dokumenter The True Cost tetap terusung melalui beberapa pendekatan. Auguste Soesastro, salah satu dari sedikit desainer mode Indonesia dengan pendidikan adibusana, menelusuri koleksi lama dan pesanan khusus klien lalu mendesainkan kain sisa yang ia temukan, kesemuanya batik, sebagai motif patchwork untuk koleksi terbaru Kraton. Bahwa keseluruhan koleksi terjaga rapi dalam narasi dan eksekusi, seolah menggunakan batik baru yang dimaksudkan untuknya, menunjukkan bahwa fokus dan kedisiplinan Auguste Soesastro tak tergerus pahitnya pandemi.
Baca Juga: Lebih Cerdas dalam Protes Perubahan Iklim
Pendekatan serupa diambil Wilsen Willim, jenama yang terus menanjak di dunia mode Indonesia. Terpilih sebagai salah satu mitra kerja sama Cita Tenun Indonesia (CTI), sebuah wadah pembinaan dan komersialisasi tenun, Wilsen Willim mengawinkan limbah tekstilnya dengan alur asli tenunan perajin CTI; memaksimalkan penggunaan kain dengan sulam, bordir, dan penempelan aksen.
Tanah Le Sae, dalam kiprah pertamanya di JFW, menggunakan stok lama di pemasok kain (deadstock) dan kain produk rumah tangga, seperti tirai dan alas kursi, untuk membentuk koleksi yang terinspirasi dari busana pengantin berbagai era.
Beberapa desainer memilih kain baru yang lebih ramah lingkungan. Asia Pacific Rayon (APR) yang gencar berpromosi langsung ke konsumen melalui perhelatan mode besar beberapa tahun ini mensponsori rayon bagi sederetan jenama, mulai dari BT Trusmi yang mengakar pada batik Cirebon sampai pada merek pakaian kontemporer, seperti Bateeq dan Everyday milik perusahaan garmen Danliris, atau pemain relatif baru, seperti Oline the Workrobe dan Geulis.
Baca Juga: Siap Kembali ke Laut, Kita?
Calla the Label, merek yang mengandalkan tekstil cetak bermotif ceria dan populer di Generasi Z urban, mengeluarkan koleksi berbahan Tencel, salah satu nama dagang benang rayon. Kehadirannya di JFW kali ini disokong Wardah, raksasa kosmetika Indonesia yang acap mensponsori perhelatan mode akbar di Indonesia sejak sebelum pandemi. Hal ini membuat saya terpikir potensi gerakan sustainability yang lebih luas. Kategori kecantikan naik pesat di Indonesia dalam satu dekade terakhir, dengan Grup Wardah dengan berbagai lininya sukses menjadi raja di negeri sendiri, alangkah berartinya apabila korporasi sekuat ini menjadi motor model bisnis kecantikan berkesinambungan; mulai dari pengolahan kemasan bekas, yang nyaris semuanya plastik, sampai ke proses produksi yang meminimalisir limbah. Mengapa tidak?
Kembali ke JFW, benang merah kedua yang terlihat adalah keberagaman atau keluwesan.
Sadar bahwa banyak wanita cemas atas bentuk tubuhnya dalam pakaian renang, Kelly Tandiono, model papan atas Indonesia yang lama menjadi juri kompetisi Asia’s Next Top Model selain merintis bisnis pakaian renang, menggandeng pesohor dengan sosok berbeda, seperti Nirina Zubir (mungil), Neysa Soediro (berisi), dan Ayla Dimitri (baru melahirkan), untuk menciptakan baju renang yang lebih realistis. Juga mengisi pergelarannya dengan sepasang model difabel yang berkebalikan siluetnya dengan postur standar model, seperti Kelly, koleksi Cover Me Not kali ini, dalam berbagai potongan dan warna tegas, bak tonik penyegar untuk kembalinya pekan mode setelah wabah.
Keluwesan jender ditawarkan oleh Hartono Gan Homme, Harry Halim, dan Saint Ego.
Lebih dari sedekade mendesain untuk wanita, Hartono Gan kembali mempelajari anatomi dasar dan pemolaan untuk menciptakan menswear di bawah label Hartono Gan Homme yang cukup luwes bagi wanita. Hasilnya bukan cuma koleksi berstruktur uniseks, semangat flamboyan dekade 1970-an pun terhembus keras dari warna, bahan, dan gaya presentasi di catwalk.
Baca Juga: Batik dan Dilema Demokratisasinya
Saint Ego, jenama yang dihadirkan melalui program pertukaran jangka panjang antara JFW dan badan kreativitas Korea Selatan (KOCCA), memaksudkan karyanya sebagai koleksi uniseks. Mengambil estetika pakaian santai jalanan urban (streetwear), Saint Ego menggunakan warna-warna primer polos untuk menegaskan detail jahitan, tambahan aksen, gaya menumpuk, dan kualitas pengerjaan prima.
Harry Halim, desainer Indonesia yang memulai kariernya sedekade lalu di Paris, menjadikan cinta pendobrak batas sebagai acuan koleksi adibusananya, keluar sepenuhnya dari definisi demografi dan sosiografi yang umum dipakai.
Untuk JFW tahun ini, Harry Halim mengubah aneka atasan luar, seperti jaket, mantel, (setelan) jas—helai pakaian yang umum diasosiasikan dengan pria—menjadi serangkaian adibusana yang menawan mata, menggugat pengertian, dan menarik percakapan. Bak tak peduli pada isu lain yang menggayuti semesta, satu per satu tampilan dalam koleksi Harry Halim melempar visual yang bebas dan bersemangat. Hampir semua pemirsa sesi bertajuk ”The Impossible Love” ini terkesan dan barangkali, seperti saya, teringatkan kembali pada gemerlapnya mode dan kebahagiaan dunia sebelum wabah menjalar.
Baca Juga: Ratu Elizabeth II dan 70 Tahun Teknologi
Mungkin kebahagiaan duniawi itu akan kembali lagi. Paling tidak, sederet koleksi lain di JFW memperlihatkan optimisme ini.
Baik koleksi kapsul IKYK x Happy Go Lucky House dalam motif besar dan warna menyolok maupun kedua koleksi Kami Idea dalam motif halus dan warna teduh mengilustrasikan kehidupan aktif tanpa kemuraman. Walau mengakrabi siluet yang lebih rileks, kelopak bunga pada gaun elegan khas Peggy Hartanto telah kembali, penanda lonceng pesta dimulai. Lamunan lekuk arsitektur Zaha Hadid di Azerbaijan dalam gaun cocktail karya Yosafat Dwi Kurniawan dan terapan bilah atap rumah joglo Jawa pada rangkaian busana rancangan Jeffry Tan, dua talenta yang identik dengan acara formal berkelas, mengukuhkan bahwa 2023 akan dipenuhi berbagai agenda sosial yang sudah hampir 3 tahun tertunda.
Masih tersisa pandemi, perubahan iklim tak dimungkiri, resesi membayangi, tetapi dalam sepekan kemarin sejenak JFW mengundang kita untuk bergembira kembali. Di antara runtutan prahara, menawarkan asa melalui helaian busana.
LYNDA IBRAHIM
Konsultan Bisnis dan Penulis